Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAHLAWAN pencegahan krisis iklim, kata Arundhati Roy, bukan mereka yang bersidang di gedung-gedung tinggi, di ruang-ruang konferensi yang dingin, melainkan mereka yang tinggal di desa, terpanggang matahari, dan setiap waktu berperang melindungi hutan dan gunung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penulis India itu tentu menyindir 197 kepala negara dan pemimpin industri yang sedang bersidang di Dubai, Uni Emirat Arab, dalam Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa merumuskan cara mencegah dampak pemanasan global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persis seperti Dubai, kota negara dengan emisi per kapita salah satu yang terbesar di dunia, kian sering para kepala negara dan pelaku industri bertemu dalam konferensi, produksi emisi yang memicu krisis iklim terus bertambah. Sementara itu, kesepakatan-kesepakatan selalu tak menyentuh akar masalah.
Jauh dari Dubai, krisis iklim terjadi di kampung saya. Nun di bawah Gunung Ciremai, di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, penduduk kampung bergulat menghadapi dampak perubahan iklim yang kian ekstrem.
Di sana, perubahan iklim ditandai oleh serangan babi ke kebun dan sawah. Para petani rungsing karena mereka harus melek hingga subuh untuk mempertahankan sepetak ladang palawija dengan untung tak seberapa. Ketika “mudik” bulan lalu, saya mendapati sawah dan ladang lebih ramai dan terang ketika malam.
Babi turun gunung karena tak ada lagi makanan di hutan, sejak anak-anak muda lebih senang berdagang asongan ke kota atau menjadi buruh bangunan dengan upah harian. Mereka tak meneruskan jejak dan warisan para orang tua yang jompo dan tak bisa lagi mengayun cangkul. Maka hutan dan gunung kembali dihuni genderuwo, kalongwewe, dan hantu-hantu purba yang bercokol dalam ingatan anak-anak.
Para babi itu kehilangan makanan karena serasah tak lagi membusuk dan menumbuhkan cacing. Sampah organik itu mengering di musim kemarau tanpa menjadi kompos karena tak ada lagi kotoran burung yang membusukkannya. Burung-burung menghilang karena diburu orang desa untuk dijual ke kota sebagai mainan.
Sejak petani berkurang, jarang ada penduduk yang memelihara kambing. Akibatnya, rumput bukan lagi barang mewah. Para petani tersisa membunuh rumput yang menjadi gulma di sekitar palawija dengan pestisida. Obat itu memang efektif membunuh rumput tanpa mematikan tanaman utama. Tapi, agaknya, obat kimia itu membuat wereng jadi kebal.
Dari gunung itu saya turun ke sawah becek yang masih berair tapi tak lagi berlumpur. Dasar sawah kini pasir dan airnya sedikit berminyak. Ke mana lumpur-lumpur itu? “Hilang,” kata Samsudin, teman sekolah yang menjadi petani. “Sejak tak ada kapuk, sawah jadi tak berlumpur.” Apa hubungannya?
Dulu, sepanjang jalan kampung yang membatasi desa dengan persawahan, pohon randu sebesar perut kerbau berjejer dengan dahan berjela-jela. Jika musim gugur, kapuknya beterbangan hingga masuk ruang-ruang kelas sekolah dekat sawah. Anak-anak tahu, kapuk yang terbang sedang dipanen para petani untuk dijual kepada siapa saja yang membutuhkan kasur dan bantal. Pohon randu memberikan penghasilan tambahan bagi petani sehingga mereka mengurus dan menjaganya. Akar-akarnya yang menjuntai itu menjadi rumah air yang menggemburkan sawah.
Kini penduduk tak lagi membeli kapuk. Mereka lebih senang memakai spring bed, kasur busa dengan per yang tebal, empuk, dan nyaman itu. Para petani yang merasa kapuk tak lagi berfaedah lalu menebang pohonnya untuk dijadikan kayu bakar. Kehilangan pohon randu adalah malapetaka besar bagi para petani.
Mereka terdesak dari atas dan bawah. Di bawah tak ada lagi air sehingga mereka harus memompanya dengan mesin dan bensin untuk membasahi tanaman. Itu pun sumur-sumur mengering karena mata airnya hilang akibat pohon di gunung meranggas kehilangan burung. Dari atas, mereka begadang menghalau babi.
Dalam situasi itu, menjadi petani kian tak menarik. Anak-anak muda pun merantau ke kota, lalu pulang membawa uang tunai karena cocok dengan kebutuhan yang jadi primer: membeli pulsa telepon seluler untuk komunikasi dan update status media sosial. Penghasilan bertani tak cukup memenuhinya.
Panen kacang tanah butuh waktu tiga bulan. Biaya untuk menanam, menyiangi, menyirami, dan menjaganya dari serbuan babi di lahan seperempat hektare sekitar Rp 1,4 juta. Hasilnya: 4 kuintal kacang tanah yang laku Rp 1,7 juta. Artinya, petani hanya untung Rp 100 ribu per bulan.
Sementara itu, upah buruh bangunan di kota-kota Rp 150 ribu sehari. Potong ongkos makan-minum, masih sisa Rp 100 ribu. Kalikan tiga bulan kerja, seorang buruh masih bisa membawa pulang Rp 6-8 juta. Uang itu menjadi modal menikah atau membuat rumah, di lahan yang ketika mereka lahir adalah sawah orang tuanya.
Siklus itu mungkin telah jadi umum. Di mana pun, yang tradisional rontok oleh banyak kebutuhan dan kemajuan. Dunia makin modern, karena itu, kita menanggung pandemi global yang disebut krisis iklim. Tapi, agaknya, orang kampung tak peduli karena ada cara lain bertahan hidup tanpa memuliakan tanah-air yang kian tak menjanjikan itu.
Mereka yang pura-pura peduli mencegah kehancuran dunia akibat kenaikan suhu bumi sedang bersidang di Dubai, di ruang sejuk dari pembakaran batu bara yang menjadi sumber emisi. Manusia mungkin memang seperti Sisifus: mengejar bahagia malah menemu derita.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sisifus"