Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

investigasi

Buanglah Limbah Pada Markasnya

Liputan ini terbit atas prakarsa Tempo Institute dan Free Press Unlimited dalam program Investigasi Bersama Tempo.

16 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DELAPAN markas tentara di Jawa Timur menjadi tempat penimbunan limbah bahan berbahaya dan beracun banyak perusahaan di sekitarnya.

Selain di Cileungsi, Jawa Barat, penimbunan limbah B3 tanpa diolah sangat terlarang karena membahayakan manusia dan lingkungan.

Menyelewengkan izin dan DENGAN perjanjian bawah tangan, limbah panas dan beracun di Jawa Timur ini mencederai penduduk sekitar serta membunuh tanaman di persawahan. Dengan setoran gelap Rp 1 juta per truk, markas tentara itu diduga menerima Rp 60 juta sehari atau hampir Rp 16 miliar setahun. Melibatkan calo limbah, perusahaan pengangkut, juga pejabat Dinas Lingkungan Hidup setempat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


 

DENGAN muatan yang penuh, berat, dan tertutup terpal, enam truk berkapasitas 25 ton melaju beriringan di jalur pantai utara Pasuruan-Probolinggo, Jawa Timur, 28 September 2018 sore. Truk berjalan pelan dan makin pelan ketika mendekati Markas Detasemen Angkatan Udara Republik Indonesia di Raci, Bangil, Pasuruan.

Satu per satu truk itu berbelok mendekat ke gerbang Markas AURI yang kokoh dengan dua tiang besar dan besi melengkung yang menghubungkannya. Seorang prajurit terlihat keluar dari perkantoran pintu masuk sisi barat begitu truk berhenti. Sopir turun sembari menyodorkan selembar kertas. Keduanya tampak berbicara sebelum kembali ke posisi masing-masing.

Enam truk itu beringsut ke jalan berkerikil di sisi barat Markas AURI Raci. Keenamnya terus bergerak pelan menuju tanah lapang di belakang markas yang berbatasan dengan persawahan dan permukiman penduduk. Tanah lapang itu tak lagi rata. Di sana-sini banyak gundukan tanah dengan ketinggian bervariasi, 3-5 meter. Setelah melintasi lorong jalan setapak di antara gundukan, truk-truk tersebut berhenti.

Para sopir mulai membuka terpal dan mengeluarkan seluruh isinya begitu saja. Isi truk adalah bebatuan dan debu berwarna cokelat dan abu-abu yang mengepul ketika tumpah menyentuh tanah, membentuk gundukan baru. Dari jarak 5 meter, udara yang terpapar debu abu itu meruapkan bau menyengat, percampuran antara zat kimia dan karbon sisa pembakaran.

Bau menyengat itu telah lama akrab dengan penciuman penduduk Desa Bendungan dan Desa Curah Dukuh, yang berbatasan dengan tanah lapang dan kompleks Markas AURI tersebut. Tak ada batas yang jelas antara tanah penduduk dan kawasan AURI. Penduduk pun biasa lalu-lalang melewati gundukan-gundukan tanah berbau menyengat itu. “Sudah sekitar dua tahun,” kata Wira’i, penduduk Bendungan.

Tempo mengambil 12 sampel material debu dari tiap gundukan tanah berbau itu di empat lokasi. Kami ingin mengetahui apa saja kandungan gundukan itu hingga baunya menyengat sampai puluhan meter. Sampel tersebut kemudian dikirim ke Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya untuk diteliti kandungannya.

Pembuangan limbah di Markas TNI Angkatan Udara di Raci, Pasuruan, Jawa Timur. TEMPO/Nurhadi

Butuh sebulan Balai Besar Teknik Kesehatan untuk meneliti kandungan sampel itu. Hasilnya, gundukan tanah mengandung beberapa material: fly ash atau debu halus sisa pembakaran batu bara, bottom ash atau debu kasar sisa pembakaran yang berwarna lebih gelap, karbon, dan sejumlah logam berat. “Ini limbah B3, bahan berbahaya dan beracun,” kata Dekan Fakultas Teknik Sipil, Lingkungan, dan Kebumian Institut Teknologi Surabaya Warmadewanthi, yang diminta membaca hasil uji lab itu. “Jika terakumulasi terus, konsentrasinya di tanah akan makin naik.”

Meningkatnya konsentrasi limbah di dalam tanah itu dirasakan penduduk Desa Bendungan dan Curah Dukuh. Delapan orang kini sakit karena terjerembap ke dalam tanah ketika hendak berangkat ke sawah atau melewatinya saat memotong jalan ke desa sebelah. Kulit mereka terbakar karena abu tersebut menyimpan panas. Beberapa bahkan lumpuh setelah terperosok ke dalam tumpukan abu.

Abu panas itu diduga berasal dari sisa pembakaran batu bara beberapa industri di Jawa Timur. Dari informasi data rekapitulasi pengangkutan limbah B3 yang tersedia di website Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (http://pelayananterpadu.menlhk.go.id), truk-truk yang masuk ke Markas AURI Raci tersebut milik empat perusahaan.

Truk bernomor polisi S-8000-UN tercatat milik PT Putra Restu Ibu Abadi, sementara truk T-9482-DC dan T-9510-DC dimiliki PT Tenang Jaya Sejahtera. Dua truk lain dengan pelat nomor W-8454-UT dan W-9128-UP milik PT Surya Wijaya Megah. Adapun satu truk L-8018-UW milik PT Jaya Sakti Lingkungan Hidup.

Penduduk di sekitar markas bersaksi, jumlah truk yang datang berlipat menjelang sore hingga malam. Tempo, yang nongkrong di kampung belakang Markas AURI pada 1 November 2018, mencatat setidaknya ada 57 truk, berkapasitas 25 dan 10 ton, dalam 24 jam bolak-balik mengangkut limbah B3 dan membuangnya di sana.

Dari pencocokan nomor polisi truk yang datang dengan informasi di situs Kementerian Lingkungan Hidup itu, rupanya ada dua perusahaan lain yang menjadi pemilik kendaraan tersebut: PT Lewind dan PT Bumi Anugerah Abadi. Mereka perusahaan pengiriman limbah (transporter) yang disewa pemilik limbah untuk membuangnya.

Dokumen Dinas Lingkungan Hidup Jawa Timur menunjukkan izin pengumpulan limbah B3 skala provinsi sebenarnya diberikan kepada Primer Koperasi Angkatan Udara Pangkalan Udara Surabaya. Limbah dibuang di sana karena Markas AURI Raci berada di bawah koperasi ini. Izin berlaku sejak 30 Oktober 2017 hingga 29 Oktober 2022.

Jenis limbah yang diizinkan dibuang di sini adalah fly ash, bottom ash, spent bleaching earth (limbah sisa pemurnian minyak goreng), steel slag (limbah pembuatan baja), katalis bekas (logam berat sisa reaksi kimia), gipsum, dan lumpur dari instalasi pembuangan air limbah.

Foto udara limbah yang dibuang di Markas TNI Angkatan Udara di Raci. TEMPO/Nurhadi

Masalahnya, Markas AURI Raci hanya diizinkan menampung limbah di lahan seluas 140,07 meter persegi. Dengan menghitung secara kasar memakai ukuran langkah manusia, lahan yang dipakai menampung limbah di AURI Raci itu mencapai 15 hektare, memanjang ke utara-barat-selatan. Dari foto drone terlihat sebagian besar area yang dipakai menampung limbah itu merembet ke dekat lahan penduduk dan perkampungan.

Menurut Ghofar Ismail, anggota staf Dinas Lingkungan Hidup di Pelayanan Perizinan Terpadu Jawa Timur, selain Markas AURI Raci, markas tentara yang mendapat izin menampung limbah B3 di Jawa Timur adalah Bhumi Marinir Karangpilang seluas 4.076 meter persegi untuk periode 11 Juli 2016-10 Juli 2021. “Selain itu tidak ada,” kata Ghofar.

Izin penampungan limbah di Karangpilang seharusnya berada da--lam tiga bangunan bertembok dan beratap Galvalume seluas 800 meter persegi. Dari foto satelit pada 2016-2017, limbah B3 di Karangpilang tampak meluber ke luar bangunan, seperti terlihat di lahan kosong samping Sekolah Menengah Pertama Hang Tuah 2 Surabaya di Jalan Basoka.

Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) mencatat ada dua basis tentara yang menampung limbah B3 di Jawa Timur selain Markas AURI Raci: Pusat Pendidikan dan Latihan Pertahanan Udara Nasional (Pusdiklat Hanudnas) di Kenjeran, Surabaya; dan Markas Satuan Radar 222 Ploso di Jombang. “Sudah kami laporkan ke pemerintah: Jawa Timur darurat limbah B3,” ujar Direktur Ecoton Prigi Arisandi.

Seorang makelar limbah B3 mengatakan, selain empat lokasi tersebut, ada empat markas militer di Jawa Timur yang menampung limbah serupa, yaitu Markas Divisi Infanteri 2 Batalion Kavaleri 8 Beji di Pasuruan, Gudang Pusat Senjata dan Optik II Buduran di Sidoarjo, Markas Komando Pasukan Marinir (Pasmar) 2 Gedangan di Sidoarjo, dan Markas Komando Armada II. “Ada 18 ribu rit limbah B3 dibuang ke Pasmar 2,” ucapnya.

Foto-foto yang diambil pada 2014-2015 menunjukkan kegiatan penimbunan limbah B3 di Gudang Pusat Senjata Buduran. Seorang sopir truk terlihat menumpahkan limbah di lapangan rumput yang dijaga dua tentara berseragam.

Rantai bisnis pembuangan, penampungan, hingga penimbunan limbah B3 di Jawa Timur terhubung karena nihilnya lahan pembuangan limbah industri, kebutuhan markas tentara terhadap material urukan, juga permainan izin dan ketiadaan pengawasan dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur. Rantai itu bertemu dalam nilai bisnis limbah yang besar selama bertahun-tahun.

Limbah di Markas AURI Raci antara lain berasal dari PT Wilmar Nabati Indonesia di Gresik. Pembawanya PT Lewind. Dalam akta, bidang usaha PT Lewind adalah pengelolaan limbah dan pertanian. Karena bisnis itu menyimpang dari bidang usahanya, PT Lewind menugasi anak usahanya, CV Berkat Rahmat Jaya, sebagai pembuang limbah B3. CV Berkat inilah yang menjalin kontrak dengan Markas AURI.

Karena itu, PT Wilmar membantah jika disebut memasok limbah B3 ke Markas AURI. Johannes, dari Corporate Legal PT Wilmar, mengatakan mereka hanya membuang limbah satu truk melalui CV Berkat. “Limbah kami tak berbahaya karena bentonite calcium, yang bernilai jual tinggi,” katanya. “Jumlahnya hanya satu truk, sesuai dengan catatan manifes yang kami terima.”

Menurut Johannes, limbah yang diproduksi PT Wilmar Nabati harus diolah PT Lewind sebelum dibuang ke Markas AURI. Ia memastikan prosedurnya benar karena tercatat di manifes tiap hari. Masalahnya, temuan Tempo, yang mengikuti truk pengangkut limbah sejak keluar dari pabrik PT Wilmar, membantah semua klaim Johannes.

Truk milik PT Lewind yang membuang limbah ke Markas AURI Raci kadang tiga-empat unit sehari. Limbah yang dibawanya pun bukan hanya sisa pengolahan dan pemurnian minyak goreng, tapi juga sisa pembakaran batu bara. “Kalau praktik di lapangan ternyata menyimpang, itu di luar kemampuan kami,” ujar Johannes.

Seorang makelar bisnis limbah di Jawa Timur menyebutkan perusahaan pemanfaatan limbah seperti CV Berkat memberikan manifes bodong kepada perusahaan produsen limbah. Mereka bahkan menjualnya dengan harga Rp 200-500 per kilogram limbah. Karena itu, CV Berkat selalu melapor mengelola limbah 260 ton per hari yang diproduksi PT Wilmar Nabati sebelum dibuang. “Manifes itu dipakai berulang tiap pengiriman,” tutur makelar tersebut.

Lokasi pengelolaan limbah B3 dan non-B3 milik CV Berkat Rahmat Jaya di Desa Tambak Kalisodo, Jabon, Sidoarjo, Jawa Timur. TEMPO/Nurhadi

Tak hanya itu. Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 226 Tahun 2013 yang memberi CV Berkat izin memanfaatkan limbah B3 hanya berlaku hingga 5 Juli 2018. Padahal penguntitan Tempo terhadap tiga truk yang mengangkut limbah PT Wilmar berlangsung pada 1 November 2018.

Karena truk PT Lewind tak cukup menampung limbah pabrik kliennya, mereka mengajak satu perusahaan besar lain yang menjadi transporter dan perusahaan pemanfaatan limbah untuk mengangkutnya, yaitu PT Putra Restu Ibu Abadi. Dinas Lingkungan Hidup Jawa Timur memberinya izin mengelola limbah sampai 19 Juni 2019.

Sebelum membuang limbah ke Markas AURI Raci, dua perusahaan tersebut menjalin kerja sama dengan Markas Angkatan Laut Bhumi Marinir Karangpilang. Ketua Primer Koperasi Angkatan Laut Pangkalan Marinir Surabaya Mayor Raharjo membenarkan ada kerja sama itu. “Tapi kami tak pernah mengurus biaya, dokumen, perizinan, karena semua dikerjakan CV Berkat,” katanya. “Koperasi hanya meminjamkan bendera.”

Seorang mantan operator lapangan PT Lewind menyebutkan staf CV Berkat yang mengurus semua izin pengumpulan limbah. Ia mengepul uang dari perusahaan transporter lain yang menjalin kerja sama dengannya untuk mengurus izin pengelolaan limbah B3 ke Dinas Lingkungan Hidup. “Saya ikut naungan orang saja,” ujar Antoni, Manajer PT Jaya Sakti Lingkungan Hidup, rekanan PT Lewind dalam mengangkut limbah PT Wilmar. “Jangan disalahkan, salahkan mereka dulu.”

Dinas Lingkungan Hidup kemudian memberikan izin pengolahan dan pengiriman limbah kepada sejumlah perusahaan transporter dan markas tentara itu karena proposalnya diajukan Geo-Enviro. Perusahaan konsultan ini milik anak Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jawa Timur Diah Susilowati. “Saya lupa, mungkin mereka hanya pinjam bendera,” tutur Manajer Geo-Enviro Ayu Kumala Novitasari, menantu Diah.

Berbeda dengan Ayu, Ika Hanafi, anggota staf administrasi Geo-Enviro, mengakui perusahaannya yang mengurus izin pembuangan limbah dua perusahaan transporter itu di Markas AURI Raci dan Karangpilang. Perwakilan CV Berkat yang datang kepada Geo-Enviro meminta bantuan pengurusan izin. “Datanya masih ada,” ucap Ika.

Diah pun tak membantah keterlibatan anaknya dalam pengurusan izin penimbunan limbah B3 di dua markas tentara itu. Dia menerangkan, Tentara Nasional Indonesia meminta bantuannya untuk membuat surat permohonan izin lingkungan. “Tapi, meski melalui anak saya, kami profesional,” ujar Diah. “Di lapangan kami awasi, kok.”

Perusahaan-perusahaan transporter itu menerima Rp 3,5 juta per truk berkapasitas 10 ton dari produsen limbah seperti PT Wilmar Nabati. Harga limbah per truk dihitung berdasarkan jenisnya. Limbah pemurnian minyak goreng, misalnya, dihargai Rp 400 per kilogram. Adapun harga limbah jenis lain bervariasi, antara Rp 350 dan Rp 700 per kilogram. Perusahaan transporter menyetorkan uang limbah itu ke markas tentara sesuai dengan kapasitas truk. Untuk volume 10 ton, mereka menyetorkan Rp 500 ribu per truk dan Rp 1 juta untuk 25 ton.

Mantan pegawai PT Lewind membenarkan informasi harga tersebut. Menurut dia, semua setoran uang dari perusahaan kepada markas tentara diberikan secara tunai per hari tanpa kuitansi. Jika satu hari rata-rata ada 50-60 truk berkapasitas 25 ton membuang limbah, markas tentara menerima sekitar Rp 60 juta. Pegawai Lewind itu menitipkan uang kepada koordinator lapangan yang menyerahkannya kepada anggota militer di pos jaga setelah pembuangan selesai. “Jadi tak ada jejak soal uang itu,” ucapnya.

Mayor Raharjo menyangkal menerima uang dari penimbunan limbah. Menurut dia, markasnya memperoleh material secara cuma-cuma dari perusahaan penghasil limbah. Markas Bhumi Marinir Karangpilang, kata dia, membutuhkan material padat untuk menimbun cekungan yang digali untuk tanggul lumpur Lapindo pada 2012. “Kami tak punya anggaran untuk menguruk kubangan.”

Diah Susilowati menambahkan, awalnya penimbunan limbah B3 di markas tentara itu ilegal. Setelah timnya memergoki penimbunan tersebut pada 2014, markas tentara mengajukan permohonan izin. Diah memberikan izin dengan alasan markas tentara membutuhkan material untuk meratakan tanah buat lapangan tembak, landasan pacu pesawat, atau fondasi bangunan. “Berbisnis limbah boleh, asalkan sesuai dengan aturan,” ujarnya.

Masalahnya, menimbun limbah B3 sebelum diolah sangat terlarang. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hanya memberikan izin di Cileungsi, Jawa Barat, untuk penimbunan limbah B3 secara langsung. “Itu pun harus memakai teknologi membran yang mahal agar racunnya tak meresap,” kata Direktur Ecoton Prigi Arisandi.

Dua pekan setelah Tempo mewawancarai dan menunjukkan pelbagai temuan lapangan kepada Diah, pada 5 Desember 2018, serombongan tim Dinas Lingkungan Hidup datang ke Markas AURI Raci. Penduduk sekitar bersaksi, pada hari kedatangan tim itu, tak ada satu pun truk datang membuang limbah di sana. Truk parkir berjejer di depan Markas AURI.

Diah menolak menjelaskan temuan timnya. Dia hanya mengatakan Dinas Lingkungan akan merumuskan langkah-langkah perbaikan penimbunan limbah B3 di markas tentara agar sesuai dengan kaidah lingkungan. “Intinya, ada langkah-langkah yang baik,” katanya.

Sehari setelah inspeksi mendadak itu, menurut penduduk Desa Bendungan, truk-truk pengangkut limbah beroperasi kembali. Jumlahnya malah bertambah. Meski begitu, Luluk Wara Hidayati, Direktur PT Putra Restu, menyangkal ada penyimpangan dalam penimbunan limbah di Markas AURI Raci. Dia mengklaim telah menegur anak buahnya agar membuang limbah B3 sesuai dengan aturan. “Kami memang mengeluarkan barang, tapi belum tentu limbah B3,” ucapnya.

Adapun Direktur CV Berkat Rahmat Jaya Yuli Hadi menolak memberikan konfirmasi. Setelah janji bertemu untuk wawancara yang berbelit-belit, Yuli malah mengatakan tak bekerja lagi di CV Berkat. “Saya sudah tak di situ,” tuturnya melalui telepon. PT Lewind juga tak merespons. Surat yang dimasukkan ke kantornya, yang sama dengan CV Berkat di Jalan Palem, Sidoarjo, melalui pengurus General Affair PT Lewind, Supriyadi, tak berbalas hingga kini.

Perwira Penerangan Markas Komando Pasukan Marinir 2 Mayor Umar Tribani mengakui ada banyak laporan mengenai penimbunan limbah B3 di markasnya. Tapi ia menolak diwawancarai untuk klarifikasi. Dia hanya memastikan tak ada pelanggaran dalam aktivitas tersebut. “Kegiatan itu sudah lama,” katanya.

Laksamana Muda Mintoro Yulianto, Panglima Komando Armada (Koarmada) II, juga menyangkal ada penimbunan limbah B3. Melalui Asisten Intelijen Kolonel Laut Tjatur Soniarto, mereka menyangkal ada penimbunan limbah berbahaya di markas. “Kalau tanpa izin Markas Besar Angkatan Laut, kami enggak berani,” ucapnya.

Pada 2015, kata Tjatur, Pusat Koperasi Koarmada II pernah mengajukan permohonan izin pemanfaatan limbah B3 kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Markas Besar TNI Angkatan Laut di Jakarta untuk meratakan tanah yang akan dipakai parkir alat-alat tempur. “Tapi tidak diizinkan karena potensi bahayanya besar,” ujarnya.

Kegiatan penimbunan limbah B3 di Gudang Pusat Senjata dan Optik II, Sidoarjo. Istimewa

Para panglima komando markas tentara yang dilaporkan menimbun limbah di sekitar kantor mereka juga membantahnya. Dengan pelbagai alasan, mereka menolak mengkonfirmasi temuan tersebut. Mereka tak membalas surat permintaan konfirmasi meski bagian administrasi menyatakan telah menerima surat-surat itu. “Surat sudah sampai, tapi belum tahu kapan akan direspons pimpinan,” kata anggota staf Satuan Radar 222 TNI Angkatan Udara Ploso, Salikul Imam.

Mantan Komandan Batalion Kavaleri 8 Pasuruan, Letnan Kolonel Hermawan Weharima, menyangkal pernah bekerja sama dengan PT Lewind dalam pengolahan limbah B3. Dia hanya mengakui ada aktivitas pembangunan dan pengurukan tanah. Adapun Letnan Kolonel Depri Rio Saransi, pejabat sebelum Hermawan, memastikan pembangunan di kawasan militer tak memakai limbah beracun. “Pernah ada tawaran pengurukan, kami tolak,” tuturnya. “Kami juga tak tahu bahwa itu limbah.”

Mayor Ikhwanudin, Komandan Markas AURI Raci, bersedia memberikan wawancara seputar penimbunan limbah ini. Tapi ia meminta syarat wartawan Tempo tak membawa apa pun ketika wawancara, termasuk alat tulis dan perekam. “Ini perintah komandan,” katanya. Wawancara batal karena permintaan tersebut tak bisa ditawar.

Mayor Ridho S., Komandan Markas AURI sebelum Ikhwanudin, menolak mengkonfirmasi soal penimbunan limbah B3 di Raci. “Saya sudah pindah, sudah setahun tak di sana,” ucapnya. Ridho menjadi komandan pada 2017, tahun dimulainya penimbunan limbah B3 di markas tentara ini.

Sedangkan Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara Marsekal Pertama Novyan Samyoga mengatakan pembuangan limbah B3 di Markas AURI Raci sudah mendapat izin Dinas Lingkungan Hidup dan Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Jawa Timur. “Tanah yang dipakainya pun sudah mendapat sertifikat hak milik TNI AU,” ujarnya. 

 

Sample limbah.

 

TIM INVESTIGASI 

Penanggung Jawab: Bagja Hidayat

Kepala Proyek: Sunudyantoro

Penulis: Fransisco Rosarians Enga Geken, Nurhadi

Penyunting: Bagja Hidayat

Penyumbang Bahan: Nurhadi, Fransisco Rosarians Enga Geken

Desain: Djunaedi

Foto: Ratih Purnama

Bahasa: Uu Suhardi, Iyan Bastian, Hardian Putra Pratama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus