Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAYI merah itu baru berusia 10 hari. Ia ditidurkan di lantai beralas karpet plastik dan satu-dua lapis kain di bawah kelambu hijau. Sesekali ia menggeliat, lalu kembali terlelap. Bayi ini anak pasangan Mohammed Sadek, 25 tahun, dan Estofa, 24 tahun. Pengungsi Rohingya itu tinggal di ruangan berukuran 3 x 3 meter di bekas Kantor Imigrasi Kota Lhokseumawe di Desa Ulee Blang Mane, Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe, Aceh. Mereka menempati gedung berlantai keramik itu bersama beberapa keluarga Rohingya lain yang juga mempunyai bayi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bangunan berlantai dua ini dijubeli pengungsi. Setiap keluarga menyekat ruangan mereka dengan kain, terpal, dan sebagainya. Ruangan yang minim cahaya dan udara ini pengap, lembap, dan berbau. Beruntung bagi keluarga yang menempati ruangan berjendela dan di dekat pintu masuk, seperti keluarga Hasena Begum dan Zubaedah. Hasena bersama anaknya terpisah dari suaminya, yang kini berada di pengungsian Pekanbaru, Riau. Adapun Zubaedah bersama empat anaknya harus berjuang sendiri setelah suaminya meninggal di Bangladesh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruangan yang ditempati keluarga Sadek cukup bersih. Di sudut ruangan terdapat sebuah tabung gas 3 kilogram, kompor satu tungku, dan dua kipas angin. Ada penanak nasi listrik juga, tapi hanya dapat digunakan untuk merebus air. Ruangan itu penuh dengan pakaian, kain untuk popok bayi, dan barang-barang lain. Karena jumlah popok bayi terbatas, Estofa menyobek kain dan pakaian untuk dijadikan popok dan lap pipis yang dapat dicuci.
Sebagian tempat tidur para pengungsi lajang laki-laki di kamp Mina Raya, Nangroe Aceh Darussalam, 3 Oktober 2024. Tempo/Diann Yuliastuti
Estofa mengungkapkan, dia mendapatkan beberapa barang ini dari sumbangan turis dan warga lokal di Sabang, Aceh. “Saya membutuhkan ayunan bayi. Kasihan kalau dia harus tidur terus di lantai,” katanya kepada Tempo pada Jumat, 4 Oktober 2024.
Keluarga itu belum lama tinggal di sini. Sebelumnya mereka tinggal di penampungan pengungsi sementara di Sabang. Mereka dipindahkan ke Lhokseumawe karena Pekan Olahraga Nasional (PON) 2024 digelar di provinsi itu pada September.
Manjur Alam, pengungsi Rohingya 25 tahun, datang seorang diri ke Aceh dari kamp pengungsi di Cox's Bazar, Bangladesh. Di Myanmar dulu dia sempat bersekolah hingga tingkat sekolah menengah atas sebelum mengungsi ke Bangladesh akibat kekerasan yang melanda Myanmar. Pemuda yang cukup lancar berbahasa Inggris itu bekerja untuk Dokter Lintas Batas (MSF)—organisasi internasional yang memberikan bantuan medis di berbagai wilayah konflik—selama di Cox's Bazar. Ibu dan adiknya yang kini masih berada di Bangladesh bekerja pula di lembaga itu. Manjur berharap bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi untuk memperbaiki hidupnya.
Manjur meninggalkan Bangladesh untuk menghindari perburuan kelompok kriminal. Dia membayar sedikitnya Rp 15 juta untuk sampai ke Aceh. “Ibu menyuruh saya lari naik kapal ketimbang saya terancam dibunuh di sana,” ujarnya. Dalam perjalanan di laut, ia beberapa kali mendapat pukulan serta kekurangan makanan dan minuman.
Beberapa langkah dari bangunan yang ditempati keluarga Sadek, ada dua tenda milik Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mempromosikan migrasi yang berperikemanusiaan. Satu tenda ditempati puluhan keluarga yang berjubel. Satu tenda lain, yang terlihat agak kosong, ditempati para pengungsi laki-laki yang masih lajang.
Seorang pengungsi perempuan menarik tangan Tempo agar mampir ke tendanya. “Panas di sini,” ucapnya. Udara di dalam tenda ini panas dan pengap. Setiap keluarga memasang sekat dari kain atau sarung untuk menandai tempat mereka. Pakaian bergantungan dan diletakkan di mana-mana, bersanding dengan aneka barang. Hanya tersisa satu area di tengah untuk berjalan dari ujung ke ujung tenda.
Di ujung tenda ada Fatema dan Taslima Begum. Mereka tengah hamil dua bulan. “Panas, bau, tidak bisa duduk bersandar. Badan juga sakit ketika tidur karena tanahnya berbatu,” tutur Fatema. Ia mengaku sulit makan dan sering muntah, apalagi jika mencium bau selokan air dan toilet.
Fatema menempati bagian ujung tenda, tak jauh dari kamar mandi perempuan—bangunan semipermanen dengan bak besar di dalamnya. Banyak sampah bungkus sabun berserakan di kamar mandi ini. Air menggenang di tanah yang becek dan tak ada saluran pembuangannya. Di belakangnya terdapat sederet jamban berdinding seng bercat hitam. Lubang kloset dan lantainya kotor kecokelatan.
Para pengungsi perempuan Rohingya mencuci dan memandikan anaknya di kamar mandi perempuan, di kamp pengungsi bekas kantor Imigrasi Kota Lhokseumawe, Nangroe Aceh Darussalam, 4 Oktober 2024. Tempo/Dian Yuliastuti
Halaman yang tak begitu luas menjadi tempat anak-anak berlarian dan bermain. Sebagian tak berbaju atau hanya mengenakan celana dalam. Tak jauh dari klinik, ada dua tandon air berwarna oranye. Di dekatnya terdapat tempat sampah yang dikerubuti lalat.
Siang itu, beberapa orang mengantre obat di klinik. Beberapa pengungsi lelaki duduk di bawah pohon di bangku, menunggu waktu salat Jumat. Sejumlah perempuan berabaya dan bercadar hitam terlihat berjalan ke belakang. Lalu sebuah becak motor datang mengantar galon-galon air isi ulang. Tak lama kemudian, beberapa plastik besar merah berisi camilan dan buah sebagai makan siang datang. Selepas salat Jumat, sekelompok laki-laki duduk-duduk di bawah pohon dan beberapa laki-laki dewasa dan anak-anak bermain kelereng di dekat pos satuan pengamanan.
Tempat penampungan pengungsi Rohingya ini diisi lebih dari 238 orang per 11 Oktober 2024. Sebagian dari mereka baru dipindahkan dari Sabang dan Banda Aceh. Dua tenda yang mereka gunakan itu baru didirikan karena bangunan yang tersedia tak dapat menampung pengungsi baru.
Dalam waktu dekat, para pengungsi itu juga akan kembali dipindahkan karena bangunan ini akan dibongkar untuk dibangun yang baru pada awal tahun depan. Pemerintah akan membangun kantor baru yang lebih luas di sini. Asisten 1 Sekretaris Daerah Kota Lhokseumawe M. Maxalmina mengatakan sudah menerima surat dari Gubernur Aceh untuk memindahkan para pengungsi. Mereka masih mempertimbangkan beberapa lokasi yang dapat menampung para pengungsi.
•••
DI Mina Raya, Gampong Luen, Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie, Aceh, Hisyamullah hidup bersama keluarganya, dua anak yang beranjak dewasa dan istrinya. Ia tinggal di sebuah ruangan dekat dapur bangunan bekas panti asuhan Yayasan Mina.
Hisyam datang ke Aceh dengan kapal yang mengangkut orang-orang Indonesia dari Malaysia. Ia dulu bekerja di Malaysia. Suatu hari, dia mengetahui istri dan anaknya melarikan diri dari Myanmar dengan kapal dan mendarat di Aceh. “Saya lihat di Internet. Saya bertekad mencari keluarga saya,” ujarnya.
Hisyam mendarat di Dumai, Riau. Dengan bus ia pergi ke Aceh untuk mencari keluarganya di tempat penampungan pengungsi. Di sanalah ia kemudian ditangkap polisi. Namun, sejak saat itu, dia bisa berkumpul dengan keluarganya di Mina Raya.
Di penampungan ini, Hisyam menjadi “koordinator” dapur untuk pengungsi Rohingya. Ia mendampingi Rosli, warga Gampong Luen yang menjadi ketua dapur. Setiap hari Rosli mengajak Hisyam berbelanja di pasar Padang Tiji. Hisyam-lah yang menentukan lauk dan sayur yang akan dimasak untuk para pengungsi. “Setiap hari kami berbelanja sayur, bumbu, dan lauknya, lalu kami memasaknya,” ucap Hisyam sambil memperlihatkan kondisi dapur.
Dua perempuan warga Gampong Luen tampak sedang membersihkan ikan yang akan dimasak. Saluran pembuangan dari dapur terlihat mampat. Sisik dan air bekas mencuci ikan menggenang di luar dapur menuju kebun.
Keuchik Gampong Luen, Syamsul Bahri, menjelaskan bahwa para pengungsi di wilayahnya memang dibebaskan menentukan rupa konsumsi. Pengungsi boleh memasak sendiri makanan sesuai dengan selera mereka. “Lebih baik mereka masak sendiri karena selera kita berbeda,” tutur Syamsul. Kebijakan ini, selain bisa meredam gejolak, juga memberdayakan warga setempat. Warga desa yang membantu di dapur setidaknya mendapatkan uang Rp 50 ribu sehari.
Syamsul juga membebaskan pengungsi memanfaatkan lahan di sekitar tempat pengungsian. Hisyam bersama 15-20 laki-laki pengungsi biasanya menanam cabai, okra, labu, terung, pare, dan kacang panjang di lahan seluas hampir 2 hektare itu. Hasil kebun mereka dimasak dan kadang juga dijual meskipun tak banyak memberikan keuntungan. Bibit tanaman dan keterampilan berkebun mereka dapatkan dari sebuah organisasi nonpemerintah. Di lahan itu, tanaman tumbuh cukup subur. Sebagian buah okra dibiarkan menua sebagai persiapan menjadi bibit.
Hisyam memperlihatkan bagian lahan garapannya yang berisi cabai yang mulai berbunga. Ia mengeluhkan hasil kebun yang tak bisa memberikan pemasukan. “Seandainya ada uang, mungkin kami bisa lebih baik. Bisa masak sendiri sesuai dengan selera atau beli sesuatu. Tapi di sini tidak bisa dapat uang,” katanya. Ia berharap keluarga pengungsi bisa mendapatkan uang saku bulanan dan tempat tinggal sendiri seperti pengungsi yang ditampung di wisma-wisma di Pekanbaru.
Hal senada disampaikan pasangan Nila, 35 tahun, dan Haybhan, 41 tahun. Nila tengah menyusui bayinya yang baru lima bulan. Air susunya kurang lancar. “Makanan kan pedas, berpengaruh pada air susu. Coba kalau bisa memasak sendiri,” tuturnya.
Nila mengaku telah menjual beberapa jatah yang dibagikan kepada pengungsi, seperti sabun, untuk membeli popok dan barang lain. Sebelum lari dari Myanmar, pasangan ini mencari penghidupan dengan menjahit dan berdagang.
Nila pernah lari dari Myanmar pada 2013 sebelum kemudian kembali pada 2017. Dia hanya bertahan tiga tahun. Keadaan memburuk. Kerusuhan pecah. Seorang anaknya tewas. Anak keduanya juga meninggal saat terjadi pandemi Covid-19. Situasi yang memburuk membuat dia mengungsi lagi.
Di Mina Raya ini, ia merasa penanganan pemerintah lambat. Ia berharap pengungsi seperti dia diberi kebebasan, mendapat pekerjaan, bisa hidup mandiri, dan dapat masak sendiri. “Banyak pikiran. Di Myanmar masih ada saudara, masih perang. Kami ingin bisa pulang lagi. Di sini hanya makan-tidur, tidak bisa apa-apa,” ujarnya.
Di sini para pengungsi menempati ruangan-ruangan di beberapa bangunan yang mengelilingi sebuah lapangan. Biasanya anak-anak atau para laki-laki bermain sepak bola atau voli untuk mengusir rasa bosan. Pintu masuk kamp dibuat dari seng dan dijaga dua penjaga keamanan.
Ketika Tempo mengunjungi kamp ini, ada sebuah ambulans yang datang mengantarkan para pengungsi perempuan berabaya dan bercadar hitam. Mereka baru memeriksakan kehamilan di rumah sakit terdekat.
Anak perempuan pengungsi Rohingya belajar Bahasa Indonesia, di kamp pengungsian Mina Raya, Pidie, Nangroe Aceh Darussalam, 3 Oktober 2024. Tempo/Dian Yuliastuti
Ada pula sebuah gedung yang digunakan sebagai ruang belajar dan kantor untuk UNHCR, IOM, dan beberapa lembaga lain. Pada pagi, delapan anak perempuan tengah belajar bahasa Indonesia dengan seorang guru dari organisasi nonpemerintah di bidang pendidikan di sebuah ruangan sempit di gedung ini. Setelah itu, sembilan laki-laki mengerjakan evaluasi dari mengikuti pelatihan dasar komputer. Saat itu mereka sedang menempuh ujian untuk membuat presentasi dengan Microsoft PowerPoint. Di sini mereka juga mendapat latihan keterampilan dan pendidikan dari beberapa lembaga swadaya masyarakat, yang kelasnya lebih banyak dibanding di kamp Lhokseumawe.
Pengungsi berharap anak-anak mereka dapat memperoleh pendidikan di sekolah setempat. Namun bahasa menjadi kendala utamanya. Syamsul Bahri menuturkan, beberapa anak pengungsi pernah belajar di sekolah setempat selama seminggu, tapi kemudian mereka berhenti. “Mungkin karena masalah bahasa. Mereka pun, katanya, juga dirundung anak-anak lain,” ucapnya.
Sekitar 15 kilometer dari kamp itu, terbentang jalan utama lintas Medan-Aceh. Di sini ada kamp pengungsian Rohingya yang terletak di Gampong Kulee, Kecamatan Batee, Pidie. Kamp ini berada di pantai dengan kotoran sapi dan sampah plastik yang cukup banyak bertebaran.
Ada belasan tenda terpal biru dan dua tenda putih besar bertulis “IOM”. Ratusan pengungsi telah menempati tenda-tenda ini selama hampir setahun. Tak terlihat pintu dan seng-seng pembatas seperti di kamp lain. Para pengungsi di sini bisa lebih leluasa bergerak untuk sekadar membeli sesuatu di warung, menunaikan salat Jumat, atau bergaul dengan masyarakat desa setempat. Namun banyak pula pengungsi yang kabur dengan mudah.
Ayesha Begum, 59 tahun, berkumpul dengan anak-anak dan cucunya di sini. Ia dulu dipindahkan dari tempat penampungan sementara di Desa Seuneubok Rawang, Kecamatan Peureulak Timur, Aceh Timur ke Gampong Kulee, Pidie, pada Rabu, 2 Oktober 2024.
Dua hari kemudian, anak perempuan dan cucunya yang tinggal di kamp Mina Raya menengoknya. Mereka hampir setahun terpisah sejak meninggalkan kamp pengungsian Cox's Bazar di Bangladesh. Mereka berangkat terpisah dengan dua kapal. Mereka mengaku membayar mahal untuk bisa berlayar ke Aceh. Ongkos per orang berkisar Rp 4-20 juta. Tiba di Aceh, dia masih mendapat ancaman dan pemerasan dari orang yang membawa kapal. Dari merekalah ia tahu bahwa keluarganya juga selamat tiba di Aceh.
Siang itu, beberapa petugas kampung tampak membagikan nasi bungkus dari tas plastik merah ke para pengungsi. Sebelumnya pernah dibuat sistem prasmanan, tapi malah terjadi keributan. “Para pengungsi berkelahi untuk mengambil makanan, tidak teratur, sampai pecah piring. Akhirnya disepakati dibuatkan nasi bungkus agar lebih praktis,” kata Keuchik Gampong Kulee, Muhammad. “Pilihan mereka ditentukan mereka.”
Kehadiran pengungsi itu telah menambah pendapatan masyarakat setempat. Dari usaha menyediakan makanan dan mempekerjakan warga setempat, pemasukan untuk desa sekitar Rp 15 juta per bulan. Sebelumnya desa bahkan mendapatkan Rp 30 juta per bulan. Penurunan itu terjadi seiring dengan berkurangnya jumlah pengungsi, yang kabur atau pindah ke kamp lain. Saat ini lebih dari 70 pengungsi tinggal di kamp tersebut.
Ada 10 laki-laki di kamp ini yang bekerja di kebun atau mengikuti kapal nelayan setempat. “Mungkin dalam dua bulanan ini, sehari bisa dibayar Rp 100 ribu untuk bersih-bersih dan bertanam di kebun atau ikut melaut,” ujar Azhari, warga desa yang membuka warung kopi tak jauh dari kamp tersebut.
Azhari bercerita, ia sering membantu pengungsi pada bulan-bulan awal kedatangan pengungsi, yang tiba dengan kapal. Dia meminjamkan alat komunikasi dan menerima titipan uang dari para pengungsi.
Warga desa, kata Azhari, membantu memberi makan-minum dan pakaian pantas pakai. Namun dia pun mengakui ada juga penduduk yang tidak suka terhadap kehadiran pengungsi. “Karena adat, kebiasaan kan sangat berbeda, warga juga tidak tahu bagaimana mereka,” katanya.
Beni, pemuda asal Kota Lhokseumawe, juga mengakui masyarakat sempat menolak kedatangan para pengungsi karena ada ketidakpahaman, terutama tentang pendanaan dan penyediaan kebutuhan hidup untuk para pengungsi. “Seiring dengan waktu, masyarakat mulai mengetahui dan paham bahwa keberadaan pengungsi Rohingya tidak membebani pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat yang tidak mengeluarkan uang serupiah pun untuk Rohingya,” tuturnya. Sejak saat itu, masyarakat pun menerima para pengungsi, apalagi sebagian penduduk mendapat pekerjaan mengurusi kebutuhan pengungsi.
Putri Zuhra Furna dari Aceh berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bertahan di Tenda Penampungan". Artikel ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support