Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Meja Hijau Filipina untuk Junta Militer Myanmar

Warga Myanmar berusaha mengadili junta militer Myanmar di pengadilan Filipina. Hukum negeri itu memungkinkannya.

29 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Warga Myanmar menggugat junta militer Myanmar melalui pengadilan Filipina.

  • Hukum Filipina memungkinkan untuk mengadili kejahatan perang di mana pun kejadiannya.

  • Pemimpin Aborigin kecewa terhadap hasil referendum nasional yang menolak mengakui penduduk pribumi.

LIMA warga Myanmar mendatangi kantor Departemen Kehakiman Filipina di Manila pada Rabu, 25 Oktober lalu. Mereka meminta kejaksaan menyelidiki dan mengadili dugaan kejahatan perang yang dilakukan pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, dan sembilan orang lain terhadap minoritas penganut Kristen di Negara Bagian Chin, Myanmar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gilbert Andres, pengacara warga Myanmar itu, menyatakan mereka mengajukan kasus tersebut di Filipina karena testimoni para saksi lebih mudah disampaikan dan hukum Filipina memungkinkan untuk mengadili kejahatan perang di mana pun kejadiannya. Undang-Undang Republik Filipina Nomor 9851 Tahun 2009 menggariskan bahwa kejaksaan dapat mengadili kejahatan terhadap hukum kemanusiaan internasional, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan lain melalui pengadilan khusus. “Ini adalah tuntutan penting karena pertama kalinya kasus seperti ini diajukan ke Filipina,” ujar Romel Bagares, salah satu pengacara, seperti dikutip AFP.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Warga Myanmar itu menuduh junta militer membunuh seorang pendeta dan dua penatua gereja di Kota Thantlang, Chin, pada September 2021. Mereka juga menuduh para terdakwa secara sengaja menyerang gereja-gereja dan membakar ratusan rumah di Thantlang setelah kudeta 1 Februari 2021. Terdakwa juga diduga memblokir pasokan bantuan kepada masyarakat Chin setelah bencana topan Mocha menerjang pada Mei lalu. Di antara terdakwa itu, ada Vung Suan Thang, Menteri Besar Negara Bagian Chin dan mantan perwira militer.

Di sisi lain, Filipina masih menjadi sasaran penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia internasional dalam kasus pembunuhan di luar hukum dalam program pemberantasan narkotik di masa Presiden Rodrigo Duterte. Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yang bermarkas di Den Haag, Belanda, sedang menyelidiki “kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan” yang dilakukan Duterte. Pada Juli lalu, Presiden Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. mengatakan Filipina telah “selesai berbicara dengan ICC”, tapi akan terus mempertanyakan yurisdiksi ICC terhadap negerinya. Filipina mundur dari Statuta Roma, yang menjadi dasar ICC, pada Maret 2019 setelah ICC memulai penyelidikan kasus Duterte.



Australia

Hasil Referendum Menolak Hak Aborigin

PARA pemimpin Aborigin kecewa terhadap hasil referendum nasional pada Sabtu, 14 Oktober lalu, yang menunjukkan 60,69 persen suara menolak usul pembentukan Suara Aborigin dan Penduduk Pribumi Selat Torres yang diajukan pemerintahan Perdana Menteri Anthony Albanese. Seandainya disetujui, Konstitusi Australia akan mengakui penduduk asli Australia dengan menetapkan suatu mekanisme perwakilan mereka di parlemen dan eksekutif mengenai hal-hal yang berkaitan dengan mereka.

Perdana Menteri Australia Anthony Albanese. Reuters/Nathan Howard

Dalam surat terbuka yang disebar pada Ahad, 22 Oktober lalu, para pemimpin Aborigin menyebut hasil referendum itu “memalukan”. “Dengan menolak hak rakyat kami untuk didengarkan mengenai hal-hal yang berdampak pada kami, Australia memilih menjadikan dirinya kurang liberal dan kurang demokratis,” tutur mereka, sebagaimana dikutip AAP.

Anthony Albanese mengakui kekecewaan mereka, tapi mengatakan pilihan rakyat Australia harus dihormati. “Kami menghormati hasil demokrasi kami dan saya telah melakukannya,” ujar pemimpin Partai Buruh itu.

Partai oposisi, Partai Liberal, menentang pembentukan Suara Aborigin. Pemimpinnya, Peter Dutton, menyebut referendum itu memecah belah bangsa.

Wakil Perdana Menteri Richard Marles mengatakan pemerintah akan mencari cara lain untuk menutup kesenjangan masyarakat pribumi yang hanya jumlahnya 3,8 persen dari populasi, tapi menderita kemiskinan dan memiliki tingkat bunuh diri yang sangat tinggi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus