Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Mudarat Bulog di Bawah Prabowo

Rencana Presiden Prabowo Subianto mengembalikan Bulog sebagai regulator membuka celah korupsi seperti Bulog di zaman Soeharto.

12 November 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Prabowo Subianto sebaiknya membatalkan rencana mengubah status Perusahaan Umum Bulog menjadi lembaga pemerintah. Penempatan Bulog sebagai organisasi di bawah Prabowo akan membuat badan usaha milik negara itu berubah menjadi regulator sekaligus operator dalam menjaga harga dan pasokan pangan. Selain menimbulkan konflik kepentingan karena perannya tersebut, perubahan status Bulog membuka celah terjadinya korupsi. 

Rencana Prabowo mengembalikan status Bulog menjadi badan di bawah presiden disampaikan oleh Kepala Bulog Wahyu Suparyono dalam rapat dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa, 5 November 2024. Wahyu mengklaim perubahan status itu bertujuan membuat Bulog menjadi lebih efisien. Ia menganggap peran Bulog yang hanya menjadi operator akan membatasi lembaga itu sebagai pengelola di bidang pangan.

Pengembalian Bulog sebagai badan di bawah presiden seperti pada era Orde Baru adalah kebijakan penuh mudarat. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, mertua Prabowo, Badan Urusan Logistik dengan hak monopoli yang dimilikinya memberikan keistimewaan kepada perusahaan yang dekat dengan penguasa untuk mengadakan komoditas pangan. Selain memperpanjang rantai pengadaan bahan pokok, kongkalikong itu menghasilkan distorsi atau ketidakseimbangan pada mekanisme pasar.

Status regulator sekaligus operator terbukti membuat Bulog menjadi rumah yang nyaman bagi para pemburu rente. Celah korupsi inilah yang menjadi salah satu alasan Bulog beralih status menjadi BUMN pada 2003. Meski diwarnai kerugian serta sejumlah kasus korupsi, model pengelolaan Bulog sebagai perusahaan umum yang menjalankan fungsi pelayanan publik dan komersial belakangan menunjukkan kinerja positif. Pada 2023, perusahaan itu untung Rp 820 miliar.


Dengan mengembalikan Bulog sebagai badan di bawah kekuasaannya, Prabowo sama saja membuka kembali pintu kolusi dan korupsi. Sulit bagi Bulog, yang diisi oleh orang-orang kepercayaan Prabowo, menolak kalau suatu saat penguasa memerintahkan untuk memberi karpet merah kepada perusahaan tertentu. Ujungnya, konsumen akan dirugikan karena harga bahan pokok bisa dikendalikan seenaknya oleh mafia pangan.

Perubahan status Bulog menjadi regulator juga akan mengakibatkan peran yang tumpang-tindih dengan lembaga lain di bidang pangan. Pemerintahan Prabowo telah membentuk Kementerian Koordinator Pangan dan Badan Pangan Nasional yang memiliki peran sebagai regulator. Ditambah Kementerian Perdagangan yang punya kewenangan mengatur kuota impor. Semua lembaga itu pasti akan berebut kewenangan, mungkin juga keuntungan.

Ketimbang menjadikan Bulog sebagai calon sapi perah, Presiden Prabowo sebaiknya membenahi tata kelola pengadaan dan pengendalian harga pangan dari hulu, distribusi, hingga hilir. Di hulu, misalnya, pemerintah harus memiliki basis data yang transparan dan akuntabel soal ketersediaan stok beras. Dengan data tersebut, Bulog hanya mengimpor beras jika benar-benar diperlukan untuk menjaga stok dan stabilitas harga, bukan untuk memperkaya segelintir orang.

Pemerintah juga bisa membuat kegiatan operasional Bulog lebih fleksibel jika menginginkan BUMN itu tetap menjalankan fungsi pelayanan publik dan perusahaan komersial. Misalnya, beras Bulog tak lagi disimpan di gudang, melainkan dijual bebas di pasar. Stok beras menjadi lebih cepat berputar ke konsumen. Pun konsumen bisa beralih ke beras Bulog ketika terjadi kenaikan harga beras. Tak hanya meraup untung, Bulog pun bisa membantu menjaga kestabilan harga pangan.

Prabowo tak mungkin menjaga kestabilan harga pangan jika ia membiarkan mafia pangan terus beroperasi. Mengubah Bulog sebagai badan regulator sekaligus operator hanya akan membuat mafia pangan merajalela dan merugikan masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus