Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA yang masuk ke handie-talkie itu membuat terkejut Toto Aprihandono, 42 tahun, dan Rifky, 32 tahun, yang tengah asyik menikmati es kapucino di sebuah kedai kopi di Cipayung, Jakarta Timur, Selasa, 19 September lalu. Suara yang masuk di handie-talkie yang dipegang Muhammad Zul Akbar, 25 tahun, itu mengabarkan bahwa telah terjadi kebakaran di sebuah bangunan di Jalan H. Taiman, Kelurahan Gedong, Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mendengar kabar itu, Toto, Rifky, Akbar, dan tiga rekan mereka yang lain— Rizky Dwiyanto, 37 tahun, Fanny Fachrina Fajri (25), dan Muhammad Adli (20)—langsung sigap mencari informasi titik persis lokasi kebakaran tersebut. Setelah itu, mereka berkoordinasi dengan petugas lapangan melalui sambungan udara handie-talkie—alat komunikasi dua arah yang menggunakan gelombang radio.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Toto, Rifky, Rizky, Akbar, Fanny, dan Adli adalah anggota komunitas Forum Radio Digital. Komunitas ini tidak menginduk pada organisasi radio amatir seperti Radio Antar Penduduk Indonesia atau RAPI.
(Dari kanan) penggemar handie-talkie Rifky, Fanny Fachrina Fajri, Muhammad Adli Ramadhan, Rizky Dwianto, dan Toto Aprihandono di Jakarta, 19 September 2023/TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Selain anggota Forum Radio Digital, mereka adalah para relawan kebencanaan dari lembaga yang berbeda-beda. Toto adalah petugas Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Kota Administrasi Jakarta Timur. Rifky pendiri Yayasan Global Medical Care Indonesia, organisasi relawan yang memberikan layanan cuma-cuma di bidang kesehatan melalui jasa ambulans. Akbar bergerak di organisasi relawan kesehatan, yaitu Indonesia Escorting Ambulance wilayah Jakarta Timur. Adapun Rizky adalah anggota Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan atau Basarnas yang bertugas di wilayah Bekasi, Jawa Barat.
Para relawan kebencanaan itu berjumpa karena mempunyai hobi yang sama, yaitu berkomunikasi dengan handie-talkie. “Latar belakang kami relawan. Perjumpaannya di tempat kejadian bencana. Kebetulan kami punya hobi yang sama, pengguna handie-talkie, baik itu radio digital maupun analog,” kata Toto, salah satu pendiri Forum Radio Digital, saat berbincang dengan Tempo, Selasa, 19 September lalu.
Handie-talkie atau populer dengan sebutan HT adalah alat komunikasi genggam yang dapat menghubungkan dua orang atau lebih melalui gelombang radio. Pesawat penerima dan pemancar ini bekerja pada very high frequency (VHF) atau ultra-high frequency (UHF). HT juga merupakan benda yang mudah dibawa dan dipergunakan sebagai alat komunikasi di lapangan. Pesawat ini menggunakan baterai sebagai sumber tenaganya dan dilengkapi single charger untuk pengisian ulang daya.
HT dan walkie-talkie yang mulai dikenal pada sekitar 1937 memiliki kesamaan. Keduanya sama-sama alat komunikasi suara dua arah yang menggunakan gelombang radio. Perbedaannya, frekuensi HT yang penggunaannya biasanya memerlukan izin bisa diubah sesuai dengan kapasitas frekuensi yang disediakan di unitnya. Saluran frekuensi yang disediakan lebih banyak. Adapun frekuensi walkie-talkie umumnya lebih terbatas di unitnya.
Toto menerangkan, komunitas Forum Radio Digital berawal dari perjumpaan mereka pada 2018 ketika terjadi banjir di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Saat itu Toto sebagai petugas kebakaran yang turun ke lokasi banjir membawa HT. Hanya, alat komunikasi milik Toto itu tak tersambung dengan frekuensi.
Rifky yang saat itu juga berada di lokasi banjir langsung menghampiri Toto untuk menyambungkan HT-nya guna mendapatkan sambungan frekuensi. “Waktu itu Rifky bilang itu radio gue konekin, ya,” ujar Toto mengenang. Setelah itu, mereka pun berkenalan dan bertukar nomor telepon seluler.
Rifky adalah orang lama di dunia radio amatir. Ketertarikannya itu berawal ketika dia mendapati ayahnya memiliki banyak handie-talkie. Namun sang ayah tidak langsung memberikan ilmu tentang radio dua arah itu kepada Rifky. Mau tidak mau, Rifky kemudian mempelajari radio amatir dan penggunaan handie-talkie secara otodidaktik.
Hobi itu berlanjut ketika Rifky memutuskan terjun sebagai relawan bencana pada 2016 dan berjumpa dengan banyak orang yang mempunyai handie-talkie. “Akhirnya saya diajarin banyak orang. Saya mendalaminya dan bikin jalur sendiri,” tutur Rifky.
Awalnya komunikasi itu dibangun oleh sesama anggota relawan agar proses koordinasi antarlembaga berjalan lancar dalam penanganan kebakaran, banjir, hingga peristiwa bencana lain. Semula mereka menggunakan handie-talkie berbasis sistem push-to-talk over cellular atau POC. Handie-talkie itu memanfaatkan jaringan seluler untuk mengirimkan data. “Saat itu handie-talkie yang dimiliki oleh para relawan hanya dua unit,” ujar Rifky.
Toto menambahkan, komunikasi dengan handie-talkie juga membuat kerja antarlembaga di sebuah lokasi bencana menjadi lebih tertata. Misalnya, dalam peristiwa Jaya 65—kode untuk kebakaran—orang-orang yang tergabung dalam Forum Radio Digital akan memberi informasi mengenai titik api hingga situasi di lokasi kejadian.
Selain itu, relawan di Forum Radio Digital akan mengabari organisasi lain, seperti Palang Merah Indonesia (PMI), dan relawan ambulans sebagai antisipasi mitigasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. "Nah, itu fungsinya PMI turun ke lapangan. Kan, pemadam juga manusia. Ada yang pengap kehabisan oksigen, nanti di-back up sama PMI dan lembaga lainnya,” tutur Toto.
Fanny Fachrina Fajri punya cerita lain di balik hobi menggunakan handie-talkie dan kemudian aktif menjadi relawan kebencanaan. Fanny yang bertugas di PMI wilayah Jakarta Timur kerap diminta datang ke lokasi bencana, seperti kebakaran atau banjir, oleh ayahnya. Kebetulan ayahnya juga bekerja di PMI.
Sering terjun ke lokasi bencana, Fanny pun bertemu dengan para relawan lain. Dia mulai tertarik dengan handie-talkie saat melihat petugas Basarnas dan pemadam kebakaran berkoordinasi dengan alat tersebut. Fanny kemudian berkenalan dengan Toto dan Rifky. Seiring dengan berjalannya waktu, Fanny menyatakan ketertarikannya membeli handie-talkie kepada Rifky agar mempermudah kerja sosialnya. “Awalnya belum ada rezekinya. Makanya nabung dulu, baru kontak Om Rifky,” ujar Fanny.
Reyhan Hilmawansyah/Dok Pribadi
Perjumpaan Muhammad Zul Akbar dengan relawan di Forum Radio Digital tak jauh berbeda dengan Fanny. Sebagai relawan yang aktif di Indonesia Escorting Ambulance, Akbar kerap berada di lokasi-lokasi bencana. Pada momen-momen seperti itulah ia berjumpa dengan Toto, Rifky, dan Rizky. Akhirnya ia pun tertarik pada handie-talkie seperti para seniornya. “Sebagai permulaan, saya dipinjami satu radio,” ucap Akbar.
Akbar juga terkesan pada handie-talkie ketika mencari jejak peristiwa sebuah kota lewat jalur udara. Saat itu sebuah laporan masuk ke handie-talkie milik Akbar. Laporan itu menyebutkan telah terjadi kebakaran yang melanda sebuah rumah toko. Akbar dan rekan relawan lain langsung bersiap. Tidak lama berselang, dia kembali mendapat laporan bahwa kepulan asap yang cukup tebal itu rupanya disebabkan pembakaran sate. “Padahal sudah stand by, ternyata tukang sate lagi dapat pesanan yang jumlahnya banyak. Kami pun tidak jadi jalan,” kata Akbar, lalu tertawa.
•••
HANDIE-TALKIE belakangan juga menarik minat kalangan anak muda generasi milenial. Salah satunya Reyhan Hilmawansyah. Masih segar dalam ingatan pria 23 tahun ini awal ketertarikannya pada dunia radio amatir, khususnya handie-talkie. Kepala Bagian Penggalangan Pemula dan Milenial Organisasi Amatir Radio Indonesia atau Orari itu teringat ketika masih duduk di kelas I sekolah dasar pada 2006 mendapati petugas satuan pengamanan di kawasan rumahnya menenteng handie-talkie untuk berkomunikasi.
Selain itu, Reyhan mempunyai paman yang gemar bermain radio amatir. Di situlah minat Reyhan pada radio amatir dan handie-talkie makin tumbuh. Saat Reyhan masuk sekolah menengah pertama, dia mendapatkan handie-talkie dari pamannya yang sudah tidak terpakai. “Waktu itu belum punya izin, yang penting kata om saya, kalau ada apa-apa, kontakan lewat frekuensi,” ujar Reyhan ketika berbincang dengan Tempo secara daring, Selasa, 26 September lalu.
Menginjak usia sekolah menengah atas, Reyhan aktif di Gerakan Pramuka atau Praja Muda Karana. Saat itu dia mengikuti Jamboree on the Air-Jamboree on the Internet atau JOTA-JOTI, kegiatan Pramuka tingkat dunia yang diselenggarakan setiap tahun pada Oktober untuk menghubungkan semua golongan Pramuka melalui jaringan radio dan Internet. “Di situ saya diperkenalkan kepada Orari,” kata Reyhan. Dari peristiwa itu, Reyhan akhirnya masuk ke Orari setelah mengikuti tes masuk sebagai syarat menjadi anggota.
Roland Aling/Dok Pribadi
Di kalangan pelaku radio amatir, Reyhan mempunyai nama udara, yaitu YB0RWL. Reyhan mengatakan pemakaian call sign atau tanda panggil penting dalam penggunaan radio amatir dan handie-talkie. Tanda panggil Reyhan, yakni YB0RWL, menunjukkan dia masih level penegak karena ada huruf YB. Untuk angka 0, itu menunjukkan area, dan RWL adalah nama panggil udara milik Reyhan. “Tanda panggil bisa didapatkan setelah seseorang lulus ujian,” tuturnya.
Di luar kegiatan Orari, Reyhan kerap berkomunikasi dengan sesama pengguna yang tergabung dalam Orari yang mempunyai frekuensi dengan jangkauan luas, yaitu VHF hingga UHF, bahkan bisa ke seluruh dunia. Dia mengatakan ada semacam kode yang harus dipatuhi dalam berkomunikasi. Misalnya, mereka tidak membicarakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA serta politik. “Itu tidak boleh. Kami punya kode etik radio amatir,” ucap Reyhan.
Roland Aling, 31 tahun, karyawan swasta yang berdomisili di Bitung, Sulawesi Utara, punya cerita berbeda. Aling mulai menggandrungi handie-talkie pada 2009. Saat itu pemilik nama udara YC8RPK ini bermain-main dengan handie-talkie ketika magang sekolah di sebuah kapal. Aling memakai alat tersebut sebagai sarana komunikasi dengan sesama anak magang.
Ketertarikan Aling pada handie-talkie makin kuat pada 2015. Aling yang juga aktif di Pramuka mengikuti kegiatan JOTA. Dalam acara itu ia berjumpa dengan berbagai macam varian handie-talkie. Ketika mencobanya, Aling terkejut ketika tahu ternyata bisa berkomunikasi dengan orang-orang di belahan dunia lain. “Saya bisa mengobrol sama orang Guam, Australia, hingga Thailand. Awalnya saya tidak percaya,” tutur Aling ketika berbincang dengan Tempo secara daring, Selasa, 26 September lalu.
Pengalaman lainnya, Aling baru-baru ini mengikuti kegiatan Voice Repeater School di daerah asal Aling di Bitung. Kegiatan itu masuk rangkaian acara Ulang Tahun Satelit Radio Amatir Indonesia LAPAN-A2/ORARI-Indonesia Oscar 86 (IO-86) Ke-8. Bersama Pusat Riset Teknologi Satelit dan Amateur Satellite (PR-Teksat) Indonesia, Aling terlibat dalam kegiatan Komunikasi VR School Contact atau berkomunikasi melalui voice repeater Satelit IO-86.
Zandy Yudha/Dok Pribadi
Kegiatan itu melibatkan pelajar dari Sekolah Dasar GMIM 23 Girian, Bitung, dan siswa SD Negeri 010095 Kisaran, Asahan, Sumatera Utara. Aling mengatakan anak-anak sekolah itu juga berkomunikasi langsung dengan Kepala PR-Teksat dari Ground Station Rancabungur, Bogor, Jawa Barat, dengan memberi pertanyaan seputar pengetahuan tentang satelit radio amatir. “Setahu saya, amatir radio itu banyak kegiatan eksperimen yang dilakukan,” tutur Aling. “Jadi kira-kira seperti itu.”
Adapun Zandy Yudha, 28 tahun, turut memanfaatkan handie-talkie untuk menjaga kampung ketika Covid-19 pertama kali melanda Indonesia pada 2020. Domisili Zandy di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, perlu mendapat penjagaan lebih mengingat tingkat kriminalitas yang tinggi. Bersama para tetangganya, Zandy memilih handie-talkie untuk berkoordinasi menjaga keamanan ketika malam hari. “Kami kumpulkan satu kelurahan, seperti siskamling. Nah, kami pakai HT,” ujar Zandy.
•••
HINGGA saat ini, jumlah anggota Orari mencapai lebih dari 51 ribu orang. Mereka adalah orang-orang yang masih aktif bermain radio amatir, yang juga termasuk pengguna handie-talkie. “Itu data total pengguna radio amatir. Pasti dari mereka ada yang punya HT," kata Tarjoni, 48 tahun, Kepala Bagian Website dan Media Sosial Orari.
Anggota aktif Orari terdiri atas berbagai kategori usia. Untuk anggota anak-anak muda, Orari membuat wadah bernama Orari Milenial. Menurut Joni—panggilan akrab Tarjoni—jumlah mereka belakangan lumayan meningkat. “Ini pertanda bagus. Bila melihat banyaknya kegiatan yang kerap digelar Orari Milenial, itu berarti handie-talkie atau radio amatir menjadi permainan yang menarik bagi mereka,” ujar Joni.
Kondisi itu juga mendorong Orari kian gencar mengenalkan dunia radio amatir kepada anak-anak muda milenial tersebut dengan berbagai kegiatan lain. “Kalau mereka makin tahu dengan dunia ini, pasti akan makin tertarik,” tuturnya.
Adanya peningkatan jumlah anak muda yang menggunakan handie-talkie sebagai sarana komunikasi juga diakui Mahendra Rachmanda, 34 tahun, penjual alat komunikasi tersebut yang sekaligus membuka jasa penyewaannya. Angka penjualan handie-talkie mulai melonjak sekitar dua tahun lalu ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia.
Saat itu, Mahendra menambahkan, banyak orang membeli handie-talkie di tokonya untuk mengontrol wilayah permukiman penduduk. Selain itu, alat tersrbut dibeli untuk keperluan pos sistem keamanan lingkungan atau siskamling. “Jadi pembelian HT makin banyak ketika masa pandemi Covid itu,” ucap pria yang berdomisili di Tangerang Selatan, Banten, ini kepada Tempo, Rabu, 27 September lalu.
Mogu Communication milik Mahendra menjual berbagai jenis handie-talkie. Handie-talkie analog dengan jenama Baofeng, Pofung, Osaka, WLN, dan Scoom, ia jual dengan harga berbeda-beda, dari Rp 375 ribu, Rp 400 ribu, hingga Rp 500 ribu per unit. Adapun untuk sewa, Mahendra menerapkan sistem harian. Harga sewa yang dia patok berkisar Rp 20-25 ribu per hari. “Itu sudah siap pakai,” tuturnya.
Mahendra Rachmanda menunjukkan HT dagangannya/Dok Pribadi
Pembeli HT bukan hanya orang-orang yang sudah lama aktif di dunia radio amatir. Jumlah anak muda yang membeli atau menyewa handie-talkie di tokonya pun meningkat. Rata-rata mereka membeli dan menyewa HT untuk kegiatan yang beragam, dari acara musik sampai pernikahan.
Mahendra mengungkapkan, tokonya cukup laris karena ia juga menjual handie-talkie secara daring melalui aplikasi TikTok. Setiap kali ia membuat siaran langsung di TikTok, banyak anak muda yang tertarik membeli. “Setelah itu ada yang masuk Orari. Akhirnya banyak yang 'keracunan',” ujarnya.
Sebelum menjual dan membuka jasa penyewaan handie-talkie, Mahendra tertarik pada dunia radio amatir sejak duduk di SMA. Ia mempelajari handie-talkie dan radio amatir secara otodidaktik. Setelah dia menguasai beberapa penyetelan alat komunikasi itu, banyak rekannya yang tertarik. Awalnya mereka meminta Mahendra mencarikan handie-talkie. Dia menyediakan jasa titip untuk membeli alat tersebut.
Melihat peluang tersebut, Mahendra yang punya nama udara Mahen itu kemudian membuka usaha jual-beli serta jasa penyewaan handie-talkie. “Sekarang yang datang makin beragam, tergantung peminatnya dan butuhnya spesifikasi seperti apa. Kalau teman-teman yang amatir, ya biasanya cari HT yang amatir,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Silaturahmi di Udara Lewat Handie-Talkie"