Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGADAAN alat sadap secara sembunyi-sembunyi tidak hanya meningkatkan risiko korupsi, tapi juga membuka pintu lebar-lebar bagi penyalahgunaan kekuasaan. Tanpa sistem akuntabilitas yang kuat, teknologi canggih ini bisa dengan mudah dipakai untuk memata-matai dan menekan suara-suara kritis yang esensial bagi kesehatan demokrasi.
Liputan kolaborasi Tempo bersama sejumlah media dan lembaga pegiat hak asasi internasional mengungkap bagaimana pemerintah jorjoran membeli alat sadap dari luar negeri sejak 2017 hingga 2023. Ratusan alat sadap bernilai puluhan triliun rupiah itu diduga diimpor oleh sejumlah pihak secara diam-diam melalui negara perantara. Di dalam negeri, pembelinya antara lain Kepolisian RI, Badan Intelijen Negara, serta Badan Siber dan Sandi Negara atau BSSN.
Alat sadap memang bisa membantu penegak hukum membongkar kejahatan seperti korupsi dan terorisme. Namun, ibarat pedang bermata dua, tanpa kontrol yang ketat, peralatan surveilans itu rawan disalahgunakan untuk mengawasi gerak-gerik kelompok yang kritis terhadap pemerintah. Indikasi adanya niat buruk antara lain terlihat pada pembelian alat sadap secara diam-diam dari negara yang tak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia, seperti Israel. Celakanya, praktik bengkok itu sudah terjadi.
Pada Juni 2023, Tempo bersama konsorsium IndonesiaLeaks juga membongkar penggunaan Pegasus di Indonesia. Spyware berharga ratusan miliar rupiah produksi NSO Group Technologies asal Israel itu diduga digunakan untuk mengakses data percakapan, nomor telepon, foto, dan video milik para politikus menjelang Pemilihan Umum 2019.
Masifnya pembelian alat sadap diikuti oleh pelanggaran hak privasi yang serius dan serangan digital terhadap individu-individu yang kritis terhadap pemerintah. Amnesty International mencatat sepanjang 2019-Mei 2022 terjadi setidaknya 90 pelanggaran dan kekerasan digital terhadap 148 aktivis hak asasi manusia, pegiat lingkungan, jurnalis, dan mahasiswa.
Pengadaan alat sadap secara diam-diam juga menunjukkan adanya restu negara terhadap praktik authoritarian enclave atau kantong kekuasaan otoriter yang dilakukan oleh berbagai lembaga. Di negara-negara otoriter, pemerintahnya memang selalu mencurigai mereka yang kritis atau dianggap sebagai musuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasrat berlebihan negara dalam memata-matai warga sendiri kian tak terbendung karena tak ada aturan penyadapan yang memadai. Hingga kini pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyadapan mandek di Dewan Perwakilan Rakyat. Ketiadaan kerangka hukum yang jelas, termasuk mekanisme pengawasan dan sanksinya, memungkinkan lembaga negara menyalahgunakan alat sadap untuk kepentingan penguasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di samping membahayakan demokrasi, pembelian alat sadap secara diam-diam menunjukkan indikasi kuat praktik korupsi. Apalagi audit transparan terhadap pengadaan alat sadap belum pernah dilakukan. Karena itu, selama aturan pengadaan dan penggunaannya belum jelas, diperlukan moratorium pembelian alat sadap. Tanpa akuntabilitas, alat sadap hanya akan menjadi penopang pemerintahan otoriter yang menguat belakangan ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo