Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kata “wisuda” mengalami pemekaran arti.
KBBI sudah membatasi makna “wisuda” hanya untuk pelantikan atau peresmian sarjana baru.
Namun lembaga tinggi negara dan lembaga pendidikan selain perguruan tinggi menggunakan kata “wisuda” dalam berbagai acara mereka.
ISTILAH wisuda sekarang tidak lagi menjadi monopoli perguruan tinggi. Banyak pihak menggunakan “wisuda” dalam berbagai acara yang digelar mereka. Tentu saja “wisuda” mengalami pemekaran arti. Menyesuaikan si penggelar acara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai contoh, saya nukilkan berita di situs Mahkamah Agung RI: “Pada hari Kamis, tanggal 16 Juni 2022 Mahkamah Agung RI melaksanakan kegiatan wisuda purnabakti bagi para pimpinan, hakim agung, dan hakim ad hoc pada Mahkamah Agung RI.” Di situs yang sama saya menemukan bahwa istilah itu juga dipakai di lingkungan pengadilan tinggi: “Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya Zaid Umar, S.H., M.H., menjalani Wisuda Purnabakti pada Kamis, 30 Juni 2022.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebenarnya untuk acara seperti itu cukup menggunakan kata “purnabakti”. Sebab, faktanya, Mahkamah Agung memang mengadakan acara khusus bagi pimpinan, hakim agung, dan hakim ad hoc yang pensiun alias berakhir masa baktinya (sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI).
Penambahan kata “wisuda” di depan purnabakti justru membuat rancu. Lema “wisuda” dalam KBBI Edisi V punya arti berkebalikan dengan berita dari situs Mahkamah Agung itu. KBBI mengartikan “wisuda” sebagai peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara khidmat. Pelantikan atau peresmian selalu terkait dengan sesuatu yang baru. Misalnya pelantikan pejabat baru dan/atau peresmian gedung baru.
Sementara itu, meski sama-sama dilakukan secara khidmat, “wisuda” yang dilakukan Mahkamah Agung nyatanya bukan untuk melantik atau meresmikan pimpinan dan hakim baru, melainkan untuk hal sebaliknya, yakni upacara menandai pensiunnya pimpinan dan hakim.
Selain itu, secara tidak langsung sebenarnya KBBI sudah membatasi makna kata “wisuda” hanya untuk pelantikan/peresmian sarjana baru. Itu bisa dilihat dari contoh penggunaan kata “wisuda” dalam kalimat di KBBI: Para sarjana yg baru lulus menghadiri acara wisuda bersama orang tua mereka. Contoh kalimat di lema “mewisuda” malah mempertegas pengkhususan penggunaan kata “wisuda” hanya untuk kalangan sarjana: Menteri Dalam Negeri Rabu pagi mewisuda 47 orang sarjana muda lulusan akademi itu.
Mahkamah Agung ternyata tidak sendirian. Mulai banyak lembaga pendidikan di luar perguruan tinggi (dari pendidikan anak usia dini, taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, hingga sekolah menengah atas) ikut-ikutan mengembangkan arti “wisuda”. Setiap tahun mereka menggelar “wisuda” bagi para siswa yang menamatkan sekolah.
Beberapa waktu lalu, saya sempat kecele dan tersipu malu. Saat itu, seorang teman mengirim pesan pendek ke telepon seluler saya. Dia mengabarkan bahwa anaknya baru saja menjalani upacara wisuda.
Saking girangnya, saya langsung menjawab kabar gembira itu dengan memberi ucapan selamat. Tanpa menunggu respons balik dari dia, saya susuli dengan pertanyaan berikutnya, “Oh ya, anakmu ambil prodi apa?”
“Maaf, Mas. Anakku baru lulus dari taman kanak-kanak, bukan tamat dari perguruan tinggi,” demikian jawaban teman saya. Guna meyakinkan saya, dia mengirim foto anaknya yang masih balita mengenakan toga—layaknya mahasiswa yang sedang diwisuda.
“Wisuda” yang digelar sekolah lebih mentereng. Sementara perguruan tinggi menggelar wisuda cukup di kampusnya, banyak sekolah menyewa hall hotel untuk acara “wisuda”. Fenomena itu membuat kata “wisuda” mengalami gegar sampai dua kali, yakni gegar makna sekaligus gegar sosial. Untuk gegar yang terakhir, banyak orang tua mengeluhkan biaya yang harus ditanggung buat acara “wisuda” anak mereka. Biaya “wisuda” untuk siswa lebih mahal daripada mahasiswa. “Wisuda anak TK lebih mahal daripada S-1,” ujar seorang teman dalam obrolan di Twitter seraya merinci biaya yang harus dibayar oleh keponakannya saat “wisuda” TK, yakni, antara lain, untuk sewa toga atau kostum wisuda, ongkos makeup, dan biaya event organizer.
Bahasa memang dinamis. Mahkamah Agung sudah telanjur menggunakan “wisuda purnabakti” untuk anggotanya yang pensiun. Sekolah-sekolah juga menggelar “wisuda” untuk siswa mereka yang tamat pendidikan. Tinggal mencari gelar yang cocok untuk peserta “wisuda”-nya. Selama ini, kita menyebut mahasiswa yang diwisuda dengan sarjana. Akankah siswa yang diwisuda diberi gelar sarjini dan orang yang mengikuti “wisuda” purnabakti kita gelari sarjono?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo