Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Rwanda telah memulangkan pasien terakhir yang terinfeksi virus Marburg, pada Jumat, 8 November 2024. Langkah ini menandai dimulainya hitungan mundur wajib selama 42 hari untuk secara resmi menyatakan wabah berakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari afro.who.int, hingga kini, tidak ada kasus baru yang dilaporkan sejak 30 Oktober 2024. Selama masa observasi 21 hari, kontak dari pasien terakhir, termasuk mereka yang sebelumnya dipulangkan, akan terus dipantau dengan ketat oleh otoritas kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati tidak ada laporan kasus baru selama lebih dari seminggu, Kementerian Kesehatan Rwanda tetap waspada. Mereka mengintensifkan upaya pengawasan, termasuk pencarian kasus aktif dan pengujian kasus yang dicurigai. Sebanyak hampir 60.000 petugas kesehatan masyarakat dikerahkan untuk memastikan tidak ada rantai penularan yang terlewat.
Hingga saat ini, wabah yang diumumkan pada 27 September 2024 telah mengakibatkan 66 kasus dengan 15 kematian. Sebagian besar kasus, sekitar 80%, adalah tenaga kesehatan yang terinfeksi saat memberikan perawatan darurat kepada pasien dan rekan kerja mereka.
“Wabah ini menunjukkan bahwa dengan perawatan terbaik yang tersedia, pemulihan dapat dilakukan, dan kontribusi terhadap sains dapat diberikan,” ujar Sabin Nsanzimana, Menteri Kesehatan Rwanda, dikutip dari afro.who.int.
Keberhasilan Rwanda dalam menangani wabah ini menjadi bukti nyata dari upaya kolaboratif antara pemerintah, lembaga kesehatan, dan mitra internasional. “Berkat kerja sama semua pihak, Rwanda berhasil menghadapi tantangan besar ini dan mengurangi dampak yang berpotensi menghancurkan. Kami memuji Pemerintah Rwanda atas kemajuan signifikan yang telah dicapai,” kata Brian Chirombo, Perwakilan WHO di Rwanda, dikutip dari afro.who.int.
Apa itu Virus Marburg?
Dilansir dari who.int, virus Marburg berasal dari famili filoviridae, yakni kelompok yang sama dengan virus Ebola. Penyakit ini ditularkan ke manusia melalui kontak dengan kelelawar buah dari spesies rousettus yang sering ditemukan di tambang atau gua.
Setelah infeksi awal, virus menyebar melalui kontak langsung dengan cairan tubuh orang yang terinfeksi, seperti darah, air liur, urin, atau cairan tubuh lainnya. Virus ini juga dapat menyebar melalui benda atau permukaan yang terkontaminasi cairan tersebut, termasuk pakaian dan tempat tidur.
Gejala penyakit ini muncul secara mendadak, biasanya dalam waktu 2 hingga 21 hari setelah paparan. Gejala awal meliputi demam tinggi, sakit kepala parah, dan malaise. Pada hari ketiga, penderita sering mengalami diare, mual, muntah, serta nyeri dan keram perut.
Dalam kasus yang parah, perdarahan internal dan eksternal dapat terjadi antara hari kelima hingga ketujuh setelah gejala muncul, yang sering kali menjadi penyebab kematian pada pasien.
Wabah pertama virus Marburg di Rwanda diumumkan pada 27 September 2024, setelah beberapa kasus dilaporkan di Kigali, ibu kota negara tersebut. Hingga 8 November 2024, tercatat 66 kasus terkonfirmasi, termasuk 15 kematian, dengan tingkat fatalitas kasus sebesar 23 persen. Dari jumlah tersebut, 51 pasien telah dinyatakan sembuh, sementara pasien terakhir dinyatakan negatif melalui uji PCR pada 8 November.
Sebagian besar kasus, sekitar 80 persen, adalah tenaga kesehatan yang terpapar saat merawat pasien di dua fasilitas kesehatan utama di Kigali. Wabah ini terutama terkonsentrasi di tiga distrik di kota Kigali dengan penyebaran awal yang cepat selama tiga minggu pertama wabah.
Penyelidikan awal menunjukkan bahwa wabah ini berasal dari paparan zoonosis di sebuah gua yang dihuni oleh kelelawar buah. Penularan dari manusia ke manusia kemudian terjadi, terutama di fasilitas kesehatan, melalui kontak langsung dengan pasien atau cairan tubuh mereka.
Selain itu, beberapa kasus dilaporkan terkait dengan upacara pemakaman yang melibatkan kontak langsung dengan jenazah dan faktor risiko utama dalam penyebaran virus ini.