Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Sik

Sejak awal abad XX, kaum terpelajar dan pergerakan terbiasa menggunakan kata-kata dalam bahasa Jawa. Mengapa? 

18 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mengapa para politikus senang memakai bahasa Jawa dalam bahasa politik mereka?

  • Bahasa Jawa acap dianggap lebih bijak dan tak menimbulkan kegaduhan politik.

  • Apakah bahasa Indonesia tak punya padanan untuk menyampaikan kebajikan di balik peristiwa?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAKON politik mutakhir di Indonesia memerlukan bahasa Jawa. Sekian istilah dari bahasa Inggris, Prancis, dan Arab sering digunakan dalam politik untuk meraih kemenangan dan ketenaran. Bahasa Jawa tak ketinggalan ikut digunakan saat politik mulai panas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 2014, orang-orang berimajinasi menang dengan pembuatan slogan dan serangan kata-kata. Para wartawan dan penulis opini sibuk mengamati peredaran kata. Pemicu keributan dan polemik belum tentu kata-kata berasal dari bahasa Inggris. Pilihan kata dalam bahasa Jawa malah menimbulkan dampak sulit ditebak.

Joko Widodo atau Jokowi dalam suasana persaingan politik biasa menggunakan diksi “kerja”. Ia mengucapkannya berulang. Makna mungkin berlebih saat diucapkan tiga kali. Orang-orang mudah mengetahui arti “kerja” tanpa harus membuka kamus-kamus. Kata itu terbukti berdampak besar dalam politik.

Kita mengingat masa lalu dengan membaca Tempo, 13-19 Oktober 2014. Judul besar di kulit muka majalah: “Aku Rapopo”. Kita diingatkan dengan jawaban Joko Widodo saat mendapat serangan dan tuduhan berpamrih kekuasaan. Lelaki bertubuh ceking itu menjawab dengan bahasa Jawa. Jawaban dianggap santun. Kita makin mengerti kata-kata dalam bahasa Jawa kadang ampuh ketimbang kata-kata dalam bahasa Inggris yang biasa diucapkan kaum politik di Indonesia.

Joko Widodo masih fasih berbahasa Jawa untuk berpolitik. Di Magelang, Jawa Tengah, 21 Mei 2022, ia menggunakan bahasa Jawa. Pilihan kata dianggap bijaksana dalam menanggapi keributan politik. Bahasa dan sikap bijak itu diulas di Kompas, 23 Mei 2022. Ucapan Joko Widodo digunakan untuk judul “Aja Kesusu”, Mengontrol Nafsu. Di Media Indonesia, 22 Mei 2022, ucapan Joko Widodo juga dikutip dalam editorial tapi berbeda cara penulisan: ojo kesusu.

Kutipan di Kompas agak memudahkan pengertian bagi para pembaca yang tak berbahasa Jawa: “Urusan politik, aja kesusu sik. Jangan tergesa-gesa. Jangan tergesa-gesa. Meskipun, mungkin, yang kita dukung ada di sini.” Joko Widodo sudah memberi terjemahan dalam bahasa Indonesia. Aja kesusu itu jangan tergesa-gesa. Kata sik tak ikut diterjemahkan. Joko Widodo sebagai sosok bijaksana saat mengucapkan aja kesusu sik. Bahasa Jawa berdampak lagi. Politik tak terlalu panas akibat Joko Widodo menggunakan bahasa Jawa.

Kita belum mengetahui “kamus (bahasa) politik” digunakan Joko Widodo. Sejak menjadi murid sekolah dasar, ia pasti belajar beragam bahasa. Kemampuan berbahasa Jawa mungkin lebih dikuasai ketimbang berbahasa Indonesia dan Inggris. Penggunaan bahasa Jawa dalam kehidupan keseharian membuktikan tata krama.

Bahasa Jawa juga digunakan dalam politik, mengesankan “halus” dan “tenang”. Para pengamat politik Indonesia biasa mengutip ucapan dan pemikiran para tokoh menggunakan bahasa Jawa. Bahasa itu mengandung “pengendalian”.

Pada masa kekuasaan Sukarno dan Soeharto, bahasa Jawa berkembang dalam politik. Orang-orang agak terkejut mengetahui bahasa Jawa masuk percakapan politik dan pembuatan kebijakan pemerintah. Sukarno dan Soeharto bukan pemula dalam penggunaan bahasa Jawa untuk berpolitik. Sejak awal abad XX, kaum terpelajar dan pergerakan politik terbiasa menggunakan kata-kata dalam bahasa Jawa, tak selalu tergoda menggunakan bahasa Belanda, Inggris, Arab, dan Melayu.

Pada 2022, Joko Widodo dan bahasa Jawa memicu renungan politik. Kita beranggapan bahasa Jawa manjur meredakan situasi politik tak keruan. Ucapan berdampak besar: aja kesusu. Orang-orang melupakan sik. Kita membuka Bausastra Djawa-Indonesia (1957) susunan S. Prawiroatmodjo. Di halaman 219, kosik berarti “ingat” dan “nanti dahulu”. Joko Widodo sengaja mengucapkan sik, tak perlu lengkap: kosik. Ia menganggap orang-orang mengerti bahwa sik itu “dulu”. Begitu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus