Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI suatu hari di bulan Maret 2009 pagi, saya melangkah keluar pintu Albrecht Dürer Haus di kota Nurnberg. Hari itu sebuah tanggal yang tak penting, tapi seraya menyusuri bagian tua kota, saya merasa memasuki beberapa gerbang sejarah. Tak seluruhnya terang, tapi tak seluruhnya ganjil.
Agak di utara, menara gempal Keiserburg menyusup di lanskap langit. Istana itu dibangun pada 1140, untuk mengekalkan kejayaan para raja yang datang dan pergi—bangunan yang sudah tegak sebelum di Indonesia ada Majapahit.
Dari masa lalu yang jauh itu, saya datang ke abad 20. Sekitar 5 km dari sana di Bayer Straße berdiri Dokumentationszentrum, Pusat Dokumentasi Partai Nazi. Letaknya di sayap utara Kongresshalle, balai warna batu yang mirip Koleseum Romawi; 39 meter tingginya dan 250 meter diameternya. Di sana-lah Hitler dulu hendak memamerkan wajah sebuah rezim yang ia kira akan bertahan 1.000 tahun.
Tapi kita tahu tak ada yang bertahan dari hari-hari megalomania itu. Tempat itu bagian dari ruang seluas 11 kilometer persegi yang dulu dipakai buat menampung 50 ribu orang—anggota Partai yang membawa kehancuran Jerman dan akhirnya mati terkutuk di tahun 1945. Yang kini ada cuma sisa yang tak selesai. Tak ada lagi gemuruh Jerman di sekitar Perang Dunia II. Tak ada rapat akbar Partai Nazi yang direkam dalam film dokumenter terkenal tahun 1946, Triumph des Willens. Semua teduh, seirama danau Dutzenteich yang dingin.
Sejarah, di Nurnberg, membuka luka. Sejarah, di Nurnberg, juga menutupnya.
Sekitar tiga kilometer ke selatan, saya sampai di Fürther Straße, dan berdiri di depan Justizpalast. Bangunan dari awal abad 20 ini—dan disebut sebagai “Istana Keadilan”—akhirnya menandai satu bab penting dalam sejarah kekalahan Jerman di pertengahan abad yang lalu itu. Seperti dihidupkan kembali dalam film Judgment at Nurenberg, di kamar nomor 600 Justizpalast 24 orang tokoh Nazi dihadapkan ke mahkamah internasional atas tuduhan melakukan kejahatan perang . Dari tahun 1945-1946, satu demi satu hukuman dijatuhkan. Dua belas orang di antaranya digantung sampai mati.
Sejarah tampak ingin menutup luka. Seperti hendak menghapus trauma, masa lalu meminta maaf.
Saya, dan banyak orang dari luar Jerman, ingin bertanya sebenarnya: dengan atau tanpa maaf, pantaskah ke-24 orang dari masa lalu itu dihukum? Haruskah mereka dianggap bertanggung jawab, padahal mereka hanya instrumen yang patuh menjalankan titah Hitler? Dan jika kejahatan utama Nazi adalah membantai 6 juta orang Yahudi yang tak bersalah, tidakkah pembantaian itu sebuah pengulangan kebencian yang lebih tua?
Di tahun 1298 semua orang Yahudi di Nurnberg dituduh mengotori hosti di gereja. Hampir 700 orang dibunuh. Di tahun 1349 mereka diusir. Atau dibakar hidup-hidup.
Enam abad kemudian, kekejaman itu berulang.
Tidakkah itu akhirnya menandai sebuah dosa kolektif? Dilakukan berulang kali dari generasi ke generasi, tidakkah itu bisa dianggap ciri hitam Jerman, setidaknya di wilayah Bavaria? Bisakah kita mengatakan Holocaust berasal dari orang-orang yang digantung itu?
Tak mudah menjawab. Tampaknya tak mudah masa lalu minta maaf. Masa lalu adalah “subyek” yang tak tunggal, tak pernah satu—sebagaimana juga bangsa atau negara yang disebut “Jerman”. Orang dan negara Jerman di masa Hitler tak sama dengan orang dan negara Jerman di masa Willy Brandt atau Olaf Scholz. Ketika di tahun 1946 Karl Jaspers menulis, dalam Die Schuldfrage, bahwa tiap orang bertanggungjawab atas cara bagaimana dia diatur (regiert), filosof itu mungkin luput melihat, bahwa orang baru layak didakwa melakukan “kesalahan politik” itu jika ia bebas memilih siapa yang memerintahnya.
Di Indonesia, di suatu hari bulan Januari 2023, kita juga diingatkan pembantaian yang lain—yang lebih dekat—di tahun 1965-1966.
Syahdan, di pertengahan tahun 1960-an itu diperkirakan puluhan, mungkin ratusan, ribu orang dibunuh. Saya—yang di masa itu tak menyaksikan sendiri peristiwanya (saya sedang bersekolah di Eropa)—tak akan mudah mengatakan siapakah yang bersalah, siapa yang harus dihukum, siapa yang harus menyesal dan minta maaf. Betapa lebih sulitnya bagi orang Indonesia yang waktu itu belum lahir…
“Masa lalu adalah sebuah negeri asing”—itu kalimat David Lowenthal yang jadi judul bukunya yang terbit di tahun 1985. Dalam The Past is a Foreign Country, Lowenthal menunjukkan bahwa masa lalu sesungguhnya tak dikenal. Masyarakat hanya meraba-rabanya, membentuknya, dan menggunakan atau menyalah-gunakannya berdasarkan dorongan menyintas. Bahkan masyarakat memilih sendiri masa lalu yang perlu dikenangnya. Kenapa 1965, kenapa bukan 1948? Atau 1984?
Di Albrecht Dürer Haus, saya lihat “Melancolia I”, sebuah intaglio karya perupa termasyhur itu: gambar seorang bidadari bersayap besar yang terduduk di sudut remang-remang. Wajahnya murung, tangan kirinya menyangga kepalanya yang dihiasi laurel. Di sekitarnya ada jam pasir, timbangan, alat pengukur, obeng, rautan—perkakas produksi.
Saya coba tafsirkan: sosok yang penuh teka-teki ini tampak sedih dan bingung; ada yang ia belum mampu kerjakan, sementara di kejauhan, di langit, cahaya tampak bergegas—imbauan masa depan.
Gambar itu jangan-jangan berpesan: masa depan lebih perlu ditatap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo