Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kualitas Ombudsman dilihat bukan hanya dari hasil atau dampak pengawasannya, tapi justru dari keteladanannya dalam menerapkan tata kelola pelayanan publik.
Seleksi Kaper Ombudsman 2023 justru dibiarkan berlarut-larut, mandek selama setahun lebih, dan akhirnya dibatalkan secara sepihak.
Dalam kasus ini, Ombudsman jelas telah melakukan sejumlah praktik maladministrasi akut.
SEBAGAI salah satu lembaga yang lahir dari rahim Reformasi 1998, Ombudsman RI memiliki posisi vital dan strategis untuk mendorong terwujudnya pelayanan publik yang baik dan berkualitas. Sesuai dengan ketentuan, Ombudsman berwenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik agar adil, responsif, transparan, tidak diskriminatif, dan akuntabel dalam rangka perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar warga negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan karakter kelembagaan Ombudsman yang bersifat memberi pengaruh atau magistrature of influence, lembaga ini semestinya menjadi pelopor pelayanan publik yang baik dan berkualitas seperti yang disebutkan di atas. Kualitas itu bukan hanya dari hasil atau dampak pengawasannya, tapi justru dari keteladanannya dalam menerapkan tata kelola pelayanan publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keteladanan Ombudsman akan menjadi nilai dan moralitas serta melampaui fungsi dan wewenang pengawasannya. Hal ini dapat mempengaruhi dan menggerakkan lembaga pelayanan publik agar bekerja makin baik dan menginspirasi publik untuk sadar dan kritis memperjuangkan hak-hak dasarnya. Namun, pertanyaannya, setelah 24 tahun eksis, sudahkah Ombudsman RI berhasil menjalankan keteladanan dan karakter magistrature of influence tersebut?
Pertanyaan ini tentu tak relevan dijawab dengan data statistik. Angka dan indeks statistik berupa capaian penyelesaian laporan, capaian kinerja, dan capaian reformasi birokrasi hanyalah indikator mengenai apa saja yang dikerjakan Ombudsman. Data itu tak menunjukkan sejauh mana pekerjaan lembaga ini mempengaruhi dan menggerakkan publik serta lembaga pelayanan publik. Karena itu, derajat magistrature of influence Ombudsman mesti dijawab secara empiris dalam pelayanan publik Ombudsman itu sendiri.
Dalam konteks ini, pengalaman penulis sebagai peserta Seleksi Kepala Perwakilan (Kaper) Ombudsman 2023, yang diselenggarakan serentak di enam provinsi (Sulawesi Barat, Kalimantan Timur, Gorontalo, Maluku Utara, Bengkulu, dan Sumatera Utara), sungguh ironis. Citra Ombudsman RI yang selama ini terlihat begitu gencar mempromosikan pencegahan dan pengawasan praktik maladministrasi dalam pelayanan publik ternyata bercela.
Bagaimana tidak. Berdasarkan Pengumuman Ombudsman Nomor 13 Tahun 2023 tentang Seleksi Kaper Ombudsman 2023, proses seleksi yang dimulai sejak 23 Agustus 2023 semestinya sudah selesai pada 1 Desember 2023, ditandai dengan pelantikan kepala perwakilan di enam provinsi. Pada kenyataannya, proses Seleksi Kaper Ombudsman 2023 justru dibiarkan berlarut-larut, mandek selama setahun lebih, dan akhirnya dibatalkan secara sepihak dan semena-mena.
Bagaimana ceritanya?
Bermula pada 1 Oktober 2023. Setelah seleksi administrasi, seleksi tertulis, dan pembuatan makalah, di masing-masing provinsi tersisa empat peserta. Mereka pun bersiap dan bahkan telah mengikuti rapat teknis seleksi profile assessment yang dijadwalkan pada 2-3 Oktober 2023. Proses ini difasilitasi Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPTUI).
Peserta pun sudah mengirim formulir kegiatan kerja dan pakta integritas sebagai bagian dari pre-test profile assessment sebagaimana yang diminta LPTUI. Namun, pada 1 Oktober 2023, tanpa ada alasan dan penjelasan, Ombudsman RI mendadak menerbitkan Pengumuman Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan Jadwal Seleksi Profile Assessment dan “berjanji” akan memberitahukan jadwal seleksi terbaru melalui situs web Ombudsman dan surel masing-masing peserta.
Setahun berlalu, Ombudsman bukannya menerbitkan jadwal tes profile assessment terbaru, melainkan malah mengirimkan surat bersifat rahasia ke e-mail masing-masing peserta dengan nomor surat yang berbeda. Isi surat itu: pembatalan proses seleksi Kepala Perwakilan Ombudsman 2023. Motif di balik pemberitahuan pembatalan lewat surat personal ini tentu menjadi pertanyaan. Sebab, pembatalan lazimnya diumumkan secara terbuka.
Surat pembatalan tersebut mengejutkan serta tidak bisa diterima nalar dan akal sehat peserta karena tanpa disertai alasan dan penjelasan yang akuntabel. Penulis dan peserta lain pun menduga hal ini dilakukan dengan motif mempersulit peserta yang hendak melakukan perlawanan hukum lewat pintu peradilan tata usaha negara.
Sejumlah peserta pun melayangkan surat keberatan kepada ketua Ombudsman dan meminta lembaga itu meninjau ulang atau meralat pembatalan tersebut karena tidak berdasar dan beralasan, baik secara hukum maupun etika.
Maladministrasi Akut
Alih-alih memberi penjelasan rasional, berdasar, dan akuntabel, kembali lewat surat bersifat rahasia, Ombudsman justru merespons: pembatalan dilakukan atas pertimbangan “untuk bisa mendapatkan ruang yang lebih lebar dalam rangka mencari calon kepala perwakilan sesuai kebutuhan organisasi". Mereka juga berdalih perlu mencari waktu yang tepat untuk mencermati situasi dan dinamika yang ada guna menjaga independensi organisasi dalam proses rekrutmen kepala perwakilan.
Alasan dan penjelasan tersebut justru tidak jelas, absurd, serta mengada-ada, dan sama sekali tak menjawab keberatan peserta. Ombudsman bahkan bergeming, menganggap seolah-olah tidak ada masalah, dan malah membuka pendaftaran Seleksi Kepala Perwakilan Ombudsman 2024 pada 16 Oktober 2024 untuk enam plus tiga provinsi lain, yaitu Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Papua Barat.
Dalam kasus ini, Ombudsman jelas telah melakukan sejumlah praktik maladministrasi akut. Pertama, mereka menyelenggarakan proses seleksi kepala perwakilan secara tidak profesional (kompeten). Kedua, mereka juga dengan sengaja melakukan penundaan berlarut-larut selama setahun lebih, dan kemudian membatalkan begitu saja. Ketiga, para pemimpin Ombudsman telah menyalahgunakan wewenang dengan membiarkan seleksi mandek dan membatalkan proses seleksi secara semena-mena, alih-alih memberikan kepastian hukum.
Maladministrasi keempat adalah penyimpangan prosedur, dalam bentuk inkonsistensi. Berdasarkan Pengumuman Ombudsman Nomor 21 Tahun 2023, Ombudsman semestinya menerbitkan jadwal seleksi profile assessment terbaru, bukan membatalkan proses seleksi. Pemimpin lembaga juga tidak taat terhadap tata cara seleksi kepala perwakilan yang diatur dalam Peraturan Organisasi (PO) Ombudsman Nomor 10 Tahun 2012 sebagaimana telah diubah dengan PO Ombudsman Nomor 29 Tahun 2018 dan Keputusan Ketua Ombudsman RI Nomor 50 Tahun 2022 tentang Mekanisme Pengangkatan Kaper Ombudsman RI.
Dalam sejumlah peraturan tersebut, sama sekali tidak dikenal nomenklatur pembatalan seleksi kepala perwakilan Ombudsman. Tak adanya alasan rasional dan dasar hukum yang kuat bagi Ombudsman untuk membatalkan seleksi kepala perwakilan mengindikasikan pemimpin Ombudsman memiliki konflik kepentingan dan tak menaati pedoman yang ada.
Rangkaian praktik maladministrasi akut tersebut tidak hanya mencerminkan gagalnya Ombudsman menjalankan keteladanan karakter magistrature of influence. Kasus ini juga layak disebut sebagai tragedi dan ironi karena Ombudsman telah mengkhianati nilai dan moralitasnya sendiri. Ombudsman, yang semestinya berada di garda terdepan dalam mencegah dan menindak praktik maladministrasi, malah justru menjadi pelaku maladministrasi itu sendiri. Bahkan juga melanggar hak asasi peserta.
Jika praktik semacam ini dibiarkan, tentu akan menjadi preseden buruk merusak kredibilitas Ombudsman RI, ibarat membersihkan lantai dengan sapu kotor. Celakanya, walau hal ini sudah dilaporkan kepada Presiden dan pimpinan DPR RI, kasus ini sepertinya dibiarkan begitu saja. Musim gugur lembaga-lembaga produk reformasi tampaknya sedang berlanjut. Setelah KPK “dibiarkan” dikorupsi dari dalam, kini Ombudsman juga “dibiarkan” menjalankan praktik maladministrasi dari dalam.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.