Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menurut data UNHCR, per Februari 2022, ada 13.174 orang yang terdaftar, sebanyak 9.973 pengungsi dan 3.201 pencari suaka.
Dari hampir 33.700 pengungsi di Indonesia sejak 2004, kurang dari 13 persen yang mendapat solusi penempatan di negara ketiga atau pemulangan secara sukarela ke negara asal.
Aturan hukum yang ada saat ini adalah Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri, yang belum cukup memberikan kepastian hukum.
KETIDAKPASTIAN hukum membuat pemerintah dan masyarakat Indonesia kerap gamang menghadapi pengungsi serta pencari suaka dari luar negeri. Pemerintah daerah pun tak jarang bersimpang jalan dalam menangani pengungsi atau pencari suaka yang terdampar di wilayahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Coba simak lagi keluhan Bupati Bogor Ade Munawaroh Yasin tentang pengungsi asal Timur Tengah di Puncak, Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Menurut sang Bupati, keberadaan 1.600-an pengungsi itu telah mengganggu aktivitas pariwisata dan wisatawan di wilayahnya. Bupati Ade sampai meminta Ombudsman Republik Indonesia mencari solusi serta berharap pemerintah pusat lebih terbuka soal penanganan pengungsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila pejabat pemerintah saja gamang, bagaimana pula dengan masyarakat biasa. Tak sedikit warga yang keliru bersikap, misalnya menuntut pengungsi dipaksa pulang, akibat tak memahami perbedaan imigran dari pengungsi atau pencari suaka. Berbeda dengan imigran yang meninggalkan negaranya secara sukarela, berdasarkan prinsip non-refoulement hukum internasional, pengungsi atau pencari suaka tak bisa dipaksa pulang ke negara asalnya.
Acuan penanganan pengungsi dari luar negeri hanya berupa Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016. Menurut aturan ini, pemerintah pusat berbagi tugas dengan Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR). Komisi menentukan status pengungsi. Indonesia hanya membantu para pengungsi itu secara tidak langsung melalui UNHCR. Kerja sama itu jauh dari efektif. Buktinya, dari hampir 33.700 pengungsi yang terdampar di Indonesia sejak 2004, kurang dari 13 persen yang sudah dikirim ke negara tujuan atau dipulangkan kembali ke negara asal.
Peraturan presiden itu tak cukup memberikan kepastian hukum. Tak ada pula badan di tingkat nasional yang bertanggung jawab penuh untuk menangani pengungsi. Sementara itu, UNHCR dan lembaga seperti Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) kerap beralasan memiliki mandat dan anggaran yang terbatas.
Dengan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan di jalur transit menuju Australia, pengungsi yang terdampar di negeri ini diperkirakan terus bertambah. Menurut data UNHCR, per Februari 2022, ada 13.174 orang yang terdaftar, sebanyak 9.973 pengungsi dan 3.201 pencari suaka. Tanpa regulasi yang jelas, bakal lebih banyak pengungsi dan pencari suaka yang terlunta-lunta di Indonesia.
Mereka sulit kembali ke negara asal karena menghadapi risiko diskriminasi, penganiayaan, atau bahkan kematian. Sedangkan negara tujuan para pengungsi seperti Australia telah menutup pintu mereka dengan ketat. Tinggal selamanya di Indonesia pun bukan pilihan yang tepat. Jangankan untuk para pengungsi, untuk warga negaranya sendiri pemerintah Indonesia belum bisa menyediakan pekerjaan dan tempat tinggal yang layak.
Indonesia sudah saatnya meratifikasi Konvensi Status Pengungsi 1951 dan Protokol Pengungsi 1967. Berdasarkan kajian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, ada tiga keuntungan bila kita meratifikasinya: bisa menentukan sendiri status pengungsi, lebih mudah mendapat bantuan dan kerja sama internasional, serta bisa mencegah pembonceng seperti pelaku perdagangan orang. Pada saat yang sama, Indonesia harus lebih kreatif dalam berdiplomasi agar negara-negara tujuan mau membuka kembali pintu bagi para pengungsi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo