Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kepala daerah kerap terlibat mafia tanah yang berujung hilangnya aset negara.
Pemerintah daerah dan lembaga negara tak maksimal mengelola aset negara.
Peran instansi pengelolaan aset negara masih belum maksimal.
PENYELEWENGAN dalam pembebasan lahan sekolah dasar negeri di Bekasi, Jawa Barat, untuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung menjadi bukti buruknya pencatatan aset negara. Alih-alih menjaga aset itu dengan baik, pejabat Pemerintah Kota Bekasi malah bermain mata dengan mafia tanah. Akibatnya, uang ganti rugi untuk sekolah justru berpindah ke pihak lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Permufakatan jahat terjadi dalam pembebasan sebagian lahan SD Negeri Jakasetia III, Bekasi Selatan, pada 2019. Rencananya, lintasan kereta akan melewati lahan seluas 584 meter persegi milik sekolah itu. Mendadak, seorang warga Bekasi, Muhammad Sukroni, menggugat lahan sekolah yang sudah berdiri puluhan tahun itu. Pengadilan Negeri Bekasi pun mengabulkan gugatan Sukroni yang meminta kompensasi senilai Rp 8,1 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peran janggal pejabat pemerintah kota tersingkap setelah ada putusan pengadilan. Kala itu, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi meminta PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) membayarkan ganti rugi kepada Sukroni, bukan kepada pihak sekolah. Padahal putusan pengadilan negeri belum berkekuatan hukum tetap karena kasusnya berlanjut ke tingkat banding.
Aparat penegak hukum seharusnya segera mengusut peran Rahmat dalam perkara mafia tanah ini. Wali kota nonaktif itu kini tengah meringkuk di terungku Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus rasuah. Pengusutan kasus mafia tanah di Kota Bekasi ini penting agar menjadi contoh bagi kepala daerah lain supaya tak serampangan mengelola aset negara.
Peran bupati dan wali kota kerap menonjol dalam perkara sengketa tanah. Selama ini, paham feodalistik masih kental di sebagian kepala daerah. Mereka memposisikan diri sebagai “raja-raja” lokal yang bisa bertindak semaunya terhadap aset negara. Sejak 2014, setidaknya ada empat bupati yang disangka menjual lahan negara. Kasus paling mutakhir, Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur menahan Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch. Dula pada Januari 2021 karena menjual 30 hektare tanah negara di Labuan Bajo.
Pada akhir tahun lalu, pemerintah pusat mengumumkan aset tetap milik negara—sebagian besar berupa tanah—yang nilainya sekitar Rp 6.585 triliun. Meski bernilai besar, aset tetap itu tidak semuanya aman. Pemerintah pusat tengah pusing karena banyak aset negara yang berpindah tangan setiap tahun. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan ada peran mafia tanah di balik kehilangan itu. Contoh yang paling fenomenal, negara kehilangan aset berupa lahan Hotel Hilton, Senayan, dan lahan di Kemayoran, Jakarta Pusat.
Selain karena permufakatan jahat, aset negara begitu mudah berpindah tangan karena pencatatan yang buruk oleh pemerintah. Tanah negara banyak yang dibiarkan menganggur. Seiring dengan waktu, kawasan itu dikuasai dan diklaim masyarakat dan swasta. Ujungnya, negara harus membayar ganti rugi untuk tanah milik sendiri. Modus itulah yang kerap ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan ketika mengaudit pengelolaan aset negara.
Indonesia sebenarnya sudah memiliki regulasi yang cukup lengkap untuk menata semua aset negara. Kementerian Keuangan harus memaksimalkan peran Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dan Lembaga Manajemen Aset Negara. Pemerintah daerah juga harus segera berbenah. Bila tidak, aset negara akan terus menjadi bancakan mafia tanah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo