Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sebuah malam Agustus 1945, menjelang saat makan, seorang perwira intelijen Inggris dengan setengah berbisik memberi tahu seorang ilmuwan Jerman, yang jadi tahanan sementara, bahwa pada jam 8:15 pagi tanggal 8 Agustus 1945 Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejarah dunia seketika berubah. Orang Jerman itu terkejut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Informasi itu pun segera beredar di sebuah bangunan tua di dekat Cambridge, 79 kilometer dari London, yang disebut “Farm Hall”. Di tempat rahasia itu ditahan 10 ilmuwan Jerman yang diciduk pasukan Sekutu antara 1 Mei dan 30 Juni 1945. Dalam “Operasi Epsilon”, kesepuluh orang itu diangkut karena diduga terlibat dalam persiapan Jerman untuk membuat bom atom.
Tapi mereka diperlakukan dengan baik. Mereka disebut “tamu”—meskipun para “tamu” yang dijaga si mayor Inggris sebenarnya dipantau dengan saksama. Selama berada di Farm Hall itu semua percakapan mereka diam-diam direkam. Inggris dan Sekutu ingin tahu, apa saja yang dirembuk para pakar itu di antara mereka sendiri tentang proyek Jerman menyiapkan senjata atom.
Ketika salah seorang ilmuwan itu curiga, jangan-jangan ada mikrofon dipasang tersembunyi di sekitar mereka, seorang rekannya ketawa: “Memasang mikrofon? Ah, mereka tak selincah itu. Aku kira mereka tak kenal cara kerja dinas rahasia Jerman, Gestapo. Mereka agak kuno dalam hal ini.”
Jika ilmuwan Jerman itu terdengar meremehkan, mungkin karena ia terbiasa dalam posisi penting. Ia salah satu tokoh terkemuka sains Jerman masa itu.
Sosok utama cerita ini Werner Karl Heisenberg. Waktu itu usianya 44 tahun, tapi sudah membuat sejarah dalam perkembangan mekanika kuantum; ia-lah yang memperkenalkan “prinsip ketidakpastian” yang termasyhur itu.
Dalam What is Real: The Unfinished Quest for the Meaning of Quantum Physics—yang menguraikan sikap hidup tokoh-tokoh pelopor fisika kuantum dalam perdebatan tentang “realitas”—Adam Becker menunjukkan bahwa Heisenberg bukan hanya bernilai tinggi sebagai ilmuwan; ia juga seorang Jerman yang bisa dipuji karena kesetiaannya kepada tanah air. Meskipun negerinya dikuasai kaum Nazi, ia tak hendak menampik Jerman, karena “kewajiban dan patriotisme”. Ia pernah mengatakan: “Jerman membutuhkan saya.”
Ia bukan anggota Nazi. Ia tak mau ikut-ikutan kebijakan resmi yang mengganyang para ilmuwan keturunan Yahudi. Dalam beberapa sisi mekanika kuantum, ia bentrok pendapat dengan Einstein, tapi ia tak hendak menghapus nama perumus theori relativitas ini. Sebagai akibatnya, Heisenberg sendiri dituduh sebagai “Yahudi Putih” dan diserang orang-orang fanatik yang mengibarkan “Fisika Jerman”, Deutsche Physik.
Ia selamat, berkat perlindungan yang diperolehnya dari pemimpin Gestapo, Himmler—teman baik keluarganya. Dan ketika Perang Dunia pecah, Heisenberg dipercayai jadi direktur Institut Fisika Kaiser Wilhelm, bersama Otto Hahn, penemu metode fission (pemecahan) nuklir.
Lembaga ini ada di bawah kendali Angkatan Darat yang mengkoordinasikan proyek rahasia untuk perang. Dalam laporannya pada Desember 1939 Heisenberg menulis bahwa penemuan Otto Hahn akan dapat digunakan membuat sebuah bom jenis baru yang “berlipat-lipat melebihi daya ledak bahan eksplosif yang ampuh”.
Tapi Agustus 1945, ternyata bukan Jerman, melainkan Amerika yang berhasil memproduksi dan menggunakan bom jenis baru itu. Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak, Jepang takluk. Jerman terlambat.
Mengapa? Ada yang mengatakan, meskipun bekerja di bawah rezim yang menggerakkan perang, para ilmuwan Jerman lebih mendengarkan suara hati nurani mereka. Mereka tak hendak membinasakan manusia dengan skala sedahsyat yang terjadi di Hiroshima. Dalam hal ini, menurut pandangan ini, mereka lebih baik secara moral ketimbang para ilmuwan nuklir Amerika.
Tapi tak ada bukti, Heisenberg sengaja memperlambat proses pembikinan bom atom Jerman karena hati nuraninya. Tak masuk akal ia rela tanah airnya dikalahkan. Ia juga tak memperlihatkan sesal bahwa ia telah ikut dalam sebuah usaha memproduksi sebuah senjata pemusnah massal.
Ia bukan Hahn. Ketika mendengar berita tentang bom di Hiroshima, Hahn (yang juga ditahan di Farm Hall) mengatakan, “Saya tak bisa tidur berhari-hari… sayalah yang harus disalahkan karena memungkinkan ‘bom atom’ hadir di dunia.”
Heisenberg—yang semula tak mau percaya Amerika berhasil—lebih tak murung. Ia beranggapan, bom atom di Hiroshima adalah “cara tercepat mengakhiri perang”.
Mungkin ia tak terusik karena orang Jepanglah yang hari itu tertimpa—bukan orang Jerman. Tapi mungkin juga tak demikian. Ilmuwan yang juga pemain piano yang bagus dan pembaca puisi Goethe tentang sufi Islam ini bukan orang yang pragmatis tanpa hati.
Bahwa keterlibatannya dengan desain kekuasaan Hitler sampai hari ini tak selesai diperdebatkan menunjukkan bahwa dalam sejarah pasca-Hiroshima, nilai-nilai ikut guncang. Makin tak mudah kita menilik dan menghakimi orang—terutama orang dengan kecemasannya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo