Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Moralitas Hitam-Putih dalam Film Kita

Mengapa film Indonesia acap melepaskan konteks sosial? Artikel ini ditulis bersama Vedi R. Hadiz, Direktur Asia Institute University of Melbourne

7 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ulasan pelbagai film bernuansa islami.

  • Soal moral dalam film-film islami Indonesia.

SEJAK milenium baru, muncul aneka film Indonesia bertema moralitas dengan tokoh islami. Meskipun tidak selalu menjadi cerminan realitas sosial, film bisa menjadi refleksi masyarakat memahami identitas keislaman yang sedang menanjak. Dengan demikian, film yang bergelut dengan moralitas bisa memberi indikator pemahaman masyarakat terhadap masalah sosial masa kini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tren baru film Indonesia islami adalah pemakaian plot yang berfokus pada pengalaman tokoh yang hidup di luar negeri. Plot device semacam ini berpotensi memotret ketegangan seseorang dalam menavigasi kehidupan keseharian yang sarat kontradiksi, hasil pertemuan antara moralitas yang sudah baku pada dirinya dan tantangan baru dalam perjalanan hidupnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu sumber kontradiksi adalah aspirasi kelas menengah, dengan gaya hidup konsumen modern yang tidak selalu konsisten dengan apa yang digambarkan sebagai moralitas islami. Film Indonesia sering kali menyelesaikan ketegangan itu melalui tokoh dengan pilihan moralitas absolut: baik-jahat, tradisional-modern, pahlawan-bajingan, sehingga mengabaikan nuansa kemanusiaan dan kompleksitas realitas sosial. Padahal ketegangan dalam masyarakat sendiri membatasi kemampuan seseorang mengambil pilihan hidup yang hitam-putih.

Di antara film sejenis itu, salah satu yang terbaru adalah Ali & Ratu-Ratu Queens. Ditayangkan di Netflix, film ini bercerita tentang perjalanan Ali ke New York, Amerika Serikat, untuk mencari Mia, ibunya, yang ingin menjadi penyanyi. Secara simpatik film ini menggambarkan pergulatan imigran Indonesia mengejar “The American Dream”. Namun karakter Mia dan para ratu Queens (“keluarga baru” Ali) terbangun melalui kontras dengan kesalehan keluarga ayah Ali. Bude yang berjilbab panjang, misalnya, kerap mengingatkan Ali agar tak makan daging babi, atau bertanya soal salat. Tanpa menjelajahi para tokoh menavigasi ketegangan pertemuan moralitas yang dibawanya dari Indonesia ke luar negeri dengan tantangan kehidupan baru, film berakhir bahagia: Bude yang awalnya menentang lalu memahami keputusan Ali tinggal di New York.

Film terbaru lain di Netflix adalah Layla Majnun, tentang percintaan Layla-Samir yang terjalin meski Layla terikat pertunangan dengan Ibnu. Film ini menyelesaikan ketegangan yang muncul dari bertemunya aspirasi mobilitas sosial dan religiositas Layla, juga percintaan terlarangnya dengan Samir (pria Azerbaijan), melalui kepahlawanan Layla-Samir dan potret Ibnu sebagai tokoh jahat.

Bekerja sebagai guru dan penulis novel, Layla mendapat kesempatan mengajar di Azerbaijan. Sebelum pergi, Layla menerima lamaran Ibnu, untuk membayar utang keluarganya. Ibnu digambarkan sebagai calon bupati yang serakah dan egoistis, sementara Samir sosok terpelajar, romantis, dan kerap menolong orang di sekelilingnya. Seperti contoh film sebelumnya, individu berwatak baik dan buruk cenderung muncul tanpa nuansa atau pijakan pada kompleksnya konteks sosial.

Pergulatan pribadi dengan moralitas sudah lama tampil di film Indonesia yang bernuansa islami. Misalnya dalam film Perempuan Berkalung Sorban pada 2009, yang menjadi unggulan festival film nasional. Tokoh utamanya, Anissa, anak seorang kiai, digambarkan sebagai tokoh cerdas dan berani. Ia mampu melawan nilai-nilai patriarki di lingkungan pesantren, meskipun mendapat penolakan dari ayah dan kakaknya, juga menjadi korban kekerasan dalam pernikahan pertamanya.

Di sini ketegangan antara moralitas yang dibakukan dan tantangan yang muncul dari aspirasi baru diselesaikan melalui kepahlawanan Anissa. Ia berhasil mempertahankan keislamannya sambil memperjuangkan emansipasi bagi perempuan. Sayangnya, kontradiksi emansipasi perempuan dengan tatanan moral konservatif tertentu kurang digali demi mencapai “happy ending”.

Tentu saja tidak semua film produk masyarakat mayoritas Islam menghindari kompleksitas kemanusiaan. Film-film Turki bisa kita ambil sebagai contoh. Film Clair Obscur bercerita tentang dua perempuan dengan latar belakang sosial yang berbeda, produk masyarakat modern Turki. Shenaz yang tampak liberal adalah psikiater. Dia berpenampilan glamor dan memiliki pacar tampan. Sementara itu, Elmas, remaja berkerudung berpenampilan bersahaja, terjebak dalam rutinitas pekerjaan domestik setelah dijodohkan dengan laki-laki lebih tua.

Keduanya bertemu ketika Shenaz merawat Elmas, yang menjadi tersangka pembunuhan ibu mertua dan suaminya. Pertemuan ini membuka kesadaran bahwa Shenaz, yang tampak lebih berdaya, tidak berbeda dengan Elmas, juga menghadapi norma-norma yang membatasi pencarian diri dan perilaku seksualnya. Walaupun berbeda kelas sosial, keduanya sama-sama hidup dalam masyarakat yang didominasi nilai-nilai patriarki dan tidak memberi banyak ruang untuk kepahlawanan perempuan sebagai individu.

Film Turki lain, serial pendek delapan episode, Ethos, bercerita tentang kehidupan berbagai tokoh dunia sosial berbeda: kelompok muslim yang kelas sosialnya lebih rendah dan mereka yang sekuler, berpendidikan Barat, dari kelas sosial lebih tinggi; tanpa menunjukkan bahwa kelompok yang satu secara inheren lebih baik daripada yang lain.

Meryem, tokoh sentral film ini, misalnya, adalah perempuan muda berpendidikan rendah dari keluarga muslim tradisional. Dia harus menemui Peri, seorang psikiater, karena ia sering pingsan ketika sedang bekerja. Peri yang bersekolah tinggi melihat Meryem sebagai produk budaya yang menindas perempuan, sehingga harus bergulat dengan bias personal agar tetap bisa bersikap profesional. Meryem ternyata memiliki cara tersendiri untuk menavigasi dunia sosialnya yang didominasi laki-laki, walaupun tidak bisa sebebas Peri.

Ia kerap memilih metode subversif dalam interaksi dengan figur laki-laki dominan: diam, mengganti subyek pembicaraan, atau berbohong. Tidak ada pahlawan juga di sini karena tidak ada solusi mudah bagi seperangkat dilema yang dihadapi para tokoh, yang bersumber dari ambiguitas moral yang melekat pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan.

Republik Islam Iran juga melahirkan film-film yang memotret ketegangan antara nilai yang dikaitkan dengan kehidupan saleh dan hasrat yang muncul di kalangan sebagian kelas menengahnya, terutama kaum muda. Misalnya About Elly, yang dirilis pada 2009 dan memenangi berbagai penghargaan nasional serta internasional.

Film ini bercerita tentang upaya Sepideh menjodohkan Elly (guru taman kanak-kanak tempat anak Sepideh bersekolah) dengan Ahmad (sepupu Sepideh yang baru pulang dari Jerman) dalam acara liburan antarteman lama. Ketegangan antara aspirasi kebebasan dan tuntutan berperilaku islami (versi negara) dalam diri para tokoh pelan-pelan terkuak ketika Elly menghilang saat menyelamatkan seorang anak yang berenang di pantai.

Ternyata Sepideh menutupi satu fakta bahwa ia harus susah payah membujuk Elly ikut dalam acara liburan, karena Elly sudah bertunangan dengan Alireza, meskipun sedang menimbang untuk memutuskan hubungan. Tekanan masyarakat mendorong kebohongan demi kebohongan, termasuk untuk menutupi sifat hubungan antartokoh yang kurang bisa diterima dalam tatanan moral resmi. Film ini tak menampilkan tindakan kepahlawanan individu yang memberikan solusi gampang bagi para tokohnya.

Melalui Clair Obscur dan Ethos, juga About Elly yang berkelas festival, kita belajar tentang keterbatasan pilihan individu yang hidup dalam konteks masyarakat. Kita juga belajar bahwa tidak ada individu yang lebih baik karena mereka berasal dari kelompok sosial yang secara inheren lebih baik. Tokoh-tokoh yang berasal dari kelompok berbeda (atas, bawah, sekuler, Islam) menghadapi dilema yang bersumber dari ketegangan dalam masyarakat (yang sedang berubah) dan yang memberi peluang sekaligus membatasi pilihan hidup individu.

Dalam film Indonesia, tokoh-tokoh bermoral absolut secara implisit justru menegaskan ketidaksesuaian antara moralitas islami dan dunia modern, meskipun ada usaha sutradara menampilkan tokoh yang sekaligus bermoral islami dan modern. Tantangan baru dunia modern tetap menjadi sumber ancaman terhadap moralitas baku, meskipun sekaligus menawarkan berbagai hal yang menggiurkan.

Solusi mudah sebagai jalan keluar problem ini dalam film Indonesia adalah keberhasilan tokoh utama dalam mengatasi ketegangan tersebut, tapi dengan cara yang mengabaikan konteks sosial yang penuh kontradiksi internal. Fokus pada kepahlawanan individu kurang mendorong penonton untuk menjelajahi sumber-sumber ketegangan dalam masyarakat Indonesia yang sedang berubah. Akibatnya, penonton kerap melupakan bahwa pergulatan individu adalah bagian dari pergulatan masyarakat.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus