Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Pentingnya Kemandirian Ilmu dalam Konservasi

Untuk bergerak maju dalam konservasi keanekaragaman hayati atau pengelolaan lingkungan lainnya, sebuah negara memerlukan transparansi informasi dan akuntabilitas pemerintah.

9 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELESTARIAN keanekaragaman hayati adalah sebuah ilmu tentang penanganan dan pencegahan krisis. Sebagaimana paramedis yang bertugas di unit gawat darurat, mengambil keputusan yang tepat dan cepat menjadi sangat penting. Pasien mana yang paling kritis dan paling membutuhkan penanganan segera? Nyawa menjadi taruhan dan tidak ada ruang untuk kesalahan. Para dokter pun harus melakukan tindakan yang tepat. Demikian pula halnya dengan upaya global melestarikan keanekaragaman hayati. Kita harus mengambil tindakan yang benar atau nyawa bisa melayang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat ini, laju kepunahan spesies mencapai angka yang tercepat dalam sejarah. Jika tidak segera bertindak, kita akan menjadi saksi kebinasaan aneka makhluk hidup yang akan berakibat pada kekacauan fungsi ekosistem. Iklim yang lebih panas dan kering bisa membunuh hutan. Degradasi bisa membuat tanah gagal menghasilkan makanan dalam jumlah yang mencukupi. Tidak akan ada yang menyerbuki tanaman dan tumbuhan jika serangga dan kelelawar musnah. Singkat kata, jika alam kehilangan fungsinya, celakalah peradaban manusia. 

Negara-negara seperti Indonesia memiliki peran kunci dalam pelestarian keanekaragaman hayati global. Indonesia adalah salah satu negara dengan jenis spesies yang sangat banyak dan beragam. Tapi jumlah spesies yang terancam punah di Indonesia juga lebih banyak dibanding sebagian besar negara lain. Jadi, di ruang gawat darurat untuk konservasi global, Indonesia menjadi salah satu ahli bedah terkemuka dengan tugas penting: menentukan spesies mana yang masih bisa diselamatkan (serta bagaimana caranya) dan mana yang sudah tidak bisa tertolong lagi.

Berbagai spesies Indonesia terancam oleh panen berlebihan, ekspansi lahan pertanian, modifikasi habitat dan ekosistem alami, kebakaran, serta berbagai faktor lain. Hukum di Indonesia mewajibkan pemerintah mengambil keputusan yang cepat dan tepat tentang cara-cara terbaik untuk menghadapi segala ancaman ini demi mencegah kepunahan spesies.

Otoritas juga membutuhkan umpan balik yang teratur mengenai efektivitas keputusan manajemen. Misalnya, apakah upaya konservasi orang utan Indonesia saat ini sudah berhasil mengurangi ancaman terhadap orang utan dan menahan laju penurunan populasi atau belum?

Seperti halnya operasi bedah, konservasi alam adalah sesuatu yang rumit. Dalam memutuskan pengelolaan orang utan, dibutuhkan data yang bagus tentang jumlah populasi, laju deforestasi, serta frekuensi pembunuhan dan penangkapan orang utan untuk diperdagangkan. Diperlukan juga data mengenai langkah-langkah apa yang telah ditempuh untuk mengurangi ancaman, seperti penegakan hukum, pengelolaan kawasan lindung yang efektif, dan moratorium pembukaan gambut.

Sains menyediakan cara yang transparan serta dapat dibuktikan dan direplikasi untuk mengumpulkan data dan menganalisis hubungan antara intervensi konservasi dan dampaknya. Siapa pun bebas mempertanyakan sistem ini. Data dan metode dari ilmuwan-ilmuwan lain dapat diunduh dan siapa pun dapat mereplikasi serta mengkritik analisis mereka. Selain itu, dengan menerbitkan penelitian di jurnal-jurnal dengan reputasi bagus dan sistem peer-review yang baik, ada pengecekan tambahan mengenai keabsahan data, analisis, dan kesimpulan.

Di Indonesia saat ini sistem ilmu pengetahuan yang terbuka, transparan, dan mandiri tidak mendapat dukungan. Undang-Undang Sains dan Teknologi, yang baru dirilis pada 2019, memberikan kontrol kepada pemerintah lebih besar atas proses ilmiah. Puncaknya, baru-baru ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melarang lima ilmuwan asing menggarap isu konservasi di Indonesia. Salah satunya saya. 

Dalam sepucuk surat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kami dituduh telah menulis dengan “niat negatif” yang bisa “mendiskreditkan” pemerintah. Surat itu tidak hanya memerintahkan otoritas konservasi regional melarang kami beroperasi. Kami juga tak diperbolehkan melaporkan kegiatan-kegiatan penelitian asing ataupun peneliti Indonesia yang didanai pihak asing ke kantor pusat Kementerian.

Kemungkinan besar penyebab larangan tersebut adalah sebuah tulisan opini sopan di Jakarta Post. Dalam tulisan itu kami meragukan pernyataan pemerintah bahwa populasi orang utan dalam jumlah aman, bertambah, dan tidak berisiko punah. Selama puluhan tahun, pelbagai penelitian tentang tren dan ancaman populasi orang utan—baik oleh ilmuwan Indonesia maupun asing—dengan jelas menunjukkan bahwa orang utan sama sekali tidak baik-baik saja. Bahkan populasi orang utan menurun tajam; lebih dari 100 ribu ekor menghilang dalam dua dekade terakhir. Artikel kami di Jakarta Post menunjukkan bahwa publikasi ilmiah tidak setuju atas hasil temuan yang disajikan pemerintah.

Alih-alih menghubungi kami untuk berkomunikasi secara langsung, pemerintah mengeluarkan larangan bagi kami bekerja sama dengan pemerintah Indonesia. Organisasi nonpemerintah dan ilmuwan pun disarankan melaporkan segala jenis aktivitas yang dilakukan bersama kami. Belum ada penjelasan hukum mengenai larangan tersebut. Tapi sepertinya tidak ada hukum di Indonesia yang melarang perbedaan pendapat. 

Lantas apa dampak larangan ini bagi sains di Indonesia? Pertama, timbul ketakutan di kalangan peneliti dan praktisi konservasi. Banyak kolaborator ilmiah kami di Indonesia merasa harus mundur dari publikasi karena keterlibatan mereka dengan topik atau penulis lain dapat memancing reperkusi dari pemerintah. Di sebuah makalah yang penulisannya saya pimpin baru-baru ini, sepertiga dari para penulis asli meminta nama mereka dihapus karena khawatir akan implikasi lokal.

Beberapa ilmuwan Indonesia menyurati saya. Mereka bilang publikasi mereka diperiksa oleh otoritas pemerintah atau pimpinan universitas dan tak jarang mereka dipaksa mengubah hasil mereka atau bahkan dilarang menerbitkannya. Ada juga dugaan bahwa penelitian-penelitian tentang subyek sensitif gagal terbit ataupun mandek bertahun-tahun karena tak kunjung mendapat persetujuan pemerintah terkait dengan dukungan keuangan atau izin lain. Izin itu tampaknya tidak akan keluar jika publikasi ilmiah tersebut menyinggung atau mengindikasikan bahwa kebijakan yang ada saat ini belum sepenuhnya berhasil.

Berkaca pada sentimen yang dilaporkan media, bisa dipahami betapa para ilmuwan dan organisasi nonpemerintah Indonesia ataupun asing berbasis di Indonesia merasa tidak nyaman atas paksaan untuk menyajikan sudut pandang yang positif mengenai lingkungan dan satwa liar di Tanah Air. Kondisi ini bisa memukul mundur Indonesia ke budaya ABS (asal bapak senang) ketika fakta-fakta pahit harus disembunyikan supaya si bos tidak bete

Jika pemerintah terus menindas ilmu dan ilmuwan independen Indonesia, akan muncul realitas alternatif mengenai konservasi yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Dalam versi alternatif ini, orang utan akan dianggap berkembang biak dengan baik di seluruh wilayah Kalimantan dan Sumatera serta harimau akan kembali berkeliaran di sepanjang Bali, Jawa, dan Sumatera.

Ini tentunya tidak masuk akal, meski terdengar luar biasa. Tapi kenyataan yang sebenarnya akan menjadi kejutan pahit jika informasi pemerintah salah dan 20 tahun mendatang orang lantas menyadari bahwa sebenarnya sudah tidak ada lagi orang utan atau harimau tersisa di Indonesia.

Sebaliknya, masyarakat Indonesia dapat menciptakan sebuah realitas ketika ilmu pengetahuan yang independen dan telah melalui peer-review menjadi pendorong dalam mengambil keputusan strategis untuk menyelamatkan spesies dari jurang kepunahan, serta mendorong pemulihan populasi melalui perlindungan habitat yang efektif, pemberantasan perburuan, dan kemitraan dengan masyarakat lokal untuk mengelola lahan dan margasatwa.

Untuk bergerak maju dalam konservasi keanekaragaman hayati atau pengelolaan lingkungan lainnya, sebuah negara memerlukan transparansi informasi dan akuntabilitas pemerintah. Dengan begitu, ketika ada hal-hal yang tidak berjalan sesuai dengan rencana (suatu hal yang tidak bisa dihindari oleh setiap pemerintah di negara mana pun), langkah-langkah penyesuaian bisa diambil dan ide-ide baru bisa dicoba.

Ini alasan bagi kita untuk belajar dari kesalahan dan berusaha lebih baik. Untuk itu, diperlukan informasi ilmiah yang independen. Dalam krisis konservasi keanekaragaman hayati saat ini, yang Indonesia butuhkan adalah informasi terbaik, bukan realitas alternatif.

Kita semua ingin keanekaragaman hayati Indonesia bertahan. Maka yang terbaik bagi semua orang adalah memiliki “unit gawat darurat” dan “intensive care unit” untuk konservasi yang terbuka dan transparan dalam menginformasikan segala risiko dan hasil perawatan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus