Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Makna kata “asli” terkadang kabur, tidak tegas benar.
Ada banyak kata lain yang kadang bermakna kabur.
Pada saat artinya mulai agak jelas, menyembul dari sana pertanyaan-pertanyaan baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMPLEKS niaga di dekat rumah saya—pengembang menamainya Marrakash Square—setiap hari, pagi dan sore, menjadi gelanggang tempat warga perumahan sederhana di sekitarnya, termasuk saya tentu saja, mencari keringat. Entah berjalan kaki, joging, entah bersepeda di jalur jalan yang memutar. Sementara itu, alun-alun di tengah biasanya diisi beberapa gerombol manusia. Ada anak-anak bermain bola, remaja berlatih pencak silat atau baris-berbaris, atau ibu-ibu yang bersemangat senam aerobik diiringi suara musik berisik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir setiap pagi saya jalan santai mengitar di sana sampai tiga-empat putaran. Aktivitas ini memakan waktu kurang-lebih 15 menit, cukup membuat tubuh kuyup berkeringat.
Sering, sembari berjalan beriringan dengan beberapa kenalan sepantar di bawah sorot matahari pagi, ada saja yang iseng bertanya kepada saya, “Bapak aslinya mana?”
Karena sudah sering mendapat pertanyaan serupa, jawaban saya nyaris klise. Selalu dimulai juga dengan pertanyaan, “Asli itu maksudnya apa, ya?” Mudah diterka dari bahasa tubuhnya, si penanya tampak kelimpungan.
Belum hilang bingungnya, segera saya susulkan beruntun pernyataan demi pernyataan. Saya katakan, ibu saya dari Yogya, bapak saya dari Pemalang. Tapi saya, yang lahir di Tarempa, Riau kepulauan, dan besar di Jakarta, tidak dapat berbahasa Jawa. Setelah menikah, saya tinggal di wilayah Bekasi, sampai sekarang. “Nah,” saya tutup dengan pertanyaan lagi, “saya asli mana kalau begitu?”
Lawan bicara saya tertegun sebentar, sebelum menjawab pendek, “O, artinya Bapak asli Jawa.” Sorot matahari pagi seketika terasa lebih tajam menggigiti kulit. Dan saya mendadak kehilangan selera melanjutkan percakapan.
Begitulah. Makna kata asli terkadang kabur, tidak tegas benar. Ini tentu tidak hanya kita lihat pada kata yang kebetulan punya arti lebih dari satu ini. Sebenarnyalah ada banyak kata tampak seperti sengaja mengelak dari usaha kita merumuskannya agar menjadi lebih bening, terang-benderang. Terkadang kabur, sebab bisa terjadi, justru pada saat artinya mulai agak jelas, menyembul dari sana pertanyaan (-pertanyaan) baru.
Apabila yang dimaksud asli oleh teman jalan pagi saya tadi adalah daerah atau tempat asal, jelas saya berasal tidak dari Jawa. Ia saya kira bukan tidak paham akan fakta sebening itu, bahwa kedua orang tua sayalah yang asli Jawa, lahir di atau berasal dari Jawa. Ia hanya sudah dikecoh, dikelirukan oleh kebingungannya sendiri. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah benar ibu dan/atau bapak saya asli Jawa (baca: pribumi)? Bagaimana bila generasi kesekian moyang kami adalah pendatang di bumi Nusantara, kakek buyut saya dari tanah Madagaskar dan nenek canggah saya dari dataran Mongolia, misalnya?
Asli di situ cenderung menempel pada murni, tulen. Kita ingat ada madu asli di samping ada pula susu murni atau lelaki tulen. Yang kita lihat di sini, asli menegaskan identitas diri sendiri sambil menolak unsur luar dirinya. Tak ada campuran. Tapi pada saat yang sama, ini paradoksal, peneraan semacam stempel asli pada sesuatu malah kerap menerbitkan sangsi.
Maka apabila asli yang dimaksud adalah pribumi, bukan peranakan, ini pastilah lebih bermasalah.
Sebelum pindah ke kediaman sendiri di daerah dekat Marrakash Square, saya tinggal di rumah kontrakan di perumahan yang letaknya bersebelahan. Pada hari-hari rusuh 1998, suatu siang ketika kekacauan mulai menjalari daerah kami—deretan rumah toko dan kompleks perumahan kami hanya berjarak tak sampai seratus meter—beberapa tetangga meminjam sajadah kepada kami untuk disampirkan di pintu pagar depan rumah. Sementara itu, dinding depan rumah ditulisi “ASLI/PRIBUMI” dengan cat semprot. Kedua benda itu, sajadah dan grafiti, mereka perlakukan sebagai semacam jimat dan larik doa. Seolah-olah dengan itu mereka luput dari amuk massa yang bengis.
Kerusuhan keji itu, kemudian kita tahu, meledak di banyak daerah dengan derajat berbeda-beda. Berlangsung sampai berhari-hari, aparat keamanan seperti lumpuh tak bergerak. Skala eskalasinya yang seperti menuruti sebuah skenario sangat rapi telah berhasil mendesak Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Ini bagian yang sangat ganjil dari kisah itu. Kelompok penyerbu atau penyerang adalah mereka yang dengan congkak berkeras mengaku asli/pribumi, sedangkan sasaran atau korban mereka adalah golongan bukan asli, nonpribumi/peranakan.
Lihatlah, asli tidak hanya menerbitkan sangsi, tapi juga biadab, dalam penghadap-hadapannya dengan yang bukan asli.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo