Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANGKAH tergesa-gesa pemerintah memulai studi bersama dengan Cina untuk memperpanjang jalur kereta cepat dari Jakarta-Bandung sampai Surabaya sungguh mengkhawatirkan. Presiden Joko Widodo mengabaikan potensi bahaya perangkap utang yang bisa melahirkan persoalan besar bagi Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah meneken kesepakatan studi bersama dalam Belt and Road International Cooperation Summit di Beijing, Cina, pada pertengahan Oktober lalu. Sejumlah negara berkembang penerima utang Cina, termasuk Indonesia, ikut dalam pertemuan yang menandai sepuluh tahun lahirnya program Belt and Road Initiative itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati studi bersama tersebut belum secara gamblang memastikan kelanjutan proyek kereta cepat Tiongkok, langkah pemerintah itu tetap melahirkan kecemasan. Sebab, sebelumnya, pada 2015, pemerintah memilih Cina mengerjakan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan mendepak Jepang yang lebih dulu memulai pengkajian.
Belakangan, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung senilai Rp 108 triliun melahirkan masalah di sana-sini. Mulanya Jokowi berjanji proyek kereta cepat tak akan menggunakan anggaran negara. Tapi kemudian dia meminta duit negara masuk lewat penjaminan utang demi menyelamatkan proyek dari ancaman mangkrak karena biayanya berkali-kali membengkak.
Meski demikian, masalah besar yang melilit sebatang badan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tak jua bisa menyadarkan Jokowi. Alih-alih mengkaji ulang semua rencana proyek kereta cepat, Jokowi malah bergegas mendorong perpanjangan jalur Jakarta-Bandung hingga Surabaya kembali dikerjakan Cina.
Investasi sembrono yang menggerus duit negara, dan membuat kocar-kacir PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang menjalankan kereta cepat, bisa berulang. Megaproyek yang kalkulasi bisnisnya meragukan hanya akan melahirkan kerugian.
Hal mendasar dari bergabungnya Indonesia dalam program Belt and Road Initiative yang diabaikan Jokowi adalah adanya risiko perangkap utang. Dana pinjaman dari program itu di sejumlah negara Afrika banyak dipakai untuk membiayai infrastruktur dasar seperti jalan raya dan kereta api. Namun di negara-negara yang lebih maju, seperti Indonesia, utang dari Cina tersebut dipakai buat menjalankan proyek yang sebenarnya tidak mereka perlukan.
Ciri umum lain pinjaman Cina tersebut adalah tidak digunakan sesuai dengan prinsip tata kelola yang baik. Semua serba terburu-buru tanpa hitungan kelayakan yang jelas. Hal ini terbukti dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang biayanya tiba-tiba saja membengkak di tengah jalan.
Jokowi semestinya paham, program Belt and Road Initiative yang diusung Presiden Cina Xi Jinping sepenuhnya bermotif ekonomi belaka. Laporan AidData, lembaga penelitian di bawah naungan William & Mary Global Research Institute, yang baru dirilis pada 6 November lalu menyebutkan negara-negara berkembang itu telah menerima utang Cina tak kurang dari US$ 1,1 triliun (Rp 15.685 triliun). Artinya, risiko terjerat utang besar di kemudian hari tidak boleh diabaikan begitu saja.
Ketimbang mengulang kesalahan, Jokowi lebih baik menghentikan rencana memperpanjang jalur kereta cepat Jakarta-Bandung hingga Surabaya. Tidak semestinya, demi ambisi pribadi, Indonesia dibawa masuk ke perangkap utang negara lain.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jebakan Utang Kereta Cepat Jakarta-Surabaya"