Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELUM beres integrasi 72 lembaga riset pemerintah ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Kesehatan malah mendirikan Biomedical and Genome Science Initiative (BGSi). Pendirian BGSi jelas menyalahi semangat integrasi semua lembaga riset yang digadang-gadang pemerintah ketika mendirikan BRIN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan BGSi akan meriset genom penduduk Indonesia untuk mengetahui jenis penyakit secara persis sehingga pengobatannya lebih tepat, cepat, dan efektif. Tujuan tersebut baik, tapi bukan hal baru. Tujuan BGSi itu tak berbeda dengan Lembaga Eijkman yang berdiri pada 1888.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lembaga Eijkman jelas punya pengalaman lebih panjang dalam penelitian genetika. Lembaga itu juga punya data berlimpah tentang informasi genetika penduduk Indonesia. Itulah sebabnya Lembaga Eijkman bisa segera mengetahui informasi penyebaran virus corona saat terjadi pandemi Covid-19, hingga mengembangkan vaksin Merah Putih. Selama masa pandemi, tim Eijkman memeriksa 95 ribu sampel dari 351 fasilitas layanan kesehatan dan memeriksanya di mesin whole genome sequencing (WGS).
Sayangnya, atas nama integrasi lembaga riset nasional, Lembaga Eijkman malah ditarik ke bawah kendali BRIN dengan nama baru: Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman. Sejak integrasi itu, aset data genetika Lembaga Eijkman lama tak jelas nasibnya. Penelitinya pun dibiarkan terlunta-lunta.
Pendirian BGSi di bawah Kementerian Kesehatan bertolak belakang dengan Pasal 65 Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021. Pasal ini mengatur pengambilalihan tugas, fungsi, dan kewenangan lembaga-lembaga penelitian di bawah kementerian atau lembaga negara.
Seperti namanya, BGSi memang inisiatif, bukan unit kerja. Tapi praktiknya sama saja: pengumpulan dan riset genetika melalui mesin WGS di rumah sakit, yang seharusnya menjadi tugas Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman.
Tumpang-tindih BGSi dengan Pusat Riset Eijkman berdampak pada anggaran. Kementerian Kesehatan tentu akan membutuhkan dana untuk membangun laboratorium, membeli mesin, menggaji ahli, dan membiayai penyimpanan informasi genetika. Pada saat yang sama, BRIN juga punya anggaran sendiri untuk membiayai operasi lembaga ini. Maka terjadilah pemborosan akibat adanya anggaran ganda.
Selain menyebabkan boros anggaran, tumpang-tindih lembaga riset genetika berpotensi membuat kisruh data genetika penduduk Indonesia. Alih-alih menyediakan basis data genom untuk pengobatan yang tepat, tumpang-tindih lembaga genom malah bisa mengacaukan kebijakan kesehatan di Indonesia.
Baca artikelnya:
Belum lagi soal potensi kebocoran serta eksploitasi data genetika di dua lembaga genom yang berbeda. Niat mencegah penyalahgunaan informasi genetika, ketika BRIN menarik Lembaga Eijkman ke bawah kendalinya, kini ditimpa oleh BGSi.
Pendirian BGSi tak hanya menunjukkan tidak jelasnya arah lembaga penelitian kesehatan di Indonesia. Perebutan kewenangan dan anggaran penyelidikan riwayat genetika penduduk, bila benar-benar terjadi, akan merusak reputasi lembaga riset kesehatan kita.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tumpang-Tindih Lembaga Genom"