Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gagasan penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden bertentangan dengan demokrasi, konstitusi, dan cita-cita Reformasi.
Esensi demokrasi adalah pembatasan kekuasaan melalui pemilihan umum yang reguler.
Penundaan pemilu malah bisa membuka pintu bagi kudeta militer.
ISU penundaan Pemilu 2024 kembali mengemuka. Rencana penundaan pemilihan umum disampaikan para petinggi partai politik koalisi pemerintah. Pernyataan mereka tak bisa dipandang sebelah mata karena disampaikan secara terbuka kepada masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Samuel Huntington, dalam The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, mendefinisikan demokrasi sebagai sistem politik yang menyiratkan adanya kebebasan sipil dan politik serta menyediakan pemilihan yang adil, jujur, dan berkala untuk memilih para pengambil keputusan. Adapun Joseph Schumpeter menggambarkan demokrasi sebagai sebuah prosedur untuk memilih pemimpin melalui pemilihan umum yang kompetitif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demokrasi memerlukan level partisipasi politik dalam memilih pemimpin serta derajat kebebasan sipil dan politik. Demokrasi seharusnya merupakan sebuah metode dalam memilih orang-orang terbaik. Dengan kata lain, pemilihan umum tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan partisipasi aktif publik, tapi juga menjadi proses pengambilan keputusan guna memilih pemimpin atau wakilnya yang dinilai masyarakat baik.
Secara prinsip, tujuan penyelenggaraan pemilu di negara demokrasi adalah memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai serta melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat. Proses pemilihan umum merupakan sebuah prosedur demokrasi yang menjadi penyangga bangunan substansi demokrasi itu sendiri. Dalam konteks itu, Pemilu 2024 menjadi penting untuk memastikan peralihan kekuasaan berjalan tertib dan damai sehingga demokrasi dapat berjalan normal.
Dalam perspektif hak asasi manusia, pemilu adalah sarana penyaluran hak asasi manusia yang sangat prinsipiil. Dalam kepentingan HAM itu, pemerintah wajib menjamin pemilu sesuai dengan prinsip ketatanegaraan yang diatur konstitusi. Adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia jika pemerintah tidak menyelenggarakan pemilu secara berkala, memperlambatnya, atau tidak melakukan apa-apa sehingga pemilu tidak terselenggara sebagaimana mestinya.
Secara konstitusional, Undang-Undang 1945 memang tidak mengenal dan mengatur masalah penundaan pemilu. Namun bukan berarti konstitusi kita memberikan ruang dan kebebasan kepada pemerintah untuk berkuasa tanpa batas. Sejak Reformasi dan amendemen UUD 1945, kehendak membatasi masa jabatan eksekutif dan legislatif adalah keinginan rakyat sebagai bentuk koreksi politik terhadap rezim otoritarianisme Orde Baru.
Dengan demikian, ide dan gagasan elite politik menunda Pemilu 2024 sebaiknya dihentikan karena tidak sejalan dengan nilai-nilai esensial kehidupan demokrasi, bahkan konstitusi. Kewajiban penyelenggaraan pemilu itu tertuang dalam Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun.” Konstitusi juga menegaskan bahwa presiden dan wakil presiden hanya menjabat selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan seperti diatur Pasal 7 UUD 1945.
Agenda penundaan pemilu itu sama sekali tidak dibenarkan jika pemerintah menjalankan kehidupan politik negara berdasarkan negara hukum dengan benar. Alasan kedaruratan, baik situasi pandemi Covid-19 maupun situasi ekonomi yang tidak stabil, yang menjadi dalih penundaan pemilu, sama sekali tidak bisa diterima secara konstitusional.
Sebab, pemilihan kepala daerah 2020 tetap berjalan meski di masa pandemi Covid-19. Itu artinya pemerintah berpengalaman melaksanakan pemilu meski memakai pembatasan interaksi sosial. Karena itu, menunda pemilu karena pandemi adalah alasan yang mengada-ada.
Pandemi tidak boleh dijadikan alasan untuk menunda pemilu. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah membuat manajemen risiko dalam penyelenggaraannya. Mari kita lihat negara lain.
Korea Selatan menjadi negara pertama yang berhasil menyelenggarakan pemilu di masa pandemi Covid-19. Beberapa strategi manajemen risiko dijalankan penyelenggara pemilu Korea Selatan, seperti mempersiapkan pemilihan awal. Pemilih mengirim surat suara lebih awal sebelum hari pemilu melalui pos, mekanisme memilih dari rumah (home voting) untuk orang lanjut usia dan mereka yang sakit, juga in-person voting dengan protokol kesehatan dan penjagaan ketat.
Prancis mengenalkan proxy vote, yakni sistem yang memungkinkan pemilih memberikan suara yang diwakilkan kepada orang lain karena sedang terinfeksi Covid-19, dengan pengawasan kepolisian. Pemilih juga dianjurkan membawa pulpen masing-masing ketika melakukan in-person voting.
Dari pengalaman negara lain dan pemilihan kepala daerah 2020, dalih pandemi dari para pengusul penundaan pemilu gugur. Alasan situasi ekonomi juga tidak bisa diterima. Secara ekonomi, meski ada kelesuan akibat pandemi, beberapa agenda pembangunan melalui proyek infrastruktur tetap berjalan. Artinya, dalih ekonomi pun gugur sendiri oleh apa yang dilakukan pemerintah di masa pandemi. Lebih dari itu, penundaan pemilu akan menimbulkan gejolak dan instabilitas politik serta keamanan yang secara langsung dan tidak langsung mengganggu stabilitas ekonomi itu sendiri.
Perjalanan demokrasi sebuah bangsa tidak statis. Bandul demokrasi dapat maju, tapi juga bisa mundur ke arah otoritarianisme. Allan Hicken menyampaikan bahwa ada tiga hal yang cenderung akan mengakhiri dan merusak demokrasi yang sedang berjalan, yakni kudeta militer, kudeta lembaga eksekutif, dan kecurangan elektoral. Penundaan pemilu, menurut Hicken, adalah bagian dari kudeta lembaga eksekutif yang membuat demokrasi hancur.
Dalam sejarah, penundaan pemilu terjadi pada masa Perang Dingin, seperti pada rezim Sukarno di Indonesia dan Marcos di Filipina. Seusai Perang Dingin, penundaan sempat terjadi di Nigeria, Afrika Barat, pada 2000 dan 2013. Di negara-negara itu, demokrasi menjadi terganggu.
Dalam kondisi ekstrem, penundaan pemilu berpotensi mengulang sejarah rezim Demokrasi Terpimpin yang banyak melanggar hukum serta konstitusi dan berakhir dengan kekacauan politik serta instabilitas keamanan pada 1965. Jika pemerintah memaksakan ide penundaan pemilu dan terjadi kekacauan politik, situasi pemerintahan yang tidak sah yang menunda pemilu itu akan membuka ruang terjadinya penggulingan pemerintahan (kudeta militer).
Selain itu, rencana amendemen UUD sebagai salah satu pintu masuk legalisasi penundaan pemilu adalah bentuk akal-akalan sebagian elite politik yang mencederai nilai-nilai konstitusionalisme. Sebab, dalam konstitusi, amendemen dilakukan untuk dan atas dasar kehendak dan kepentingan rakyat, bukan segelintir elite politik untuk kepentingan jangka pendek mereka yang sangat pragmatis.
Di tengah situasi pandemi, pemerintah dan elite politik sebaiknya lebih berfokus mengatasi pagebluk sekaligus memulihkan ekonomi ketimbang melontarkan gagasan tak perlu yang melanggar konstitusi. Penundaan pemilu merupakan bentuk pengingkaran cita-cita Reformasi dan membuka pintu kembalinya otoritarianisme yang menghancurkan sendi-sendi demokrasi.
Semestinya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat serta para elite politik menghentikan agenda dan rencana penundaan Pemilu 2024. Juga gagasan perpanjangan masa jabatan presiden. Keduanya adalah bentuk gamblang pengkhianatan terhadap mandat rakyat yang diterima para politikus melalui pemilihan umum reguler.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo