Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RIWAYAT perjalanan akademik di kampus ternama hingga penghargaan internasional mewarnai laman akun LinkedIn Noor Azizah. Perempuan muda Rohingya itu bekerja di bidang advokasi dan pendidikan, juga bergerak menjadi pembawa suara bagi warga Rohingya, terutama perempuan dan anak-anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Noor termasuk 1 persen dari 2,8 juta warga Rohingya yang bisa menghirup udara bebas dan hidup layak. Perempuan 29 tahun itu menuturkan, sebagian besar anggota kelompoknya masih terjebak di Myanmar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Menghadapi penganiayaan sistemik atau di kamp-kamp pengungsi yang penuh sesak dan tidak aman di Bangladesh dan Malaysia serta negara Asia Tenggara lain,” kata Noor kepada Tempo, Selasa, 24 September 2024.
Sebelum hidup layak di Australia, Noor dan keluarganya terkatung-katung. Bahkan, ketika lahir di Arakan, Myanmar, pada 1995, ia tak memiliki kewarganegaraan. Noor yang saat itu masih bayi diboyong keluarganya melarikan diri ketika kekerasan terhadap Rohingya meningkat.
Pelarian keluarga Noor penuh rintangan yang berbahaya. Mereka berjalan melalui hutan lebat, menaiki perahu, dan bergantung pada sedikit makanan yang bisa ditemukan atau berasal dari kemurahan hati penduduk di wilayah yang mereka singgahi.
Meski mengancam jiwa, Noor mengungkapkan, perjalanan itu adalah satu-satunya pilihan bertahan hidup. “Tinggal di Arakan kemungkinan besar berarti kematian bagi saya dan keluarga,” ujarnya.
Setelah menempuh perjalanan panjang, Noor dan keluarganya tiba di Sabah, Malaysia, dengan harapan menemukan tempat yang aman. Namun, selama delapan setengah tahun Noor dan keluarganya menetap di pengungsian, kondisi mereka dilingkupi nestapa. Mereka terus-menerus hidup dalam ketakutan akan ditangkap atau dijadikan migran ilegal.
Penduduk setempat juga kerap berpandangan buruk terhadap pengungsi Rohingya. Karena itu, Noor dan keluarganya harus menyembunyikan identitas demi melindungi diri. “Kami bahkan takut mengucapkan kata ‘Rohingya’ dengan lantang karena risiko penganiayaan,” tuturnya.
Sebagai pengungsi, Noor tak bisa mengenyam pendidikan formal di Malaysia. Jangankan memikirkan sekolah, keluarga Noor hanya berfokus mempertahankan hidup karena situasi kala itu. Ia bersama saudara kandungnya bahkan harus menjauhi tempat umum agar tak terdeteksi.
Kakak tertua Noor akhirnya mengambil peran sebagai pendidik dan semampunya mengajar adik-adiknya. Sang kakak yang telah menguasai bahasa Melayu dengan cepat kemudian bekerja sambilan untuk menghidupi keluarganya.
Tahun demi tahun Noor dan keluarganya hidup dalam ketidakpastian. Pada 2003, secercah harapan muncul: pemerintah Australia akhirnya memberikan suaka kepada mereka. “Ini adalah titik balik bagi keluarga saya,” ucapnya.
Noor Azizah kedua dari kanan dalam sebuah cara diskusi, di Australia, September 2024. Dok. Pribadi
Untuk pertama kalinya Noor memiliki dokumen resmi dan diakui sebagai seorang manusia. Ia dan keluarganya bisa bernapas lega karena lepas dari ketakutan yang selama ini membelenggu. Mereka pun segera beradaptasi dengan kehidupan baru di Negeri Kanguru.
Noor menempuh pendidikan formal hingga masuk perguruan tinggi. Ia memperoleh gelar sarjana pendidikan dengan spesialisasi sekolah dasar dan pengajaran bahasa Inggris untuk penutur bahasa lain (TESOL) dari University of Sydney. Sejak 2019, Noor menjadi pengajar bahasa Inggris di Sydney.
Penerima Global Citizen Youth Leader Award 2024 itu kemudian melanjutkan kuliah magister studi perdamaian dan konflik di kampus yang sama. Ia ingin memperdalam pemahamannya tentang konflik, pengungsian, dan hak asasi manusia.
Capaian akademik itu menjadi bekal Noor untuk membela komunitas Rohingya. Ia berupaya memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan martabat bagi para pengungsi.
Noor lantas mendirikan Jaringan Kolaboratif Rohingya Maìyafuìnor (Rohingya Maìyafuìnor Collaborative Network/RMCN) bersama empat perempuan penyintas Rohingya. Organisasi nirlaba ini berfokus pada advokasi HAM masyarakat Rohingya, khususnya perempuan dan anak-anak. Tujuannya adalah memperkuat suara Rohingya serta bergerak menuju kesetaraan gender, pendidikan, perdamaian, dan keamanan sekaligus membangun solidaritas dengan kelompok terpinggirkan lain.
Misi organisasi ini juga meningkatkan kesadaran internasional tentang genosida Rohingya. Upaya mereka antara lain memerangi ujaran kebencian, memberikan bantuan darurat, serta mendukung layanan pendidikan dan kesehatan mental bagi pengungsi Rohingya.
Lewat RMCN, Noor aktif memberikan dukungan psikososial kepada 81 anak Rohingya yang tidak didampingi di Aceh. “Banyak dari anak-anak itu menyaksikan orang tua mereka tenggelam atau menghadapi trauma karena orang tua mereka ditahan,” kata Noor, yang ditunjuk sebagai pakar untuk Forum Pengungsi Global (GRF) 2023.
Noor juga membantu seorang mahasiswa Rohingya di Indonesia kuliah. Ia pun memberikan bantuan kemanusiaan kepada lebih dari 1.000 keluarga Rohingya di Bangladesh yang baru-baru ini selamat dari kekerasan genosida.
“Pekerjaan kami telah berdampak besar pada banyak kehidupan melalui program pendidikan, advokasi, dan pembangunan hubungan dengan komunitas Rohingya di berbagai negara,” ujar delegasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pengungsi dan penerima penghargaan NSW Young Women of the Year Award 2024 tersebut.
•••
HAFSAR Tameesuddin, warga Rohingya yang pernah menghuni kamp pengungsian di Malaysia selama delapan tahun, juga terjun di bidang advokasi dan aktivisme. Alumnus Manukau Institute of Technology di Auckland, Selandia Baru, itu kini menjadi pekerja sosial dan Ko-Sekretaris Jenderal Jaringan Hak Pengungsi Asia Pasifik (APRRN).
Lembaga tempat Hafsar bernaung itu menjalani peran dalam upaya melindungi dan memajukan hak pengungsi serta masyarakat rentan lain, termasuk pencari suaka, orang tanpa kewarganegaraan, serta kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender.
Melalui APRRN, Hafsar berfokus mengadvokasi sejumlah negara yang tengah menampung para pengungsi Rohingya. Ia berupaya mengubah persepsi dunia internasional bahwa pengungsi bukan beban. “Mereka membawa keterampilan dan kemampuan mereka untuk berkontribusi kepada masyarakat tuan rumah jika diberi kesempatan,” katanya.
Hafsar menjelaskan, bila pengungsi dikurung di kamp pengungsian dan dibatasi, tentu mereka akan menjadi beban. Menurut dia, setiap pengungsi akan menghargai kesempatan yang diberikan serta turut berkontribusi kepada negara yang memberikan perlindungan kepada mereka.
Contohnya, saat masih menjadi pengungsi di Malaysia pada 2011-2019, Hafsar banyak melakukan pekerjaan sosial agar tak menjadi beban negara tersebut. Ia bekerja bagi Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) hingga Komite Penyelamatan Internasional (IRC) guna mengadvokasi hak asasi manusia.
Hafsar terlahir tanpa kewarganegaraan karena Myanmar mengecualikan Rohingya dan warga etnis minoritas lain dalam undang-undang kewarganegaraannya. Hafsar hidup dan besar di Rakhine hingga berusia 20-an tahun. Ia kemudian pergi ke Yangon, ibu kota Myanmar saat itu, dan bersembunyi di sana selama beberapa bulan sambil mencari cara hengkang dari negara tersebut.
Hafsar Tameesudin. Dok. Pribadi
Tanpa identitas resmi, Hafsar sulit bepergian. Satu-satunya cara yang bisa ia tempuh ketika melarikan diri dari Myanmar pada akhir 2009 adalah menyewa jasa penyelundup. “Saya bepergian melalui darat, melintasi Thailand lewat perbatasan,” ujarnya.
Setelah berhasil keluar dari Myanmar, Hafsar menetap di area perbatasan di Mae Sai, Thailand. Sebagian besar waktunya ia habiskan untuk bersembunyi lantaran petugas di perbatasan bisa sewaktu-waktu menangkap dan mendeportasinya ke Myanmar atau bahkan menahannya.
Ia juga tak bisa mengajukan permintaan status pengungsi karena keterbatasan akses untuk menghubungi UNHCR. Setelah satu setengah tahun menetap di Mae Sai, Hafsar mencoba pergi ke Malaysia. Dari riset kecil-kecilan yang dia lakukan, di sana ia bisa menemukan cara mendapatkan status pengungsi. “Dan saya mungkin dapat menemukan semacam pekerjaan dan solusi jangka panjang. Itulah harapan saya,” tuturnya.
Dengan membayar sejumlah uang ke penyelundup, Hafsar tiba di Malaysia. Ia mendaftarkan diri sebagai pengungsi ke UNHCR dan mengajukan permintaan resettlement atau penempatan kembali pada 2011. Setelah lima tahun menunggu, ia menjalani wawancara pertamanya dengan UNHCR pada 2016. Ia masih harus menunggu beberapa tahun sampai mendapat kepastian suaka.
Setelah menerima informasi bahwa ia ditempatkan di Selandia Baru, Hafsar masih belum bisa meninggalkan kamp. Sekitar setahun menanti, ia akhirnya terbang pada Januari 2019 dan resmi bermukim di Negeri Kiwi.
Proses adaptasi di negeri itu cukup mudah bagi Hafsar. Ia berada di pusat pengungsian selama enam pekan untuk mempelajari aturan-aturan, cara hidup, dan sistem jaminan sosial di Selandia Baru.
Dengan terbukanya kesempatan mendapatkan hak pendidikan, Hafsar kemudian mendaftar kuliah. Ia lulus dan menyandang gelar sarjana pekerja sosial dari Manukau Institute of Technology pada awal 2023. “Sekarang saya pekerja sosial profesional,” ucap anggota Global Refugee-Led Network tersebut.
•••
KISAH Sahat Zia Hero lain lagi. Pemuda 30 tahun itu menggeluti karier sebagai fotografer dari tempat tinggalnya saat ini di kamp pengungsian Cox's Bazar, Bangladesh. Dia menjadi fotografer lepas di sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan media asing ternama.
Pendiri majalah Rohingyatographer yang akrab disapa Zia itu banyak memotret situasi dan kondisi di sekitar kamp. Lewat fotografi, ia ingin membuka mata masyarakat internasional terhadap krisis yang menimpa kelompok Rohingya, juga melestarikan budayanya.
Beberapa karyanya telah dipublikasikan di The Guardian, NBC, Al Jazeera, UNHCR, Danish Refugee Council, NRC, Amnesty International, Forced Migration Review, Lacuna Magazine, dan Migrant Voice. Karya-karya Zia juga dipamerkan di Festival Hak Asasi Manusia Oxford 2021 di Inggris, Museum Perang Pembebasan dan Pusat Kebudayaan Cox's Bazar di Bangladesh, Head on Photo Festival di Australia, serta Pusat Rohingya di Kanada.
Sejak kecil, pemuda yang lahir di Maungdaw, Arakan, Myanmar, pada 1994 ini akrab dengan dunia fotografi. Pamannya yang memperkenalkan dia pada kamera. “Saya biasa membawa kamera itu ke sekolah,” kata penerima penghargaan Prince Claus Seeds dan Nansen Refugee Regional 2023 tersebut.
Sahat Zia Hero (kiri) dengan pengungsi etnis Rohingya di Cox Bazar, Bangladesh, Desember 2023. Dok. UNHCR
Hobi memotret Zia berlanjut hingga ia duduk di bangku kuliah di jurusan pendidikan fisika Sittwe University, Myanmar. Namun ia hanya bisa kuliah hingga tahun kedua. Diskriminasi dan kekerasan agama yang meletus di Arakan pada 2012 membatasi pergerakan anggota komunitas Rohingya, termasuk hak pendidikannya. Zia pun terpaksa berhenti kuliah.
Zia kemudian balik ke kampung halamannya yang tak jauh dari perbatasan dengan Bangladesh. Selama beberapa tahun, sembari membantu keluarga mengurus kebun dan kolam pemancingan, ia terus menjalani hobi fotografi.
Berbekal kamera digital, Zia memotret berbagai kegiatan olahraga, terutama turnamen sepak bola, yang diadakan di desanya. Foto-foto tersebut sering ia unggah ke Facebook. Ia membuat laman Facebook “Rohingya Sports and Fun”.
Zia bisa mengakses Internet karena memanfaatkan jaringan dari Bangladesh yang masuk ke desanya. “Laman itu masih ada di Facebook. Tapi saya tidak memiliki akses ke situ sekarang,” ujarnya.
Ketika angkatan bersenjata Myanmar melancarkan operasi militer terhadap populasi muslim Rohingya pada 2017, Zia bersama keluarganya terpaksa hengkang dari desanya. Mereka mengungsi ke Cox's Bazar, yang kini sudah dihuni selama tujuh tahun.
Tiba di kamp, Zia mulai bekerja dengan sebuah organisasi kemanusiaan, Dewan Pengungsi Denmark (DRC). Ia menjadi pemimpin tim sukarelawan di lembaga tersebut dan mulai mengambil foto dengan telepon selulernya. Tujuannya memotret saat itu semata memberikan laporan secara khusus tentang kejadian di kamp, seperti tanah longsor, kebakaran, dan banjir.
Ia pernah menjadi korban kebakaran dahsyat yang melanda kamp pengungsian pada Maret 2021. Sebanyak 50 ribu pengungsi Rohingya kehilangan tempat tinggal. Itu adalah kedua kalinya Zia kehilangan rumah. Ia lalu mendokumentasikan kejadian itu dan menerbitkan buku foto pertamanya, Rohingyatography.
Pada tahun yang sama, Zia masuk nominasi Penghargaan Fotografer dari Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF). Dengan dukungan David Palazón, seniman dan kurator asal Spanyol, Zia mendirikan majalah Rohingyatographer pada 2022. Majalah ini diterbitkan secara kolektif oleh para fotografer Rohingya yang bermarkas di kamp Cox's Bazar.
Zia menjelaskan, majalah tersebut menjadi alat untuk membangun empati, mendobrak stereotipe, dan menciptakan hubungan di antara orang-orang dari latar belakang berbeda. Rohingyatographer menjadi sarana bagi pemuda Rohingya untuk membagikan cerita, perspektif, dan suara mereka serta terlibat dalam dialog global mengenai berbagai isu yang dihadapi lewat fotografi.
“Melalui seni, mereka tidak hanya mendidik diri sendiri, tapi juga memberikan wawasan berharga tentang kehidupan orang-orang Rohingya untuk dipelajari,” ucapnya.
Zia juga tetap memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan kesadaran terhadap situasi dan kehidupan para pengungsi di kamp. Tak sekadar mengunggah foto-foto obyek bidikannya, ia kerap berinteraksi dan menjalin kerja sama dengan banyak orang, khususnya dari organisasi kemanusiaan dan jurnalis dari berbagai media.
Sebagai fotografer lepas, Zia tak punya penghasilan tetap. Dia mengungkapkan, dengan status pengungsi, ia tak mendapat banyak kesempatan bekerja sebagai fotografer. Karena itu, ia dan rekan-rekannya harus mencari pekerjaan lain untuk bertahan hidup.
Meski begitu, setiap upah yang Zia dapatkan dari karya fotonya selalu ia sisihkan untuk keluarga dan pekerjaannya. Baru-baru ini, ia membeli kamera Sony Alpha 7 untuk mendukung kariernya. “Saya baru membelinya dengan bantuan dana dari UNHCR. Kamera ini sangat bagus untuk fotografer profesional,” tuturnya.
Zia juga menginvestasikan uang hadiah dari penghargaan yang raih pada 2023 untuk membeli kamera dan perlengkapan pendukung fotografi. Alat-alat tersebut ia pakai untuk mengembangkan keterampilan generasi muda Rohingya di kamp pengungsian.
Artikel ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support