Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AMBISI pemerintah mengejar target nol emisi makin jauh panggang dari api. Alih-alih menaikkan, pemerintah malah menurunkan target bauran energi baru dan terbarukan dari 23 persen menjadi 17-19 persen pada 2025. Padahal energi terbarukan merupakan salah satu kunci penurunan emisi gas rumah kaca untuk mencapai target nol emisi bersih (net-zero emission) pada 2060.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana pemangkasan itu tertuang dalam draf revisi Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional yang sedang dibahas Dewan Energi Nasional. Meski masih berupa rancangan, niat mengurangi porsi energi bersih itu melenceng dari gembar-gembor pemerintah memasuki fase baru bisnis hijau melalui dekarbonisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penurunan target bauran energi terbarukan juga bertentangan dengan janji pemerintah kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam Konferensi Iklim Ke-27 (COP27) di Mesir pada 2022, pemerintah menaikkan target pengurangan emisi dari 29 persen menjadi 31,89 persen dari perkiraan produksi emisi 2030 sebanyak 2,87 miliar ton setara CO₂ dengan usaha sendiri.
Inkonsistensi pemerintah dalam mitigasi iklim melalui ekonomi itu makin jomplang dengan upaya-upaya pihak swasta dalam mengurangi emisi mereka. Industri kemasan, misalnya, mencoba mengurangi sampah dengan membuat program tarik, kumpul, dan daur ulang kemasan produk mereka. Mereka juga mengganti kendaraan operasional dengan mobil dan sepeda motor listrik serta memasang panel surya di pabrik meski terbentur izin yang berbelit dari PT Perusahaan Listrik Negara.
Survei PricewaterhouseCoopers terhadap 4.700 pemimpin perusahaan yang hasilnya dirilis pekan lalu menunjukkan 45 persen responden menganggap bisnis mereka akan mati sepuluh tahun ke depan jika menjalankan model bisnis seperti sekarang. Mereka tak punya pilihan selain beralih ke "bisnis hijau" dan mengikuti tata cara mitigasi iklim. Apalagi portofolio hijau menjadi syarat utama operasi korporasi.
Agaknya tekad industri dalam upaya dekarbonisasi itu tak bersambut di pemerintahan. Para pejabat paham kebijakan yang lebih ramah lingkungan tak bisa ditawar, tapi terbentur oleh kepentingan politik kroni yang masih belum beranjak dari ekstraksi sumber daya alam. Program-program pemerintahan Joko Widodo mengutamakan pengerukan tambang mineral, yang bertentangan dengan mitigasi iklim.
Kebijakan perdagangan karbon, yang seharusnya menjadi peluang ekonomi besar, tak kunjung dieksekusi untuk membuka kesempatan pekerjaan dan sumber ekonomi baru. Studi Center of Economic and Law Studies dan Greenpeace tahun lalu menunjukkan potensi bisnis dekarbonisasi melalui transisi energi dan ekonomi sirkular mencapai Rp 2.943 triliun dan 17 juta lapangan pekerjaan.
Baca liputannya:
Pemanfaatan peluang besar ini juga tak terlihat dalam visi dan misi calon presiden yang sedang berkampanye. Debat pertama calon wakil presiden bahkan tak menyinggung sama sekali strategi ekonomi hijau. Hanya calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka yang sempat menyinggung teknologi penangkap karbon, yang mahal dan belum terbukti efektif.
Jika pemerintahan sekarang dan para pemimpin selanjutnya tak menaruh fokus pada dekarbonisasi, Indonesia akan kehilangan peluang besar dan makin tertinggal oleh negara-negara lain yang sudah lama bersiap memasuki fase baru ekonomi hijau.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Buyarnya Mimpi Rendah Emisi"