Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
2 Juli 2021, Ki Manteb Soedharsono wafat, dalam usia 72 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUNGKIN lebih dari 500 orang hadir di sekitar Bangsal Pagelaran Sitihinggil. Sebagian duduk nglémprak di rumput dan aspal alun-alun utara Keraton Yogya. Sekitar dua dasawarsa yang lalu itu, Ki Manteb membawakan lakon Makutarama. Para penonton terpaku di tempat duduk. Di layar itu, kera putih Hanuman, pendekar perang yang telah jadi resi tua, mengutarakan keinginannya yang sangat: kematian....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sebelah kanan saya, seorang kakek yang memegang tas kulit kecil yang reyot mendengarkan—dengan menunduk.
Ki Manteb selalu memukau dalam langgut, ekspresi perasaan seorang tokoh pada sebuah adegan. Saya lebih terpukau oleh Ki Anom Suroto, ketika dengan suaranya yang jernih melantunkan suluk, tapi Ki Manteb bisa membuat mata penonton basah.
Dalang adalah pencipta ilusi. Ia membuat kita tergetar akan kecantikan Surtikanti, meskipun tubuh yang diraut di kulit kerbau itu sebuah distorsi: hidung lentik yang terlalu panjang, lengan yang disebut indah lir gendéwa pinenthang (bak busur panah direntang)—yang proporsinya sebenarnya abnormal.
Berabad-abad ilusi itu hidup. Di tahun 1030 penggubah Kakawin Arjuna Wiwaha juga menulis ia takjub bahwa orang bisa menangis dan kagum menyaksikan benda yang sebenarnya hanya walulang inukir, belulang yang diukir. Dalang adalah penyulap. Yang “maya”, yang semu, bhawa siluman, jadi nyata seperti manusia.
Yang visual tak dengan sendirinya rasional. Dalang menghidupkan sebuah bangunan estetik dengan anasir berlapis-lapis. Suara, diksi, intonasi, dan irama berkelindan ketika ia melukiskan sebuah pemandangan, membangun dialog (dengan watak yang berbeda-beda), menghidupkan humor, menggerakkan Bhima, dan menyabetkan satu wayang ke wayang lain. Semua energi jasmani yang melampaui dirinya sendiri. Tangan dan pita suara dalang, bentangan layar, sinar blencong, irama dalam tembang, dan getar dalam suluk, semuanya bertemu dengan penonton bukan hanya dalam komunikasi akal budi. Dalam teater total itu, makna lahir dari—untuk memakai theori Julia Kristeva—yang semiotique. Yang dihadirkan bukan sesuatu yang logis, transparan, lurus, dengan bahasa yang untuk memproduksi pengertian. Komunikasi dibangun juga dalam dan oleh enigma. Wayang kulit menunjukkan bahwa hidup tak sepenuhnya jelas. Bahkan juga dengan kata-kata Dalang.
Mungkin itu sebabnya kita terbawa oleh kosakata Kawi dan idiom para pujangga lama di celah-celah janturan, meskipun kita tak memahaminya. Bagi saya, misalnya, “Swuh rep data pitana…” atau “hong ilahèng awigna mastu purnama…” adalah entah yang indah, variasi bunyi yang misterius dalam narasi yang memikat, tanpa bisa diterjemahkan.
Dalang adalah penyair imajis. Ia bawakan imaji-imaji visual yang berbaur dengan efek bunyi, membentuk satu keseluruhan, sebuah Gestalt: sebuah suasana yang tak mudah dianalisis. Seperti dalam suluk sedih yang terkenal itu: larik-larik awalnya menampilkan “matahari yang murung menghirup bau mayat” (surem suren diwangkara kingkin, lir manguswa kang layon…) dan larik-larik penutupnya “darah yang membasahi tubuh yang luka sementara angkasa jadi merah” (neles dening ludira kawangwang gegana bang sumirat).
Tapi dalang tak cuma di depan layar dengan lanskap dan tokoh imajiner. Ia juga di depan orang ramai. Ia perlu showmanship, untuk memikat dalam pertunjukan. Ia juga punya janji dengan pemilik uang dan kekuasaan. Di zaman perdagangan sekarang, ia dituntut memasarkan diri dan keseniannya sebagai komoditas yang asyik.
Tak semua mau. Meskipun Ki Manteb jadi bintang iklan—ia seorang pesohor—ia tak pernah membuat pertunjukannya sebuah burluesque. Lelucon tak menguasai lakon. Saya ingat Ki Timbul Hadi Prayitno menyindir seorang dalang yang, agar memikat, mengisi pementasannya dengan dagelan berpanjang-panjang, hingga “kirik-kirik sing melu nonton ya kepingkel-pingkel”, “anak-anak anjing yang ikut nonton terpingkal-pingkal”. Ada juga dalang yang mempertontonkan para sindennya berjoget di panggung, sambil meringkas satu fragmen Mahabharata. Ia ubah wayang kulit jadi seperti sinetron: mengkilap tanpa membekas.
Sejak dulu, dalang memang dalam posisi rapuh. Ia bukan seniman yang mandiri. Ia harus melayani pesanan si empunya acara yang mengupahnya. Pertunjukan pun jadi instrumen “pesan”. Pelan atau cepat, dalang akan berhenti menghidupkan imajinasinya sendiri dan meninggalkan petualangan kreatif. Pertunjukan kehilangan energi totalnya: hanya jadi cerita yang gampang ditebak, yang itu-itu-lagi, dunia verbal yang kehilangan hening. Dan klise pun tumbuh seperti benalu, mematikan daya cipta. Pementasan selalu siap mengikuti formula—gampang karena mengulang.
Sudah lama dunia pewayangan seperti itu sebenarnya. Mahabharata dan Ramayana jadi potongan-potongan melodrama. Melodrama tak betah dengan kompleksitas kehidupan. Akhirnya cerita-cerita wayang hanya secara otomatis menempatkan para Kurawa di pihak yang-jahat-dan-pasti-kalah, Pandawa pada posisi sebaliknya. Wayang kulit makin tak berdaya membangun sebuah tragedi, di mana, seperti dalam Hamlet dan Oedipus, manusia tak hanya satu warna.
Maka saya menulis lakon Karna dan teks opera (untuk musik Tony Prabowo) Gandari. Saya ingin kedua tokoh yang malang dalam perang saudara di Kurusetra itu dilepaskan ke dalam kehidupan yang tak terduga—tak dicetak identitas yang tak berubah.
Paling sedikit, saya ingin wayang bukan lagi 1.000 duplikat, bila kita ingin ia tetap hidup dan dalang piawai seperti Ki Manteb selalu datang.
Pada suatu pagi, 15 tahun yang lalu, di Taman Budaya Surakarta, saya ketemu almarhum sedang menengok persiapan lomba dalang anak-anak. Saya tak yakin ia—yang tak mengenali saya—akan ingat percakapan ini, “Kalau nanti saya tak ada lagi, dari mereka ini akan lahir dalang baru,” katanya.
“Maksudnya, Ki Manteb baru?”
Ia ketawa.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo