Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPK menelisik dugaan korupsi proyek penyaluran bantuan sosial beras untuk keluarga miskin.
Hampir separuh bantuan yang disalurkan perusahaan subkontraktor diduga fiktif.
Pejabat Kementerian Sosial juga diduga meminta jatah untuk setiap kilogram beras bantuan.
CERITA penggarongan bantuan sosial jatah rakyat yang terimpit dampak Covid-19 belum usai. Setelah pengadilan menghukum bekas Menteri Sosial, Juliari Batubara, 12 tahun penjara, terendus kembali dugaan korupsi bantuan untuk orang miskin lewat Kementerian Sosial pada 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Sosial meluncurkan bantuan beras secara bertahap pada tahun lalu. Targetnya 10 juta keluarga miskin peserta Program Keluarga Harapan. Untuk menyalurkan bantuan, Kementerian antara lain menunjuk PT Bhanda Ghara Reksa. Badan usaha milik negara yang bergerak di bidang logistik ini ditugasi menyalurkan 4,6 juta paket bantuan senilai Rp 326 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, PT Bhanda tak sendirian menyalurkan semua paket bantuan beras itu. Mereka menunjuk perusahaan lain, PT Primalayan Teknologi Persada, sebagai subkontraktor. PT Primalayan, yang berdiri pada 2018, mendapat kontrak senilai Rp 156 miliar sebagai pendamping, pengurus administrasi, dan pengawas penyaluran beras.
Pada Februari lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi menerima laporan bahwa PT Primalayan tak melaksanakan kewajibannya. Diduga kuat penunjukan subkontraktor proyek ini hanya akal-akalan untuk menggangsir anggaran. Andai saja KPK belum dikebiri, kita masih bisa berharap kasus ini diusut tuntas.
Kasus ini kembali menunjukkan betapa amburadulnya penyaluran bantuan di masa pandemi. Penunjukan BUMN—yang seharusnya tidak melulu mencari untung dalam menjalankan program pemerintah—justru membuktikan hal yang lebih buruk. PT Bhanda tak hanya mencari keuntungan, tapi patut diduga “menggelapkan” hampir separuh bantuan.
Kementerian Sosial seharusnya lebih berhati-hati ketika menunjuk PT Bhanda. Rekam jejak perusahaan pelat merah ini berlepotan dengan kasus korupsi. KPK, Kejaksaan Agung, dan kejaksaan di daerah telah berkali-kali membongkar korupsi penyaluran pupuk bersubsidi oleh perusahaan ini. Pembubaran PT Bhanda oleh Presiden Joko Widodo pada pekan lalu mengkonfirmasi acakadutnya perusahaan tersebut.
Penunjukan PT Primalayan sebagai subkontraktor pada Agustus tahun lalu pun sarat kejanggalan. Aturannya, perusahaan rekanan harus pernah menyediakan barang dan jasa yang sejenis di instansi pemerintah. Selain itu, perusahaan mitra harus punya kapasitas finansial yang memadai. Faktanya, PT Primalayan mendapatkan kontrak yang nilainya sekitar 500 kali lipat dari modal awal perusahaan. Yang tak kalah aneh, negosiasi dan penunjukan PT Primalayan pun mendahului kontrak PT Bhanda dengan Kementerian Sosial.
Penelusuran majalah ini menemukan jejak mantan petinggi Kementerian Sosial dalam kongkalikong penyaluran bantuan beras. Kasus ini menjadi mirip dengan korupsi bantuan sosial yang menjerat Juliari Batubara. Boleh jadi uang korupsi bantuan beras ini pun mengalir kepada pejabat atau politikus kuat lain.
Dengan kejanggalan yang demikian telanjang, KPK seharusnya tidak sulit membongkar kasus ini. KPK juga semestinya menyeret semua pelaku yang terlibat, bukan hanya pengurus PT Bhanda dan Primalayan, tapi juga orang kuat di Kementerian Sosial.
Namun, seperti dalam kasus korupsi bansos yang menjerat Juliari, KPK terbukti tak bernyali menjerat aktor kuat lain. Padahal kesaksian pelaku dan bukti-bukti menunjukkan bahwa Juliari tak memakan sendiri fulus hasil korupsi. Ada indikasi kuat beberapa politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memakai duit haram itu untuk pemenangan pemilihan sejumlah daerah. Tapi hingga saat ini mereka tak tersentuh tangan hukum.
Apa boleh buat, setelah dilemahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Jokowi, KPK makin sulit diharapkan membongkar kasus korupsi bantuan sosial yang melibatkan orang besar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo