Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Badai PHK di Depan Mata

Gejolak ekonomi global membuat sekitar satu juta buruh di industri tekstil dan alas kaki terancam dipecat. Pemerintah harus turun tangan mencegah keresahan buruh meluas.

13 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SINYAL bahaya datang dari industri garmen dan alas kaki pada kuartal terakhir tahun ini. Nilai ekspor pakaian dan sepatu yang selama ini menopang industri itu terus melorot. Diprediksi tak kurang dari satu juta buruh bakal kehilangan pekerjaan. Jika tak diantisipasi dengan baik, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di industri tekstil ini bakal memicu guncangan sosial tepat ketika Indonesia memasuki tahun politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kondisi muram itu sebenarnya sudah bisa terbaca dari sejumlah angka proyeksi sejak awal semester kedua tahun ini. Inflasi tinggi di Eropa dan Amerika Serikat membuat pelaku usaha di kedua kawasan tersebut mengerem laju produksi, termasuk pakaian dan alas kaki. Permintaan ekspor untuk pabrik-pabrik pakaian di Indonesia sudah mulai melambat pada kuartal kedua 2022. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan pertumbuhan industri tekstil dan produk tekstil menurun jadi 1,64 persen pada kuartal II 2022 dan menjadi minus 0,92 persen pada kuartal berikutnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengingat setiap pesanan pakaian umumnya dikerjakan selama tiga-enam bulan, maka anjloknya permintaan pasar global baru terasa dampaknya pada akhir tahun ini atau awal tahun depan. Ketika itulah perusahaan-perusahaan harus memutuskan pengencangan ikat pinggang alias mengurangi biaya produksi. Pemutusan hubungan kerja para buruh pasti jadi opsi utama mereka. Nasib para pekerja ini di ujung tanduk karena Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 memperbolehkan PHK sepihak tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan industrial. Kompensasinya pun lebih rendah dari aturan sebelumnya. Undang-undang ini masih berlaku hingga tahun depan meski Mahkamah Konstitusi telah menyatakannya “inkonstitusional bersyarat”.

Dari 6,2 juta buruh yang bekerja di sektor tekstil dan sepatu di Indonesia, sampai Oktober 2022, dilaporkan sudah lebih dari 100 ribu diberhentikan dari pekerjaannya. Asosiasi Pengusaha Indonesia menyatakan ada 17 perusahaan anggotanya yang terpaksa memberhentikan sekitar 70 ribu pekerja. Jika resesi global tak kunjung mereda, Asosiasi Pertekstilan serta Asosiasi Persepatuan Indonesia memperkirakan tak kurang dari 1 juta buruh terancam di-PHK. Kondisi ini diprediksi bakal terjadi di bulan-bulan awal tahun depan.

Pemerintah tak punya banyak pilihan. Kementerian Koordinator Perekonomian harus mengorkestrasi semua kementerian agar segera meluncurkan kebijakan ekonomi yang tepat di masa genting ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah menyarankan fokus belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada kuartal terakhir tahun ini banyak digeser ke pos bantuan sosial. Ruang fiskal untuk itu terbuka lebar karena serapan anggaran sampai akhir September baru sekitar 60 persen. Artinya, di sisa dua bulan tahun ini, pemerintah masih punya Rp 1.200 triliun yang bisa dibelanjakan.

Selain memberikan bantuan sosial, seperti pernah dilakukan di masa-masa krisis ekonomi lampau, pemerintah bisa mengalokasikan anggaran untuk proyek padat karya. Pembangunan jalan, jembatan, dan infrastruktur penting lain di daerah yang membutuhkan bisa menampung limpahan buruh yang kehilangan pekerjaan di sektor industri tekstil.

Tak ada gunanya pemerintah memuji diri sendiri dengan berbagai statistik yang membandingkan kondisi ekonomi Indonesia dengan negara lain, yang saat ini juga kerepotan mengatasi ancaman resesi. Setiap negara punya tantangannya sendiri dan Indonesia tak terkecuali. Ada bahaya jika data perbandingan yang tak sepenuhnya akurat itu terus disebarluaskan tanpa konteks yang memadai. Publik bisa dininabobokan oleh perasaan aman yang semu dan terlambat mengambil langkah antisipasi demi keselamatan ekonomi mereka sendiri.

Dalam pertemuan tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) di Bali, empat tahun lalu, Presiden Joko Widodo pernah mengingatkan pemimpin dunia bahwa “winter is coming”. Turbulensi ekonomi dan politik dunia sejak itu bukannya mereda, tapi justru kian bergejolak. Di tengah perhelatan G20 di Bali, Jokowi perlu kembali mengingatkan dirinya sendiri bahwa musim dingin itu kini benar-benar telah tiba di negeri kita.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus