Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Hitam-Putih Pembiayaan Hijau

Indonesia berpeluang mendapatkan pembiayaan hijau melalui berbagai skema. Kerangka dasar pembangunan mesti diubah untuk menggapai target penurunan emisi.

20 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA merupakan salah satu negara pengguna batu bara terbesar dunia. Karena itu, negara maju menyasarnya sebagai target investasi pembiayaan hijau, yang berupa hibah, investasi usaha, utang lunak, atau pinjaman bunga rendah. Di sela Konferensi G20 Bali pekan lalu, Just Energy Transition Partnership, kemitraan delapan negara maju plus Uni Eropa yang dipimpin Amerika Serikat dan Jepang, mengumumkan alokasi US$ 20 miliar atau lebih dari Rp 300 triliun untuk transisi energi Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lembaga multilateral seperti Bank Pembangunan Asia (ADB) juga mengumumkan dana US$ 250-300 juta untuk mempercepat penghentian Pembangkit Listrik Tenaga Uap Cirebon 1, pembangkit listrik swasta, yang baru berakhir kontraknya pada 2042. Penghentian PLTU batu bara pada 2037 itu akan memangkas emisi gas rumah kaca sebanyak 30 juta ton atau setara dengan emisi 800 ribu unit mobil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terlepas dari siasat negara maju dan lembaga multilateral memanfaatkan krisis iklim untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, pembiayaan hijau adalah peluang Indonesia memperoleh biaya mitigasi iklim. Sebagai anggota G20, Indonesia masuk 10 besar penghasil emisi global. Mitigasi krisis iklim mengharuskan semua negara menurunkan gas rumah kaca untuk mencegah suhu bumi naik melebihi 1,5 derajat Celsius dibanding masa praindustri 1800-1850.

International Energy Agency, lembaga riset di Inggris, menghitung, dari emisi global sebanyak 51 miliar ton setara CO2 setahun, 75,6 persen berasal dari sektor energi, 40 persen di antaranya dari batu bara. Karena itu, ada kepentingan negara maju membayar “dosa lingkungan” mereka dengan menanamkan investasi di negara berkembang, terutama mengubah energi fosil menjadi energi terbarukan.

Selain G20, Konferensi Iklim COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir, menaikkan target pembiayaan negara maju dari US$ 100 miliar komitmen tahun lalu menjadi US$ 134 miliar tahun depan. Dana tersebut akan disalurkan untuk membiayai penurunan emisi negara berkembang yang paling terkena dampak oleh pemanasan global akibat produksi emisi negara maju.

Kementerian Keuangan Indonesia menghitung biaya penurunan emisi gas rumah kaca 29 persen hampir Rp 4.000 triliun hingga 2030. Biaya ini akan bengkak lagi karena sebelum COP27 Mesir pemerintah menaikkan target penurunan emisi menjadi 31,89 persen dengan usaha sendiri. Biaya terus naik jika memasukkan bantuan internasional karena target penurunan emisi menjadi 43,2 persen dari 2,87 miliar ton emisi setara CO2.

Pembiayaan hijau dan perdagangan karbon menjadi skema andalan menampung dana-dana tersebut. Pada 13 September 2022, Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan percepatan penggunaan energi terbarukan dalam penyediaan listrik. PLTU yang sudah terbangun harus ditutup pada 2050, tak boleh lagi ada pembangunan PLTU baru, dan pembangkit batu bara harus ikut skema perdagangan karbon atau mencampur bahan bakarnya dengan biomassa.

Masalahnya, aturan-aturan itu tak terlalu tegas, terutama untuk proyek strategis nasional yang masih diizinkan memakai listrik batu bara. Inkonsistensi ini makin terlihat ketika pemerintah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi dengan terus menjalankan klausul-klausul dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Dengan dalih menumbuhkan investasi untuk membuka lapangan pekerjaan, omnibus law ini melonggarkan pelindungan lingkungan dan hak asasi manusia.

Proyek-proyek strategis nasional yang didominasi proyek infrastruktur acap menimbulkan konflik sosial karena penyerobotan lahan masyarakat. Bisnis hijau seperti penyediaan panel solar malah diganjal dengan pelbagai izin, sementara pertambangan batu bara milik pengusaha besar dan pejabat negara mendapat kemudahan izin dan insentif royalti.

Maka membatalkan UU Cipta Kerja dan meninjau kembali proyek-proyek strategis yang merusak lingkungan dan mengandung konflik kepentingan dengan oligarki, serta komitmen melindungi hak asasi masyarakat, bisa jadi cara awal mendapatkan pembiayaan hijau. Tanpa mengubah kerangka dasar pembangunanisme ala Jokowi, peluang emas mendapatkan investasi yang sesuai dengan mitigasi iklim akan hilang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus