Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KLHK tidak akan mampu sendirian melindungi dan memantau harimau Sumatera.
Perlu kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat.
Tak perlu alergi pada donor dan LSM yang kritis.
TEWASNYA tiga ekor harimau Sumatera karena terjerat kawat di kawasan hutan lindung di Aceh Selatan menunjukkan masih tingginya ancaman perburuan liar. Kasus ini sekaligus membuktikan lemahnya perlindungan atas satwa yang populasinya terus berkurang itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah—dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—tak mungkin bekerja sendiri melindungi spesies ikonik itu. Luasnya wilayah yang harus diawasi, minimnya jumlah petugas, dan terbatasnya anggaran menjadi kendala selama ini. Lokasi penemuan tiga bangkai harimau itu, misalnya, masuk Kawasan Ekosistem Leuser yang luasnya 2,2 juta hektare. Pemerintah hanya mempekerjakan 37 polisi hutan. Itu pun hanya untuk menjaga Taman Nasional Gunung Leuser, yang luasnya cuma 833 ribu hektare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, kerja sama Kementerian dengan organisasi masyarakat sipil mutlak diperlukan. Masalahnya, relasi Kementerian dengan organisasi lingkungan belakangan ini mengalami pasang-surut. Musababnya, pemerintah makin sensitif—bahkan represif—dalam menyikapi kreativitas program mitranya. Pemerintah tak hanya menentukan kegiatan apa yang boleh dan tidak, tapi juga kerap mengontrol laporan yang hendak dipublikasikan mitranya kepada masyarakat.
Contoh terbaru, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya memutus sepihak kerja sama dengan Yayasan WWF Indonesia pada 10 Januari 2020. Kementerian menuduh program WWF di luar lingkup perjanjian kerja sama yang diteken belasan tahun lalu. Kementerian pun menuding laporan WWF Indonesia overklaim. Sebaliknya, WWF Indonesia merasa apa yang mereka lakukan masih dalam koridor kerja sama.
Pemutusan kerja sama secara tiba-tiba bukan hanya mengancam kelanjutan 30 proyek konservasi WWF Indonesia. Organisasi lingkungan lain juga menjadi lebih berhati-hati, bahkan sekadar untuk menjadi mitra yang kritis. Apalagi Kementerian pun menegur organisasi lain dengan tudingan yang kurang-lebih serupa. Maka muncullah keengganan mengungkap fakta, misalnya populasi harimau yang tersisa. Sebagian organisasi bahkan memilih diam ketimbang diperlakukan seperti WWF Indonesia.
Dalam banyak kasus, organisasi sipil memang tak punya pilihan selain mengikuti genderang Kementerian Lingkungan. Sebab, program mereka banyak berjalan di wilayah konservasi yang dikuasai Kementerian. Selain itu, lewat Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan, pemerintah juga bisa mengontrol sumber dana organisasi lingkungan—khususnya yang berasal dari lembaga donor asing.
Semangat keterbukaan dalam Undang-Undang Ormas sebetulnya baik dan perlu. Tapi hal itu tak bisa dilepaskan dari konteksnya. Tuntutan membuka keuangan ormas kala itu, antara lain, berangkat dari kecurigaan atas pendanaan organisasi seperti jaringan Jamaah Islamiyah. Selain menjadi sarang teroris, Jamaah Islamiyah disinyalir menerima dana “haram” dari jaringan teroris internasional.
Kecurigaan semacam itu tentu tak pantas diarahkan kepada organisasi pelestari lingkungan. Apalagi, faktanya, program konservasi satwa langka seperti harimau, gajah, dan badak sangat bergantung pada bantuan donor asing. Tidak ada filantropi di Indonesia yang tertarik mengurusi kelangsungan hidup megafauna ini. Sementara itu, anggaran dari pemerintah juga sangat terbatas.
Ketika ancaman kepunahan satwa endemis seperti harimau Sumatera makin nyata, pemerintah seharusnya berkolaborasi lebih erat dengan organisasi masyarakat sipil. Yang perlu diingat, kolaborasi yang produktif hanya akan bertahan dalam kemitraan yang setara dan tanpa prasangka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo