Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob dan Anwar Ibrahim bersepakat menurunkan suhu politik.
Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar mengklaim 400 ribu pegawai negeri masih mogok kerja.
Pengacara Donald Trump divonis bersalah karena ingin merusak sistem pemilihan umum.
MALAYSIA
Ismail dan Anwar Bersepakat Menurunkan Suhu Politik
PERDANA Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob dan tiga pemimpin utama koalisi oposisi Pakatan Harapan telah menandatangani pernyataan bersama untuk “menurunkan suhu politik”, seperti yang disarankan oleh Raja Malaysia Yang Dipertuan Agong Al-Sultan Abdullah, di Kantor Perdana Menteri Malaysia di Putrajaya, Rabu, 25 Agustus lalu. Pernyataan itu diteken oleh Ismail, Ketua Partai Keadilan Rakyat Anwar Ibrahim, Sekretaris Jenderal Partai Aksi Demokratik Lim Guan Eng, dan Presiden Partai Amanah Mohamad Sabu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pernyataan itu, mereka bersepakat memperkuat fungsi Dewan Rakyat, parlemen negeri itu, dan membuatnya lebih transparan. “Kami juga setuju dan memahami pentingnya independensi peradilan, reformasi kelembagaan, dan pemerintahan yang baik untuk memastikan lingkungan yang lebih kondusif bagi rakyat dan negara dalam kerangka Keluarga Malaysia,” kata mereka, seperti dikutip Malaysianow.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ismail Sabri terpilih sebagai perdana menteri baru menggantikan Muhyiddin Yassin, yang meletakkan jabatannya pekan lalu. Ismail didukung 114 anggota Dewan dari berbagai partai, tapi perlu menegaskan dukungan itu melalui pemungutan suara kepercayaan di Dewan nanti.
Anwar Ibrahim, pemimpin Pakatan Harapan, menyatakan tak akan memberikan suara menentang pada saat pemungutan suara nanti. “Sudah kami informasikan bahwa suasananya seperti ini dan programnya pro-rakyat, kami tidak akan mempersulit,” ujarnya.
MYANMAR
400 Ribu Pegawai Negeri Masih Mogok
Demonstrasi menentang kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 8 Agustus 2021. REUTERS
PEMERINTAH Persatuan Nasional (NUG), pemerintah tandingan junta militer Myanmar, mengklaim bahwa lebih dari 400 ribu pegawai negeri masih mogok kerja sebagai protes terhadap junta. Menteri Perencanaan dan Keuangan NUG, U Tin Tun Naing, mengatakan pada Selasa, 24 Agustus lalu, bahwa hampir 410 ribu anggota staf pemerintah Myanmar “tetap bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil (CDM)”.
The Irrawaddy memperkirakan ada lebih dari 1 juta pegawai pemerintah sehingga saat ini separuh dari mereka masih mogok kerja. Mereka bukan hanya pegawai biasa, tapi juga direktur hingga perwira di Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertahanan. Junta telah memecat banyak pegawai yang mogok itu atau mengancam akan menangkap mereka.
NUG berusaha mendanai pegawai yang mogok dengan menggalang dana melalui lotere online. Seluruh 50 ribu tiket lotre habis terjual dalam waktu satu jam pada hari peluncuran pada 16 Agustus lalu. Hingga Selasa, 24 Agustus lalu, sudah 250 ribu tiket terjual. Nilai totalnya mencapai 500 juta kyat atau hampir Rp 4,4 miliar.
Dewan Administrasi Negara, junta militer negeri itu, mengancam akan menindak pihak-pihak yang memberikan dana dan peralatan kepada NUG, yang mereka anggap sebagai organisasi teroris. Hal ini dibahas dalam rapat Dewan yang dipimpin Jenderal Senior Min Aung Hlaing di Nay Pyi Taw, 23 Agustus lalu.
AMERIKA SERIKAT
Pengacara Trump Dinilai Ingin Merusak Sistem Pemilihan
HAKIM Distrik Amerika Serikat, Linda Parker, menjatuhkan hukuman kepada para pengacara yang mewakili Donald Trump dalam gugatan hasil pemilihan presiden 2020 pada Rabu, 25 Agustus lalu. Parker memerintahkan Sidney Powell, Lin Wood, dan tujuh pengacara lain membayar biaya pengadilan dan menjalani 12 jam pendidikan hukum. Dia juga menyerahkan kasus mereka kepada Komisi Keluhan Jaksa Michigan dan komite disiplin lokal tempat mereka mendapat izin beracara.
Para pengacara Trump telah menuduh tanpa dasar bahwa pemilihan presiden tahun lalu curang. Powell mengklaim sistem pemungutan suara elektronik telah mengubah jutaan suara pemilih.
Parker menilai para pengacara itu bermaksud merusak sistem pemilihan dan gugatan mereka di Michigan sebagai “penyalahgunaan mendalam dari proses peradilan”. “Ini tentang merusak kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi kita dan merendahkan proses peradilan untuk melakukannya,” kata Parker dalam putusannya, sebagaimana dikutip BBC.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo