Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peneliti Israel menemukan bahwa tanaman mengeluarkan suara ultrasonik ketika mengalami stres.
Sumber suara diduga adalah kerusakan kolom air pada jaringan pembuluh kayu tanaman yang mengalami dehidrasi.
Alat untuk mendengar suara tanaman sudah banyak dikembangkan, termasuk di Indonesia.
SEKARANG petani tidak perlu lagi menunggu daun tanamannya menguning dan layu karena tumbuhan sejatinya memberi peringatan berupa “jeritan” saat mengalami kekeringan atau kerusakan fisik. Sayangnya, “suara” tanaman atau pohon itu berfrekuensi tinggi (ultrasonik) sehingga telinga manusia tak bisa mendengarnya. Namun tim ilmuwan Israel telah berhasil mengidentifikasi “teriakan” itu serta menangkap dan mengolahnya agar bisa didengar manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penelitian yang dipimpin Lilach Hadany, profesor pada Sekolah Ilmu Tanaman dan Ketahanan Pangan Fakultas Ilmu Hayati George S. Wise Tel Aviv University, Israel, itu dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Cell pada Maret lalu. “Ternyata tanaman berbicara, berupa klik,” kata ahli dalam biologi evolusi dan teori tersebut. “Frekuensinya tinggi, sekitar 60 kilohertz. Itu di luar frekuensi maksimum yang terdeteksi manusia dewasa, yaitu 16 kilohertz,” tutur Hadany kepada Xinhua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hadany menjelaskan, tanaman dalam kondisi baik mengeluarkan rata-rata hingga satu klik per jam. Sedangkan tanaman yang mengalami stres rata-rata memancarkan lusinan klik per jam, bahkan bisa 30-50 klik per jam. Dalam makalahnya, Hadany dan tim menggambarkan bagaimana suara tanaman sekeras ucapan manusia itu dipancarkan lebih sering setelah dua hari tanpa air. Puncak “jeritan” terjadi di hari kelima atau keenam, kemudian mereda saat tanaman mengering.
Hadany dan tim sampai pada kesimpulan itu setelah merekam suara tomat (Solanum lycopersicum) dan tembakau (Nicotiana tabacum) dengan beragam perlakuan—tekanan kekeringan, pemotongan cabang, dan kontrol tanpa perlakuan—di dalam kotak kedap suara. Mereka menggunakan dua mikrofon ultrasonik yang biasa dipakai merekam suara kelelawar untuk menangkap “jeritan” tumbuhan itu. Mikrofon yang memiliki sensor-sensor itu diletakkan di depan pot tanaman dalam jarak 10 sentimeter.
Dengan bantuan sensor-sensor itu, sinyal ultrasonik bisa dikonversi menjadi sinyal listrik yang dengan mudah dapat dikenali manusia. Rekaman suara disimpan di komputer untuk dianalisis. Peneliti menggunakan algoritma pembelajaran mesin (kecerdasan buatan) yang dikembangkan khusus untuk mengklasifikasi rekaman suara. “Algoritma itu belajar bagaimana membedakan antar-tanaman dan jenis suara sehingga mampu mengidentifikasi tanaman dan menentukan jenis dan tingkat stres," tulis mereka dalam makalahnya.
Penelitian ini belum sampai menemukan sumber suara dan bagaimana terciptanya suara tersebut secara pasti. Tapi peneliti menduga penyebabnya adalah proses yang disebut kavitasi, yakni rusaknya kolom air pada xilem atau jaringan pembuluh kayu tanaman yang mengalami dehidrasi sehingga menghasilkan gelembung udara. Xilem adalah jaringan pengangkut air dari tanah ke daun yang sangat kompleks. “Ketika tanaman mengalami stres, gelembung udara bisa terbentuk, mengembang, dan hancur di dalam xilem yang menimbulkan getaran,” ucap peneliti, seperti dikutip Times of Israel.
Ahli fisiologi dan ekofisiologi tumbuhan di Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor (IPB University), Jawa Barat, Triadiati, mengibaratkan xilem sebagai pembuluh darah halus pada tubuh manusia. “Xilem mengangkut air dari tanah ke daun. Satu-satunya fenomena di makhluk hidup bahwa air bisa melawan gaya gravitasi itu ketika ada di xilem,” tutur Triadiati saat ditemui pada Senin, 25 September lalu. “Bisa begitu karena xilem ini merupakan sistem kapiler, yang diameternya kecil tapi tak terputus dari ujung akar hingga pucuk daun tertinggi.”
Triadiati menerangkan, jika tanaman mengalami kekeringan, xilem bisa terisi oleh udara karena terputusnya kolom air dalam xilem. Namanya embolisme. “Seperti saat kita diinfus, kan tidak boleh ada embolus di slang infus karena bisa fatal jika pembuluh darah terisi udara,” ujar Sekretaris Program Studi Biologi Tumbuhan Strata-3 IPB University itu. “Tumbuhan punya mekanisme mengusir embolisme. Kalau kekeringannya sesaat, lalu tanaman disiram air, akan ada daya dorong baru ke atas sehingga udara itu dilepaskan lagi ke atmosfer. Tapi, kalau embolisme terlalu banyak, hal itu menyebabkan hambatan dalam pengangkutan air sampai ke daun.”
Triadiati menduga munculnya klik seperti dalam penelitian ilmuwan Israel itu disebabkan oleh adanya embolisme di xilem. “Suara aliran air dalam xilem bisa direkam dengan alat. Aliran air itu ada ritmenya. Kalau kolom air di xilem berkelanjutan, suaranya juga berkelanjutan,” kata peraih gelar doktor biologi dari IPB University pada 2008 ini. “Begitu ada embolisme, berarti kan tidak ada kolom air yang berkelanjutan sehingga ada kesenjangan suara. Mungkin terjadi getaran di xilem yang direkam oleh alat sebagai letupan,” ucapnya. “Seperti denyut jantung kita, kalau nadi tidak lancar kan denyut jantung juga tak teratur.”
Alat untuk mendengar suara tanaman alias bioakustik, Triadiati menambahkan, sudah banyak diperdagangkan. Salah satunya PlantWave. Triadiati mengaku berminat membeli alat itu sejak tiga tahun lalu. “Suaranya dikonversi ke nada musik. Saya ingin beli tapi untuk meditasi,” ujarnya. Bahkan, dia melanjutkan, seniman dari Surabaya sudah mampu membuat alat serupa PlantWave. “Alat itu saya lihat waktu Festival Semah Bumi di Jambi pada tahun lalu. Tapi, waktu saya mau beli, mereka bilang belum diproduksi massal karena masih disempurnakan.”
Digital Nativ, sebuah laboratorium teknologi kreatif yang didirikan Miebi Sikoki di Bumi Serpong Damai, Kota Tangerang Selatan, Banten, juga mengembangkan perangkat Nada Bumi untuk mendengarkan suara pohon. Miebi menjelaskan, pengembangan perangkat yang kini sudah mencapai versi ketiga itu bermula dari Proyek Nada Bumi pada 2018. “British Council mempertemukan kami dengan seniman dari Leeds, Inggris, Invisible Flock. Pada proyek kolaborasi itu kami memutuskan untuk melihat dampak perubahan iklim terhadap ekosistem di Indonesia,” kata Miebi di kantornya, Nativ Lab, Senin, 25 September lalu.
Indonesia, Miebi menjelaskan, memiliki ekosistem yang sangat beragam, dari gurun hingga hutan hujan. “Kami melakukan ekspedisi ke 10 lokasi, dari Gua Jomblang dan Luweng Grubug di Yogyakarta; kawah Bromo dan Taman Nasional Baluran di Jawa Timur; Labuan Bajo, Pantai Pink, dan Pulau Komodo di Nusa Tenggara Barat; hingga sumber air panas Manalage dan Danau Kelimutu di Nusa Tenggara Timur,” tutur Miebi. “Selain melihat dampak perubahan iklim, kami mengumpulkan sampel air, tanah, batu, warna-warna, dan suara-suara di setiap ekosistem.”
Setelah ekspedisi rampung, Miebi bercerita, tim mulai mengerjakan karya seni yang berteknologi tersebut. Semua sampel yang terkumpul dimasukkan ke tabung-tabung. Setiap tabung mewakili ekosistem tersendiri. “Misalnya ekosistem kawah Bromo, dalam satu tabung itu ada loudspeaker, di atas loudspeaker itu diletakkan pasir dari kawah sehingga akan bergetar. Lalu ada juga batu vulkanis, yang kalau disentuh akan mengaktifkan loudspeaker untuk memutar suara kawah dan biodata dari tumbuhan di sana,” ucapnya. “Tujuan kami ingin mengkreasi ulang atau membuat suasana kawah Bromo di dalam ruang galeri.”
Miebi menambahkan, untuk mengumpulkan sampel suara-suara tanaman, mereka membuat perangkat khusus yang bisa merekam biodata tanaman. “Kami kan tidak bisa membawa pulang pohon karena susah dan tidak etis kalau kami mencabut pohon,” kata Direktur Teknis Digital Nativ alumnus Jurusan Desain Grafis Program Studi Visual Communication Design Universitas Pelita Harapan itu. “Rupanya, waktu karya itu kami pamerkan di Digital Design Weekend di Bandung, publik tertarik pada unsur pembaca biodata,” ujar Miebi. “Kami memutuskan membuat alat itu supaya bisa dijual atau dinikmati oleh publik yang lebih luas.”
Dalam pengembangan perangkat Nada Bumi, Miebi menjelaskan, ia dan tim Digital Nativ banyak belajar mengenai prosesnya. “Selain membikin alatnya, kami mencari riset-riset tentang cara kerjanya. Misalnya mengapa ada sinyal ini, dan apa arti sinyal itu,” katanya. “Kami mengetahui tanaman memiliki dua sinyal listrik utama, sinyal variation potential (VP) dan action potential (AP). Kalau VP itu dikeluarkan untuk proses standar, seperti memulai fotosintesis dan berhenti fotosintesis. Sedangkan AP hanya keluar kalau ada stimulus dari luar, contohnya ada hama, kebakaran, atau batangnya dipotong.”
Miebi mengatakan Nada Bumi sebetulnya bukan perangkat ilmiah, melainkan peralatan konsumen. “Harapan kami, dari alat ini masyarakat dapat membayangkan kembali hubungannya dengan alam. Kalau kita tahu tanaman itu hidup, mungkin kita bakal berpikir dua kali sebelum menebang pohon,” ujarnya. Namun Nada Bumi, Miebi mengimbuhkan, tidak dijual bebas. “Versi pertama alat ini sudah digunakan oleh Proyek Katingan-Mentaya di Kalimantan Tengah untuk mengedukasi sekolah-sekolah di sekitar proyek restorasi dan konservasi lahan gambut.”
Versi keempat, Miebi menerangkan, sedang dalam tahap pengembangan. Ia berharap teknologi dalam Nada Bumi ini nantinya bisa digunakan untuk memantau lingkungan. “Sekarang kami kan bisa baca biodatanya dan kami tahu ada korelasi antara apa yang kami dengar dan aktivitas di dalam tanaman ini,” tuturnya. “Tapi kami belum tahu arti sinyal listrik yang dikeluarkan tanaman tersebut. Karena itu, kami sedang mengembangkan sensor yang lebih sensitif dan perangkat lunak yang mampu menganalisis sinyal tersebut,” katanya. “Kelak kami bisa tahu kalau sinyal ini artinya tanaman kekurangan air dan sinyal itu ketika ia diserang hama.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jerit Lirih Tanaman Kekeringan"