Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dalam keadaan normal, Indonesia perlu Undang-Undang Perampasan Aset.
Keadaan normal itu adalah peradilan yang bersih, penegak hukum profesional, politik yang berpihak kepada kebenaran dan keadilan.
Tanpa prasyarat itu, Undang-Undang Perampasan Aset akan menjadi alat kekuasaan dan oligarki makin sewenang-wenang.
KETIKA penegakan hukum adil, aparaturnya profesional, dan politik berpihak kepada kepentingan orang banyak, Indonesia perlu Undang-Undang Perampasan Aset. Selama ini, harta hasil kejahatan seseorang sulit disita negara karena melalui proses peradilan yang panjang. Dalam proses itu, seseorang bisa segera menghilangkan jejak aset dan harta hasil kejahatannya sehingga tak terendus ketika penegak hukum hendak menyitanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset mengemuka kembali ketika Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. meminta anggota Dewan Perwakilan Rakyat mendukungnya dalam sebuah rapat pekan lalu. Para politikus Senayan menolak permintaan Mahfud itu. Bukan saja karena drafnya belum ada, para elite partai disebut-sebut khawatir jika undang-undang tersebut kelak disahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Undang-Undang Perampasan Aset memungkinkan pemerintah mendirikan sebuah lembaga yang berwenang menyita aset hasil kejahatan seseorang tanpa proses pengadilan. Undang-undang ini menjadi bagian tujuan pemberantasan korupsi, yakni memiskinkan para koruptor yang menikmati harta hasil menggarong kekayaan negara. Sampai di sini, Indonesia yang sedang berusaha membersihkan diri dari penyakit korupsi membutuhkannya untuk membuat jera para koruptor.
Meski begitu, Undang-Undang Perampasan Aset juga akan membuka peluang konflik kepentingan yang sangat besar. Undang-undang ini akan memberikan legitimasi kepada negara untuk bertindak seperti penagih utang yang bisa sewenang-wenang merampas aset seseorang tanpa pengadilan. Undang-Undang Perampasan Aset pun akan menjadi pisau bermata dua.
Di satu sisi ia akan menopang pemberantasan korupsi, di sisi yang lain ia bisa menjadi alat negara buat melanggar hak-hak privasi yang menghambat demokrasi. Sisi buruk Undang-Undang Perampasan Aset akan makin tajam ketika politik dan hukum dikuasai oligarki, seperti yang terjadi saat ini.
Jika kelak Undang-Undang Perampasan Aset terbit, seorang oligark yang bisa membayar politikus dan penegak hukum dapat memerintahkan mereka memenjarakan musuh bisnis dan politiknya sekaligus menyita asetnya. Apa yang dilakukannya menjadi sah karena melalui prosedur hukum yang direstui konstitusi. Apabila Indonesia sampai pada kondisi ini, mereka yang punya uang dan kuasa akan makin digdaya dan sewenang-wenang.
Dalam relasi kuasa politikus-oligarki-birokrasi-aparatur hukum yang erat, Undang-Undang Perampasan Aset akan makin menjerumuskan Indonesia ke sumur kegelapan. Jual-beli hukum akan makin marak. Para pebisnis akan makin dalam masuk ke dunia politik. Politik akan makin mewarnai kerja-kerja penegakan hukum kita.
Contoh nyata terlihat dalam perebutan konsesi nikel. Dengan uang, seorang pengusaha bisa membayar pejabat negara mengesahkan perusahaannya, lalu pengusaha lain yang lebih besar menekannya. Korupsi, konflik, dan kesewenang-wenangan akan makin subur memakai hukum dan pranata-pranata demokrasi.
Maka, agar Undang-Undang Perampasan Aset mendorong pemberantasan korupsi sekaligus tak menjadi alat kekuasaan, ia perlu prasyarat: peradilan yang bersih dan independen, penegak hukum yang profesional, pemberantasan korupsi tak pandang bulu. Tanpa didahului prasyarat ini, undang-undang itu hanya menjadi legitimasi kesewenang-wenangan penguasa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo