Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

500 Tahun yang Lalu

4 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tidore, laut, benteng Eropa tua: ada yang tak terhapus dari pulau kecil yang bersih dan tenang ini. Di sini, 500 tahun yang lalu, sejarah dan peta bumi saling membentuk, saling mengecoh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Tidore riwayat ini bisa dimulai pada 8 November 1521. Tiga jam setelah matahari terbenam, dua kapal Portugis memasuki pelabuhan. Para awaknya bukan lagi pasukan perkasa. Mereka sisa-sisa rombongan manusia pertama yang dengan perjalanan laut yang amat lama dari Spanyol, dan dengan korban jiwa yang besar menjadi saksi yang letih tapi tangguh bahwa bumi memang bulat dan pulau rempah-rempah memang ada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di bandar itu mereka melego jangkar, memberi salam ke Kerajaan Tidore dengan tembakan meriam.

Tapi ini hanya bagian cerita yang panjang.

Sudah lama, seorang penjelajah Portugis, Magellan, atau Fernão de Magalhães, ingin menemukan pulau pala, merica, dan cengkih di Timur yang masih antah-berantah. Ia, yang pernah ikut pasukan Portugis menyerang Malaka, beberapa ratus mil dari Sumatera, sebenarnya bisa bertolak dari sebuah pelabuhan di Asia untuk mencapai Maluku. Tapi ketegangan hubungan internasional waktu itu mendorongnya ke rencana besar yang berbeda dan cocok: Magellan adalah segumpal baja dengan ambisi untuk menjelajah, menemukan, menaklukkan.

Ia yakin bumi bulat, mengikuti theori Columbus. Maka seperti Columbus yang bermaksud ke Tiongkok, ia berlayar ke arah barat, melalui Lautan Atlantik. Dengan lima kapal yang kemudian dikenal sebagai "Armada de las Molucas" (Armada Maluku), Magellan, pada usia 39 tahun, angkat sauh dari Sevilla, Spanyol. Tapi berbeda dengan Columbus, ia tak berhenti di tepi Benua Amerika. Ia menyusuri sampai jauh ke selatan daratan yang waktu itu belum jelas ujungnya.

Akhirnya ia temukan apa yang didesas-desuskan para pengelana selama ini: sebuah celah di selatan wilayah Cile dan Argentina yang menghubungkan Atlantik dengan sesuatu (diduga laut) di bagian sana bumi.

Selama 36 hari sang penjelajah menembus celah yang rumit sepanjang 600 kilometer itu. Di ujung selat yang kemudian disebut “Selat Magellan” itu tampak apa yang ia namakan, dengan lega, “Laut Teduh”.

Ia tahu, bila ia lintasi laut itu, ia akan sampai ke tujuannya: Maluku. Tapi ia tak tahu bahwa yang harus diarunginya sebenarnya sebuah lautan yang tak teduh yang nyaris tak bertepi: sebuah samudra yang kemudian disebut “Pasifik”. Dengan awak kapal yang kelaparan dan berjatuhan mati, ia bertahan maju di tengah gelombang, dengan disiplin yang brutal.

Tiga bulan kemudian baru ia temukan sebuah daratan. Ia bersua dengan manusia....

Lima ratus tahun yang lalu, dunia diubah dari Eropa. Dengan ambisi dan keberanian, dengan iman kepada Tuhan dan keserakahan.

Ketika itu Amerika belum dipastikan bentuknya di atas peta, Tiongkok hanya rumor, dan rempah-rempah adalah benda berharga yang datang entah dari pojok timur mana. Dari Lisabon dan Madrid, dua pusat negara adikuasa di abad ke-15, geografi hanya tampak sebagai rute penaklukan sebuah dunia yang tak jelas.

Pada 18 Juni 1452, Paus Nikolas V mengeluarkan bulla atau “fatwa” Dum Diversas yang memberikan wewenang kepada Raja Portugal, Alfonso V, untuk memperbudak “muslim, orang kafir, dan musuh Kristus”, Sarracenos et paganos aliosque Christi inimicos, selama-lamanya. Semula cuma di Afrika. Empat tahun kemudian, fatwa Inter Caetera menganugerahi Pangeran Henrique seluruh tanah dan penduduk yang ditemukan. Pada Juni 1494, Paus Aleksander VI dengan “Traktat Tordesillas” membagi bola dunia jadi dua: sebelah barat buat Spanyol, sebelah timur buat Portugis.

Agaknya itulah pikiran takhta Vatikan tentang planet bumi di abad ke-15: jemawa dan keliru. Di luar Takhta Suci, sejarah penuh tikungan yang tak bisa dibaca fatwa dan geografi.

Ketika Magellan akhirnya sampai di pulau-pulau yang kini disebut “Filipina”, ia disambut penduduk setempat dengan bersahabat. Bahkan di Pulau Cebu hampir tanpa kesulitan laksamana Portugis yang bekerja buat Raja Spanyol itu berhasil membuat penduduk “kafir” itu beramai-ramai memeluk Kristen. Tapi tak mudah mengetahui sejauh mana iman baru itu diterima.

Jika kita baca terjemahan Relazione del primo viaggio intorno al mondo yang disusun Pigafetta (orang Italia yang merekam penjelajahan Armada Maluku mengelilingi bumi), upacara “masuk-Kristen” itu lebih mengesankan sebagai keramaian menyambut tamu yang menawarkan hal-hal menarik. Magellan mungkin terkecoh. Ia tampak menerima saudara seimannya yang baru itu dengan antusias; ia bersedia bertempur membela mereka dalam konflik dengan suku lain. Tapi orang Eropa ini salah memperkirakan kemampuan diri dan anak buahnya. Dalam pertempuran dengan pasukan musuh, ia terbunuh. Tentaranya kalah.

Magellan wafat. Itu tiga tahun setelah ia memulai misinya yang panjang. Pigafetta kemudian bercerita, persinggahan mereka di Cebu ditutup dengan jebakan: pada suatu hari, sisa-sisa warga kapal Spanyol diundang ke perjamuan. Mereka datang. Mereka dibantai.

Yang tersisa, setengah rombeng, melanjutkan perjalanan menuju tujuan: ke Maluku.

Dan mereka sampai di Tidore.

Tidore amat ramah. Sultan Almansur menyambut sendiri orang-orang asing itu dengan naik ke kapal. Ia, seorang muslim, yang dalam fatwa Paus harus dijadikan budak, adalah tuan rumah yang demikian antusias hingga dalam ingatan Pigafetta ingin menyebut Tidore “Castiglia”, sebagai tanda pertalian dengan Raja Spanyol.

Tapi Almansur bukan tanpa perhitungan politik. Kepulauan Rempah-rempah, buku sejarah Ternate-Tidore yang disusun M. Adnan Amal, menggambarkan dengan jelas bagaimana Kerajaan Tidore ingin menggunakan Spanyol buat mengimbangi pengaruh politik dan ekonomi Portugis di Maluku. Di sini tak ada Christi inimicos, “musuh Kristus”; yang ada hanya manusia yang punya iman dan desain kekuasaan yang berbeda.

Roma, Lisabon, Madrid, siapa saja, akhirnya terbentur: peta dunia bisa diubah sejarah, tapi sejarah bukan peta yang rata. Di Pulau Tidore, laut yang cantik dan benteng yang kini kehilangan keangkeran itu seakan-akan saling mengingatkan.

GOENAWAN MOHAMAD
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus