Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Greta Thunberg punya rutinitas baru. Dalam tujuh bulan terakhir, gadis asal Swedia ini menggelar aksi protes mingguan untuk menyuarakan ancaman perubahan iklim. Sambil membentangkan poster bertulisan “Skolstrejk for Klimatet” (“Mogok Sekolah untuk Iklim”), dia berdiri di luar gedung parlemen yang berkelir merah jambu di Ibu Kota Stok-holm mulai pukul 08.30 hingga 15.00.
Aksinya terus berlangsung bahkan pada musim dingin. Jumat, 22 Maret lalu, Thunberg tetap membentangkan posternya meski diterpa suhu udara 5 derajat Celsius. Dia mengenakan celana parasut pink, jaket tebal ungu, kupluk rajut krem, dan sarung tangan hitam. Dia tidak tahu kapan aksinya bakal berhenti. “Saya melakukan ini karena tidak ada orang lain yang berbuat apa pun. Ini adalah tanggung jawab moral saya untuk melakukan apa yang saya bisa,” katanya.
Thunberg masih 15 tahun saat mengawali aksinya pada 24 Agustus 2018. Dengan rambut pirang panjang dikepang dua, dia duduk lesehan sambil memajang posternya di emperan gedung parlemen. Dia membagikan selebaran yang bertulisan “Saya melakukan ini karena Anda, orang dewasa, tidak peduli masa depan saya”.
Dia menuntut para politikus membawa kebijakan Swedia selaras dengan Kesepakatan Iklim Paris 2015, perjanjian internasional untuk memerangi perubahan iklim dengan menekan emisi karbon global. “Kami, anak muda, tidak punya hak suara, tapi wajib bersekolah,” ujar Thunberg kepada The Local. “Ini cara agar suara kami didengar.”
Dia menolak bersekolah, kewajiban bagi anak-anak di Swedia sampai usia 16 tahun. Saat orang-orang yang melintas menasihatinya agar masuk sekolah, Thunberg menunjuk buku teks di tasnya. “Saya punya buku di sini,” katanya dalam bahasa Inggris yang fasih. “Tapi, saya juga berpikir, buat apa saya harus belajar? Fakta tidak lagi bermakna karena politikus tidak menggubris para ilmuwan.”
Thunberg tertarik pada isu perubahan iklim sejak usia 8 tahun. Saat itu dia masih kelas III sekolah dasar dan heran terhadap sikap gurunya. “Mereka selalu menyuruh kami menghemat listrik, air, dan kertas serta tidak membuang makanan. Tapi lalu mereka terbang ke New York untuk liburan,” ujarnya. Dia menganggap tindakan itu aneh karena pesawat terbang termasuk penyumbang emisi karbon.
Thunberg dikenal sangat cerdas dan berkepribadian tertutup. Gaya bicaranya lembut dan sering kali hanya mengangguk bila disapa. Empat tahun lalu, dia didiagnosis mengidap sindrom Asperger, gangguan obsesif kompulsif, dan mutisme selektif, yang berarti dia hanya berbicara jika merasa perlu. “Saya terlalu banyak berpikir, terutama jika ada yang membuat saya khawatir atau sedih,” katanya.
Ibunya, Malena Ernman, adalah penyanyi opera terkenal di Swedia. Ayahnya, Svante Thunberg, aktor dan penulis. Namanya terinspirasi dari Svante Arrhenius, ilmuwan pemenang Hadiah Nobel yang pada 1896 untuk pertama kalinya menghitung bagaimana emisi karbon dioksida dapat memicu efek rumah kaca. Thunberg memiliki adik perempuan, Beata, yang didiagnosis mengidap autisme.
Thunberg masih ingat saat dia duduk di sekolah dasar dan gurunya memutarkan film tentang sampah plastik di lautan, beruang kutub kelaparan, dan tayangan bertema lingkungan lainnya. Dia menangis sepanjang film diputar. Saat teman-temannya seketika bisa mengalihkan perhatian selepas menyaksikan film, lain halnya Thunberg. “Foto-foto satwa itu menancap di benak saya,” ucapnya.
Bagi Thunberg, orang tuanya adalah suporter sekaligus “kelinci percobaan” pertama. Mereka menghadapi pergolakan selama putrinya mempelajari perubahan iklim dalam enam tahun terakhir. Malena Ernman, misalnya, terpaksa mengakhiri karier internasionalnya setelah Thunberg membujuknya agar tidak naik pesawat terbang. Dia mengikuti putrinya yang lebih dulu melakukannya pada 2015.
Svante Thunberg menjadi vegetarian seperti sang anak, yang berhenti makan daging sejak tahun lalu. Keluarga itu telah memasang panel surya dan menanam sayuran sendiri di halaman rumah mereka di pinggiran Stokholm. Untuk menuju pusat kota, Thunberg bersepeda sekitar setengah jam. Mereka memiliki mobil listrik yang jarang dipakai. “Greta membuat kami mengubah gaya hidup,” kata Svante Thunberg.
Greta Thunberg mengalami titik balik saat memenangi kontes menulis di sebuah surat kabar di Swedia tahun lalu. Kala itu dia menulis esai tentang mengapa anak muda harus bertindak sekarang untuk mencegah ancaman perubahan iklim. Setelah itu, dia bergabung dengan salah satu organisasi pencinta lingkungan dan membahas ide-ide aksi protes untuk meningkatkan kesadaran publik tentang perubahan iklim.
Gagasan mogok sekolah diilhami oleh aksi para siswa di Parkland, Florida, Amerika Serikat, yang keluar dari kelas sebagai protes terhadap undang-undang pemilikan senjata api Amerika yang memungkinkan terjadinya pembantaian di sekolah mereka pada Februari 2018. Thunberg semula ingin mengajak siswa lain ikut aksi mogok, tapi tak ada yang tertarik. Maka dia berjuang sendirian. Dia bergeming saat orang tuanya membujuknya agar kembali bersekolah. Dia juga tak acuh saat guru dan teman sekelasnya menolak ikut aksinya.
Thunberg mulai meraup dukungan saat dia rutin memajang aksinya di Instagram dan Twitter serta menjadi viral. Orang-orang yang melintas juga lambat-laun bersimpati kepadanya. Pada pekan pertama, hanya ada sepuluh orang yang menemaninya mogok. Tapi, ibarat bola salju yang menggelinding, aksinya terus menyedot perhatian publik. “Saya kira saya akan terus duduk di sini sendiri,” ucapnya.
Mulanya aksi itu berlangsung setiap hari selama tiga pekan hingga pemilihan legislatif Swedia pada 9 September 2018. Tapi Thunberg melanjutkan protesnya saban Jumat. Bukan hanya orang yang melintas, teman sekolah dan gurunya akhirnya juga ikut mogok. Aksinya telah menulari anak-anak sekolah di kota-kota lain di Swedia dan berbagai negara. Tulisan “Skolstrejk for Klimatet” pada posternya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Aksi Thunberg kini dikenal sebagai gerakan “Jumat untuk Masa Depan”.
Thunberg tak lagi menjalankan aksinya melulu di kampung halamannya. Pada 1 Maret lalu, misalnya, dia turun ke jalan bersama ribuan siswa di Kota Hamburg, Jerman. Dua pekan kemudian, aksi solidaritas mencapai puncaknya saat sekitar 1,6 juta siswa di lebih dari 300 kota di penjuru dunia bolos sekolah untuk turun ke jalan dan ikut dalam pemogokan pelajar terbesar pertama sejagat.
Alexandria Villasenor, 13 tahun, salah satu pendiri organisasi Pemogokan Pemuda Iklim Amerika Serikat, menilai aksi 15 Maret lalu sangat bersejarah karena masif. Adapun Haven Coleman menganggap protes global ini bersifat pribadi. Gadis 12 tahun ini merasakan ngerinya kepungan asap akibat kebakaran hutan dahsyat karena kekeringan di California tahun lalu. “Saya susah bernapas. Itu menakutkan,” ujar Coleman.
Bahkan Thunberg juga menularkan pandangannya ke kalangan yang lebih luas dengan berpidato dalam konferensi perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Katowice, Polandia, Desember 2018. Sebulan berselang, ia diundang menjadi pembicara di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss. Thunberg bahkan digadang-gadang sebagai kandidat penerima Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini.
Aksi protes Thunberg cukup mengejutkan mengingat Swedia adalah negara dengan reputasi kuat sebagai pelopor penjaga iklim dan pejuang lingkungan. Tahun ini negara Skandinavia berpenduduk 9,9 juta jiwa itu memberlakukan “undang-undang iklim paling ambisius” yang mematok bebas emisi karbon pada 2045. Ini jauh melampaui target Kesepakatan Iklim Paris.
Di Swedia, perubahan iklim kini menjadi isu yang mendapat perhatian besar setelah imigrasi. Tapi Thunberg belum ingin berhenti. Ditemani ibunya, dia menuju Berlin, Jerman, seribu kilometer dari Stokholm, dengan menumpang kereta api, Kamis, 27 Maret lalu. Dia kembali bersiap mengikuti aksi “Jumat untuk Masa Depan” bersama ribuan pelajar lainnya.
MAHARDIKA SATRIA HADI (THE LOCAL, GUARDIAN, NEW SCIENTIST, WIRED)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo