Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG tokoh legenda tak pernah bebas. Ia diraut dan diarahkan sebuah masa—dan terkadang dijungkirbalikkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para penulis tarikh tahu, sebuah zaman selalu sebuah periode dengan kekurangan. Legenda Damar Wulan yang dikenal di Jawa Timur dan Tengah tumbuh dari masa pasca-Majapahit di abad ke-14, ketika—seperti digambarkan para pujangga—“sirna ilang kertaning bumi”, tatkala ketenteraman musnah. Tak ada lagi pusat, tak ada lagi acuan; tak ada lagi kosmos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berabad-abad legenda itu beredar. Ketika saya di kelas lima sekolah dasar, guru saya berharap murid-muridnya bisa mementaskan satu petilan langendriyan, teater tembang dan tari. Ia gagal. Tapi ia sempat mengajarkan beberapa larik sinom yang masih 30% tersangkut di kepala saya:
Sun iki dutaning nåtå
Prabu Kênyå Måjåpahit
kêkasih Damarsasångkå
atmå mantuné ki patih
magang anyar wak mami….
(Aku utusan raja
Baginda Putri Majapahit
Aku disebut Damarsasangka
Anak menantu sang Patih,
Meskipun orang yang baru berguru)
Itu dari adegan lakon Damar Wulan, pemuda dusun yang tersembunyi di tengah intrik politik kerajaan Majapahit imajiner. Ratu mengetahui lelaki dahsyat yang tak dikenal itu melalui petunjuk para dewa.
Baginda pun menyuruh patihnya mencari.
Syahdan, pemuda itu tak lain adalah tukang sabit rumput yang jadi perawat kuda (pekathik) di kepatihan. Ia begitu tampan hingga Anjasmara, putri sang Patih, jatuh cinta.
Karier Damar Wulan melambung. Ia jadi menantu pembesar kerajaan itu. Kemudian ia diutus Ratu membunuh Menak Jingga, bupati Belambangan yang sakti yang memberontak Majapahit. Dengan “ilmu” panglemunan yang dipelajarinya ia bisa membuat dirinya tak terlihat.
Ia pun masuk ke istana Menak Jingga. Ia berhasil memikat sekaligus dua istri sang penguasa Belambangan. Dengan bantuan kedua perempuan itu ia mencuri gada kuning emas, senjata sakti musuh.
Dan tentu saja ia berhasil mengalahkannya.
Dan tentu saja cerita berakhir bahagia....
Di tahun 1885, pujangga keraton Rd. Ng. Selawinata menuliskan kisah ini, dengan restu Sultan Hamengku Buwono VII yang bertakhta di Yogyakarta. Versi ini kemudian juga dipentaskan di keraton Surakarta; saya tak tahu apakah ia berasal dari teks yang fragmennya diajarkan guru saya. Yang jelas: Serat Damarwulan, dikerjakan pada 1883, ketika kesultanan Yogya dirundung keributan politik sekitar posisi Pangeran Suryalengga dalam urutan takhta.
Tampaknya para pujangga istana di Jawa menjauhi cerita sebagai tragedi. Kita ingat, hikayat Ramayana di Indonesia berbeda dari versi yang dikenal di India: di sana, Sita yang direbut kembali suaminya, setelah perang besar mengalahkan Rahwana, lenyap dalam api pembakaran, ketika Rama meragukan kesetiaannya. Di Indonesia: Rama dan Sita berdua kembali.
Ramayana di sini sebuah melodrama: memikat tapi tak mengimajinasikan kerumitan watak dan nasib. Pusat-pusat kebudayaan Jawa sejak akhir Majapahit tampaknya dibayang-bayangi ketidakpastian dan apokalipse sejarah; legenda diproduksi untuk meredam itu.
Baru pada 1932, legenda Damar Wulan punya arah berbeda. Kita menemukannya dalam Sandhyakala Ning Majapahit, lakon Sanusi Pane.
Di sini Damar Wulan gelisah terhadap pertanyaan-pertanyaan filosofis apa guna manusia hidup, mengapa ia harus mati, apa pula yang disebut baik dan buruk. “Rahasia kehidupan, Anjasmara,” katanya kepada kekasihnya, “menyelimuti jiwaku senantiasa, seperti awan hitam dan muram.”
Tapi kemudian ia berubah. Majapahit terancam Menak Jingga, yang mendesak terus mengalahkan pasukan demi pasukan kerajaan. Damar Wulan mendapatkan petuah dewa agar bertindak. Wisnu menegurnya: “Kalau orang kelaparan, apakah yang lebih dulu engkau berikan? Berbicarakah engkau tentang budi?”
Sang pasifis pun jadi seorang aktivis. Ia berangkat perang sebagai senapati sebuah pasukan besar dan dengan siasat yang cerdik. Menak Jingga tewas.
Baginda Putri mengangkat Damar Wulan menjadi Ratu Angabaya.
Tapi dengan segera ia merisaukan banyak pihak: ia jadi seorang reformis, yang mengecam kehidupan beragama dalam masyarakat Hindu di zaman peralihan itu. “Agama sekarang penuh takhayul,” katanya. Para pendita mengelabui rakyat seakan-akan punya kekuatan yang dahsyat dan mengambil keuntungan dari kebodohan orang ramai. Padahal, menurut Damar Wulan, “Agama jalan melepaskan orang dari maya, membawa bahagia yang bersifat baka.”
Suara ini tak bersambut; terlalu “suci”, terlalu sendiri.
Para pendukung agama dan para bangsawan mendesak Ratu untuk menghukum mati Damar Wulan. Lakon pun ditutup dengan tanda-tanda keruntuhan Majapahit.
Dalam novel Layar Terkembang Takdir Alisjahbana mengecam Sandhyakala Ning Majapahit sebagai pembawa pesimisme yang bisa menular—tak sesuai dengan semangat modern yang membangun. Tapi, bagi saya, legenda Damar Wulan telah dijadikan Sanusi Pane (dalam lakon yang bertele-tele) tanda kekurangan zaman peralihan ke dunia modern. Daya kehidupan rohani tak terasa lagi, sementara kekuasaan—dan kekuatan fisik serta materi—tak membawa serta pencerahan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo