Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Terjebak Kekerasan di Papua

Situasi yang memanas di Kabupaten Nduga, Papua, memperlihatkan bahwa penggunaan senjata justru menyulitkan penyelesaian pelbagai problem di provinsi itu.

30 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Operasi militer bakal merusak strategi sosial-budaya dan ekonomi buat memajukan masyarakat lokal. Cara ini hanya akan melestarikan lingkaran kekerasan yang membelit Papua.

Tentara telah ditugasi memburu kelompok bersenjata yang membunuh belasan karyawan PT Istaka Karya, awal Desember tahun lalu. Penembakan pekerja proyek Trans Papua di Distrik Yigi, Nduga, jelas merupakan tindakan keji. Tapi pemerintah semestinya tetap berhati-hati menanganinya agar tidak timbul kesan balas dendam. Peran polisi perlu ditonjolkan untuk menuntaskan kasus ini secara hukum.

Kini Nduga bagaikan medan perang. Kontak senjata kerap terjadi antara TNI-Polri dan kelompok yang menamai dirinya Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka. Konflik ini telah menewaskan setidaknya tiga anggota Tentara Nasional Indonesia dan tujuh anggota kelompok perlawanan. Dua ribu lebih penduduk Nduga mengungsi ke Wamena karena keamanannya terancam—625 di antaranya pelajar.

Insiden penembakan pekerja proyek Trans Papua bukanlah tanpa preseden. Penembakan serupa sering terjadi di Nduga, yang merupakan basis OPM. Pertengahan tahun lalu, misalnya, milisi pimpinan Egianus Kogeya menembaki pesawat Trigana Air yang mengangkut logistik pemilihan kepala daerah. Pada akhir 1990-an, Nduga telah menjadi sorotan karena serangan yang sering dilancarkan milisi OPM pimpinan Kelly Kwalik.

Pemerintah selalu bereaksi keras tiap kali muncul serangan. Tapi penyelesaian lewat senjata terbukti tak bisa mematikan OPM. Strategi itu malah berdampak buruk. Sesuai dengan laporan Amnesty International Indonesia, terdapat 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan di Papua pada 2010-2018. Pelaku kekerasan didominasi aparat keamanan, baik polisi maupun tentara.

Banyaknya kasus pembunuhan di luar hukum jelas melukai masyarakat Papua. Laku yang menginginkan kemerdekaan Papua pun terus berkibar. Gerakan itu seolah-olah tak pernah punah kendati provinsi ini telah resmi bergabung ke Indonesia pada 1969 melalui penentuan pendapat rakyat.

Bukan mengandalkan senjata, pemerintah semestinya menuntaskan akar masalah integrasi Papua secara menyeluruh. Seperti dibeberkan para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam buku Road Map Papua (2009), ada masalah krusial yang membelit provinsi ini: peminggiran, diskriminasi, dan kasus pelanggaran hak asasi manusia. Problem lain adalah minimnya sarana pendidikan dan kesehatan serta kurangnya pemberdayaan ekonomi bagi penduduk asli Papua.

Meski merupakan langkah maju, pemberian otonomi khusus pada 2001 kepada Papua hanya menyelesaikan sebagian persoalan. Dengan kebijakan ini, wilayah yang kini dibagi dalam provinsi Papua dan Papua Barat itu mendapat alokasi anggaran yang lebih besar. Kedua provinsi juga sangat otonom dalam mengelola pemerintahan lokal.

Persoalannya, sederet problem lain belum diselesaikan secara tuntas hingga sekarang. Soal marginalisasi, misalnya, justru makin kentara. Secara ekonomi, penduduk asli Papua tetap tertinggal. Secara demografi, mereka juga makin terkucil. Sesuai dengan sensus pemerintah Belanda, penduduk asli Papua mencapai 93 persen pada 1960. Angka ini telah menciut menjadi 66 persen menurut sensus penduduk 2010. Kini persentase orang asli Papua diperkirakan makin kecil karena pertumbuhan penduduknya amat rendah.

Masyarakat Papua juga masih tertinggal dalam urusan pendidikan dan kesehatan. Masalah eksploitasi sumber daya alam pun masih menjadi isu sensitif. Begitu pula kasus pelanggaran hak asasi manusia. Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya ada 25 kasus pembunuhan yang melibatkan aparat keamanan yang hingga kini belum diusut.

Dampak operasi memburu penembak para pekerja PT Istaka hanya akan menambah catatan pelanggaran hak asasi itu. Presiden Joko Widodo semestinya menyetop pengerahan tentara di Nduga. Biarlah polisi yang menuntaskan kasus ini agar tidak tercipta situasi perang. Pemerintah juga harus menjamin keamanan masyarakat setempat supaya mereka tidak perlu mengungsi.

Pembunuhan pekerja PT Istaka jelas harus diusut. Tapi pemerintah harus berkomitmen pula mengungkap berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Sederet persoalan lain yang menyebabkan penduduk asli Papua terpinggirkan juga perlu diatasi. Hanya dengan menyelesaikan akar masalah, kita bisa membereskan urusan integrasi Papua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus