Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Cina menerbitkan peta baru Laut Cina Selatan berdasarkan 10 garis putus-putus.
Peta itu didasari klaim wilayah tangkapan nelayan tradisional mereka.
Filipina menyiapkan peta baru untuk menandinginya.
KOMISI Zona Kelautan Senat Filipina menggelar sidang maraton untuk merancang peta baru yang akan memasukkan kawasannya di Laut Filipina Barat, bagian dari Laut Cina Selatan. “Akan ada lima rapat dengar pendapat karena kami mencoba merancang peta baru kita. Jadi ini sebagai respons terhadap 10 garis putus-putus,” kata Francis Tolentino, senator yang mengusulkan Undang-Undang Zona Laut Filipina, yang menetapkan zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen, dan bahkan fitur-fitur bawah laut milik negeri itu, pada Kamis, 14 September lalu, seperti dikutip Philstar.com.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peta itu mengacu pada Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) yang menetapkan ZEE sepanjang 200 mil laut bagi negara-negara pesisir, seperti Filipina dan Indonesia. Filipina membuat peta tandingan untuk menanggapi peta baru Cina, yang dirilis Kementerian Sumber Daya Alam Cina pada akhir Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peta Cina ini mencakup sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan dan diprotes beberapa negara, seperti Vietnam, Malaysia, dan Filipina, karena sebagian perairan mereka kini masuk peta Cina. Laut Cina Selatan selama ini menjadi jalur perdagangan laut utama di Asia Tenggara yang kaya cadangan minyak dan gas alam.
Duta Besar Republik Rakyat Cina untuk Indonesia, Lu Kang, mengatakan protes tiga negara itu sebagai perbedaan pandangan. “Itu terjadi di sini, terjadi juga di tempat-tempat lain. Tapi, yang paling penting, ada juga masa ketika Cina dan Filipina bekerja sama untuk mengatasi perbedaan. Kami dapat mengatasinya. Jika dulu kami dapat melakukannya, mengapa sekarang tidak?” ucapnya, Rabu, 27 September lalu.
Kementerian Sumber Daya Alam Cina, menurut Global Times, menyatakan peta standar terbaru itu diterbitkan untuk memperkuat manajemen peta, menjaga kedaulatan nasional serta kepentingan keamanan dan pembangunan, juga mempromosikan pengembangan yang sehat atas industri informasi geografis. Media Cina tersebut juga mencatat berbagai peta bermasalah yang mengancam kedaulatan dan integritas wilayah negeri itu.
Pada Agustus 2022, pegawai Bea dan Cukai Chongqing menyita 24 peta bermasalah yang diduga melanggar prinsip “satu Cina”, yang menyatakan bahwa hanya ada satu negara Cina, termasuk Taiwan, yang secara sepihak memproklamasikan diri sebagai negara merdeka. Pada September 2022, petugas juga menemukan dan mengoreksi sejumlah peta bermasalah dalam China-ASEAN Expo di Daerah Otonom Guangxi Zhuang.
Keributan ini setidaknya dimulai pada 2009 ketika perwakilan Cina di PBB menerbitkan peta yang mencantumkan batas wilayahnya di perairan Laut Cina Selatan dengan sembilan garis putus-putus. Cina mengklaim garis ini berdasarkan wilayah tangkapan nelayan tradisional mereka. Dengan pendekatan ini, praktis sekitar 80 persen Laut Cina Selatan masuk wilayah Cina.
Personel penjaga pantai Filipina memotong tali yang menghubungkan penghalang terapung di dekat Scarborough Shoal di Laut Cina Selatan, 25 September 2023. Philippine Coast Guard/Handout via REUTERS
Filipina memprotes peta ini karena merambah wilayah zona ekonomi eksklusifnya, khususnya Thomas Shoal Kedua atau Beting Ayungin. Filipina mengklaim daerah itu sebagai wilayahnya dan menduduki Sierra Madre, pos jaga di Thomas Shoal Kedua. Pada 2014, Cina mereklamasi Karang Mischief, atol yang terletak tak jauh dari Sierra Madre, dan mengklaim wilayah sekitarnya.
Filipina mengajukan sengketa wilayah ini ke Mahkamah Arbitrase Internasional, yang memutuskan bahwa wilayah itu milik Filipina pada 2016. Mahkamah juga menyatakan klaim sembilan garis putus-putus Cina itu tidak diakui dalam UNCLOS. Cina tak mengakui keputusan tersebut karena bukan pihak dalam sengketa yang diputus Mahkamah.
Dalam peta terbaru Cina yang terbit tahun ini, ada 10 garis putus-putus, termasuk satu garis di timur Taiwan. Atip Latipulhayat, guru besar bidang hukum internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, menilai klaim garis putus-putus itu hanya dalih karena klaim historis semacam itu tidak mudah. “Semua negara akan memiliki klaim historis seperti itu. Pada umumnya ini kan terkait dengan nelayan, perikanan, tapi dalam hal Cina ini klaimnya kewilayahan. Jadi jelas itu geopolitik,” ujarnya, Jumat, 29 September lalu.
Atip menuturkan, klaim Cina ini pernah muncul pada sekitar awal 2000-an. Pada masa setelah Revolusi Kebudayaan Cina, negara ini mengklaim dirinya sebagai negara berkembang atau negara dunia ketiga. Negeri Tirai Bambu, Atip menambahkan, sebenarnya menentang hukum internasional, tapi merasa negaranya belum kuat.
“Cina belajar bahwa hukum internasional itu sangat politis sehingga oleh Cina kala itu digunakan sebagai kendaraan untuk menjustifikasi kepentingan politik mereka. Ketika Cina kuat, ia sama seperti Amerika Serikat dan Rusia yang menggunakan hukum internasional sebagai bagian dari penguatan geopolitik mereka,” tuturnya.
Kini, Atip menerangkan, Cina sudah siap untuk bersaing secara global dengan kekuatan adidaya lain, khususnya Amerika. “Jadi, katakanlah, ia ingin menjadi kekuatan adidaya ketiga,” katanya. Ini tampak ketika setiap kali ada pergerakan di Laut Cina Selatan, entah dimulai Cina entah Amerika, pihak lain akan bereaksi.
Dalam prinsip hukum internasional, suatu negara memang dapat mengajukan peta baru. Ini disebut tindakan sepihak. Apabila tindakan itu tidak diprotes negara lain, peta itu dapat menjadi hukum yang mengikat. Atip mencontohkan salah satu tindakan sepihak Indonesia yang paling fundamental adalah pernyataan kemerdekaan. “Begitu kita menyatakan merdeka, berarti kan penguasaan wilayah teritorial yang menjadi milik kita dan sebagainya itu menjadi hukum,” katanya. Saat itu Belanda memang tidak mengakuinya, tapi negara-negara lain mengakui.
Indonesia juga pernah mengajukan klaim sepihak melalui Deklarasi Djuanda pada 1957 yang ditindaklanjuti dengan terbitnya regulasi mengenai perairan Indonesia. Deklarasi ini menetapkan bahwa wilayah laut Republik Indonesia adalah titik-titik terluar dari 12 mil laut pulau-pulau terluar yang saling terhubung dan perairan di sebelah dalam antar-titik-titik terluar itu.
Dengan aturan pada saat itu, wilayah antarpulau seperti antara Kalimantan dan Jawa adalah perairan internasional. Indonesia mengajukan klaim bahwa wilayah itu adalah wilayah Indonesia dengan konsep negara kepulauan. Negara maritim besar, seperti Amerika, Inggris, Uni Soviet, Belanda, dan Australia, menolaknya. “Banyak protes, penolakan, makanya belum bisa jadi hukum. Akhirnya diperjuangkanlah oleh Indonesia selama hampir 30 tahun hingga jadilah negara kepulauan seperti sekarang. Pada hakikatnya, Indonesia saat itu seperti mengajukan peta baru,” ujar Atip.
Cina, Filipina, dan negara lain berhak melakukan tindakan sepihak dengan menerbitkan peta baru. “Tindakan sepihak itu baru akan menjadi hukum yang mengikat apabila diterima oleh masyarakat internasional, oleh negara-negara lain. Apabila ada yang menolak, belum bisa dijadikan hukum. Jadi hanya klaim sepihak,” ucap Atip.
Atip melihat bahwa masalah klaim Cina ini sebenarnya berhubungan dengan paradigma ekspansionis. Dengan klaim historis, dia mengimbuhkan, Cina seperti ingin mengembalikan kejayaan sejarahnya, kejayaan imperium Cina.
Indonesia sejauh ini tak bersengketa dengan Cina karena wilayah Indonesia, terutama di Laut Natuna, masih jauh dari klaim Cina atas Laut Cina Selatan. Atip melihat bahwa klaim Cina itu belum akan berpengaruh terhadap wilayah Indonesia dalam jangka pendek. Namun Indonesia perlu mewaspadainya dalam jangka panjang.
“Coba bayangkan, pada mulanya kan klaim sembilan garis putus-putus. Sekarang tambah jadi 10 garis, yang mengarah ke Taiwan. Nanti ia bisa jadi 11, 12, 13.... Jadi kita harus mewaspadai jangka panjangnya,” tutur Atip.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Nabiila Azzahra berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Adu Peta Laut Cina Selatan"