Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI pedalaman lembah Maramureș, Rumania, di tanah agak tinggi di luar dusun, berdiri sebuah gereja kayu: bangunan hitam 8 m x 10 m yang—seperti umumnya gereja tua di wilayah itu—tampak dari jauh karena menaranya menjulang dari atap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di suatu hari Minggu, di sebuah perjalanan di musim panas tahun 1991, saya mengikuti jemaat yang bersama-sama berangkat ke gereja. Saya dipersilakan ikut masuk. Di ruang sempit yang berumur sekitar 400 tahun itu lukisan-lukisan religius yang bersahaja tapi perkasa seakan-akan ikut hadir dari dinding, bagian dari iman yang bertahan berabad-abad, bahkan di masa pemerintahan Komunis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi tak ada perempuan.
Ruang itu hanya untuk laki-laki. Perempuan berada di luar. Mereka hanya boleh berdiri mengintip ke dalam dari celah-celah dinding di sekeliling. Saya kira demikianlah selamanya—juga ketika suhu di bawah nol dan winter menutupi Transylvania Utara.
Tapi tak ada protes. Tentu saja. Berabad-abad Gereja Orthodox ini memandang perempuan bukan sebagai bagian jemaat yang seharusnya. Berabad-abad—dan di mana-mana. Dalam peribadatan Yahudi, di sinagoge, jemaat perempuan juga harus berada di ezrat nashim. Letaknya di samping atau di belakang ruang yang hanya untuk lelaki. Sudut itu diberi batas—sebuah apartheid yang juga dipertahankan di banyak rumah peribadatan Islam di dunia.
Saya tak tahu mengapa demikian. Saya belum pernah membaca telaah yang mengusut asal mula semua itu. Yang berulang adalah pandangan waswas tentang perempuan, terutama dalam agama-agama Ibrahimi.
“Mengapa lelaki pergi ke luar rumah tanpa tutup kepala, sedangkan perempuan harus memakai tutup?”—itu pertanyaan dalam sebuah teks agama Yahudi Kuno, Genesis Rabbah. Jawab yang diberikan: “Perempuan-lah yang bertindak salah dan malu di depan orang ramai”. Tak dijelaskan kenapa. Perempuan pula yang dinyatakan “membawa kematian ke dunia”. Tak dijelaskan juga kenapa.
Dengan kata lain, perempuan adalah makhluk yang negatif. Rabbi Yoshua ben Hananhah dari abad ke-2, tokoh terkemuka dalam tradisi "fikih" Yahudi, menjelaskan: Tuhan menciptakan perempuan setelah Ia mempertimbangkan segala kemungkinan. Menurut sang Rabbi, Tuhan bergumam: “Aku harus tidak membuatnya dari bagian kepala... karena perempuan akan jadi orang yang angkuh. Bila aku membuatnya dari mata, ia akan mengintip semua hal; bila dari telinga, ia akan mendengar semua hal; jika dari mulut, ia akan terlalu banyak omong; bila dari hati, ia akan iri....”.
Akhirnya Tuhan menciptakan perempuan dari tulang rusuk Adam, bagian yang tak akan tampak bahkan jika laki-laki itu telanjang.
Dan perempuan pun ada sebagai sempalan tubuh. Pertalian dengan tubuh itu agaknya yang menyebabkan wanita dipandang sebagai makhluk yang sudah semestinya direndahkan.
Dalam gambaran pelbagai tradisi, tubuh memang bukan sisi yang mulia dalam sosok manusia. Di abad ke-4 Sebelum Masehi, Plato di Athena menirukan Socrates bahwa tubuh terpisah dari ruh yang abadi. Ruh ada sebelum tubuh, tak bersama tubuh.
Juga dalam beberapa karya sastra Jawa abad ke-18, tubuh, atau raga dianggap hanya wadah atau “cangkang” untuk “ruh”. Serat Dewa Ruci menyebut, badan hanyalah pelaksana yang menjalankan titah, “badanira iku darmi ing lair anglakonana”. Titah datang dari kesadaran.
Kini pandangan itu sulit dipertahankan, bersama dengan terbantahnya pandangan negatif tentang perempuan. Kini makin jelas tubuh bukan cuma cangkang. Badan bukan cuma jasad. Ia tak didahului kesadaran. Ia tak hanya melaksanakan perintah ide, pengetahuan, dan pemikiran.
Bahkan menurut Merleau-Ponty, filosof Prancis di pertengahan abad ke-20, bukan kesadaran yang membawa kita mengenali dunia, melainkan tubuh. “Aku sadar tentang dunia melalui medium tubuhku”.
Dengan itu manusia meraba, melangkah, mencipta....
Kita ingat orang Asmat. Dengan tangan, kaki, dan pengalaman total mereka—bukan dengan ilmu pengetahuan—orang Asmat menafsirkan dunia dan menciptakan bentuk-bentuk yang menakjubkan. Dari mereka kita tahu, kreasi datang dari impuls jasmani—sebelum masuk dalam kesadaran. Picasso (yang selalu mengagumkan dengan karya-karya baru) mengatakan keinginannya untuk lebih kreatif: “Andaikata kita dapat mencopot otak kita dan hanya menggunakan mata kita”.
Dan kita ingat, si orok mengenal dunia dari dalam tubuh ibunya.…
Mungkin kita perlu menengok sebuah dongeng lain: cerita Gilgamesh dan Enkidu dari Irak kuno. Enkidu, laki-laki perkasa yang liar, adalah calon penantang Gilgamesh. Sadar akan bahaya, Gilgamesh pun mengirim seorang perempuan cantik, Shamhat. Perempuan ini merayu Enkidu untuk melemahkannya. Tapi, ternyata mereka saling menikmati, lekat dalam persetubuhan 12 hari. Dalam proses itu, Enkidu tak lagi manusia buas; ia mengenal cinta. Ia tak lagi seperkasa dulu, tapi Shamhat membawanya ke peradaban. Laki-laki ini jadi sahabat Gilgamesh yang setia.
Dalam dongeng yang lebih kuno ketimbang kitab-kitab suci ini, perempuan—tubuh dan jiwanya—adalah penyelamat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo