Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Mencegah Kepunahan ala IUCN dan CITES

IUCN dan CITES sama-sama bertujuan mencegah kepunahan satwa. Mekanisme keduanya dalam pengambilan keputusan terhadap status spesies sangat berbeda. 

9 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • IUCN menitikberatkan pada status keterancaman spesies di alam dengan menempatkannya pada kategori-kategori khusus.

  • IUCN memiliki seperangkat metode ilmiah yang saklek dengan proses kajian yang melibatkan para ilmuwan dengan kepakaran yang diakui dunia internasional untuk menetapkan statusnya.

  • Pengambilan keputusan terkait dengan proteksi dagang dalam CITES identik dengan lobi-lobi antarnegara.

TAHUN lalu, Hariyo T. Wibisono kukuh mengambil peran sebagai penilai utama dalam asesmen terhadap macan tutul Jawa (Panthera pardus melas). Asesmen tersebut adalah kegiatan rutin Uni Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam (IUCN) untuk mengevaluasi tingkat keterancaman flora dan fauna di alam secara global. Kala itu untuk pertama kalinya asesmen terhadap macan tutul Jawa yang termasuk spesies terancam dilakukan oleh orang Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hariyo, yang merupakan Direktur Save the Indonesian Nature and Threatened Species, pertama kali terlibat sebagai penilai pendamping (co-assessor) IUCN pada 2008. Ia bergabung dalam Species Specialist Group (SSG) dan ditunjuk sebagai co-assessor IUCN untuk harimau (Panthera tigris) di Indonesia. Untuk masuk SSG IUCN, Hariyo mengimbuhkan, dia harus mendapat setidaknya dua undangan atau rekomendasi dari pakar yang telah bergabung.

Tugas co-assessor, Hariyo menjelaskan, antara lain mengumpulkan data mutakhir dan relevan berdasarkan penelitian ilmiah yang telah diterbitkan. “Ada buku petunjuk dan kaidah dari IUCN yang berisi daftar apa saja yang mesti dicermati dan diperhatikan terkait dengan keterancaman flora dan fauna di alam,” ucap Hariyo—yang akrab disapa Beebach—saat dihubungi, Senin, 3 Oktober lalu.

Dalam buku petunjuk terbaru setebal 114 halaman itu—dirilis IUCN pada Juli 2022—terdapat 12 bab yang berisi kaidah-kaidah ilmiah sebagai panduan baku dalam asesmen. Hal itu dimulai dari pendefinisian, kalkulasi populasi atau densitas berdasarkan pelbagai metode, hingga estimasi reduksi. Juga panduan mengaplikasikan kriteria dan kategori keterancaman, menyikapi kekurangan data, serta memperhitungkan ancaman—perubahan iklim, perburuan liar, penyakit, dan perubahan bentang alam.

Untuk membantu pekerjaannya sebagai asesor, Beebach meminta bantuan kontributor yang harus teruji rekam jejaknya. Hasil kajian timnya tersebut kemudian ditelaah oleh para pakar yang tergabung di SSG. Setelah itu, menurut Hariyo, ada finalisasi penyuntingan penilaian yang harus ia kawal. Setelah semua proses itu kelar, barulah hasil asesmen itu diterbitkan dalam bentuk laporan, salah satunya berwujud RedList atau Daftar Merah IUCN—untuk satwa langka dan tumbuhan langka yang terancam di alam secara global.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Beebach, momen krusial asesmen IUCN dimulai sejak penunjukan asesor utama dan co-assessor. Ia menjelaskan, para asesor utama yang ditunjuk oleh koordinator SSG kerap adalah peneliti asing yang kurang memiliki pemahaman secara utuh mengenai habitat spesies dibanding peneliti lokal. Momen krusial berikutnya adalah pemilihan co-assessor oleh asesor utama. “Apakah co-assessor memiliki kapabilitas yang cukup dan tahu betul mengenai spesies yang dinilai? Bisa hilang di situ,” tuturnya.

Proses pemulangan satwa liar berupa burung kasuari Indonesia dari Filipina yang tergabung dalam Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Satwa dan Tumbuhan Liar Terancam Punah (CITES), di Davao, Filipina, Juli 2020/Dok KJRI Davao City

Ferry Hasudungan dari Burung Indonesia, yang merupakan mitra BirdLife International, memiliki pengalaman sebagai asesor. Menurut dia, banyak asesmen spesies aves yang dilakukan oleh Burung Indonesia yang langsung menjadi pertimbangan IUCN. Ferry mengatakan landasan penting untuk melakukan asesmen adalah penentuan important bird area (IBA), yaitu lokasi penting pelestarian burung. Ada empat kriteria IBA, yaitu daerah yang memiliki jenis keterancaman secara global, daerah penyebarannya tak lebih dari 50 ribu kilometer persegi, merupakan bioma terbatas, dan merupakan tempat berkumpul suatu jenis.

Menurut catatan Burung Indonesia, ada 1.818 spesies burung yang tersebar di 228 IBA di Indonesia. Selain itu, Indonesia tercatat memiliki 23 EBA atau daerah burung endemis. Burung Indonesia memiliki tujuh area kerja yang memudahkan pemantauan di lapangan melalui penghitungan populasi dan pemantauan burung. “Penghitungan populasi memerlukan waktu yang lama dan metode yang lebih kompleks sehingga tidak dapat diselenggarakan rutin per tahun,” tuturnya.

Karena itu, Ferry menambahkan, ada beberapa populasi spesies burung di Indonesia yang masih berpatokan pada data 2018. Data populasi burung pun harus melewati serangkaian telaah sejawat dan dipublikasikan di jurnal ilmiah sebelum dapat digunakan sebagai rujukan untuk IUCN.

Meski begitu, IUCN memiliki perangkat metode ilmiah untuk menilai keterancaman burung meski data populasinya tidak cepat diperbarui. Menurut Ferry, data populasi bukan satu-satunya data yang menjadi rujukan IUCN, ada aspek lain yang juga memiliki bobot besar untuk mengukur tingkat keterancaman spesies.

Ferry, yang juga tergabung dalam SSG, mengatakan semua analisis dari Burung Indonesia yang disodorkan ke BirdLife akan dikaji di dalam SSG oleh para pakar dari seluruh dunia. “Setelah laporan IUCN keluar, Burung Indonesia akan melakukan telaah ulang sehingga membentuk siklus,” ujarnya.

Menurut Ferry, status keterancaman spesies di dalam IUCN yang bersifat global kadang kala tidak menggambarkan kondisi nasional atau regional. Karena itu, IUCN juga membuka pintu khusus untuk status keterancaman spesies yang lebih menggambarkan keadaan nasional atau regional.

Jika IUCN berfokus pada kerentanan spesies, Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Satwa dan Tumbuhan Liar Terancam Punah (CITES) mengatur perdagangannya secara internasional untuk mencegah kepunahan. Pengambilan keputusan dalam CITES jauh berbeda dengan IUCN. Lobi-lobi negara dalam mempengaruhi keputusan negara lain mewarnai proses pengambilan keputusan untuk memasukkan suatu spesies ke lampiran atau Apendiks.

Perjalanan spesies sampai dicatatkan di Apendiks bermula dari usul negara yang merasa berkepentingan untuk mengatur perdagangan internasional sebuah spesies. Negara pengusul bisa saja merupakan negara yang tidak memiliki spesies tersebut di alam liar tapi memiliki penangkaran. “Mereka lihai membaca peluang ekspor spesies yang berasal dari penangkaran,” kata Amir Hamidy, Direktur Sekretariat Kewenangan Ilmiah Keanekaragaman Hayati Badan Riset dan Inovasi Nasional (SKIKH BRIN).

Dari segi kelembagaan, CITES mensyaratkan negara untuk memiliki otoritas manajemen yang dipimpin oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)—khusus untuk ikan. CITES juga mensyaratkan adanya otoritas ilmiah yang di Indonesia menjadi kewenangan SKIKH BRIN. Adapun kewenangan penegakan hukum di Indonesia berada pada Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK serta Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP.

Amir menjelaskan, ada tiga pilar utama dalam CITES, yaitu kepastian hukum dengan seperangkat aturan dan perizinan untuk melakukan ekspor/impor, keterlacakan sumbernya, hingga aspek keberlanjutan yang memastikan kegiatan perdagangan satwa tidak akan menyebabkan populasi menurun di alam. Negara-negara yang mengadopsi CITES mesti tunduk pada sejumlah aturan yang mengikat, salah satunya wajib melaporkan kuota perdagangan setiap tahun.

Menjelang Konferensi Para Pihak CITES ke-19 (COP 19) yang akan diselenggarakan di Panama pada 14-25 November 2022, Sekretariat CITES mengumumkan 52 proposal amandemen Apendiks yang akan diputuskan. Semua usul itu telah melewati proses telaah oleh Animal and Plant Committee. Proposal terkait dengan Indonesia adalah cucakrawa (Pycnonotus zeylanicus) yang diusulkan ke Apendiks I oleh Malaysia, Singapura, dan Amerika Serikat serta murai batu (Kittacincla malabarica) diusulkan ke Apendiks II oleh Malaysia dan Singapura.

Sementara itu, menurut Kepala Seksi Konvensi Direktorat Konservasi dan Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan Wendy Fadri Ariansyah, Indonesia tidak mengajukan usul amandemen Apendiks untuk ikan bersirip. Indonesia malah menerima lima proposal dari negara lain. “Secara umum, posisi Indonesia adalah menolak proposal tersebut kecuali untuk proposal hiu bersirip (Sphyrnidae),” ujar Wendy melalui keterangan tertulis yang diterima pada Kamis, 6 Oktober lalu.

Keputusan Indonesia ini juga diperkuat oleh Panel Penasihat Ahli Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) yang memberikan rekomendasi serupa, yaitu spesies pari (Rhinobatidae) tidak memenuhi kriteria untuk dimasukkan ke Apendiks II. Selain itu, FAO menyatakan setuju memasukkan spesies hiu bersirip ke Apendiks II. Untuk memperkuat posisi dan mencapai kesepakatan bersama negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN, Indonesia berpartisipasi dalam Regional Technical Consultation on Development yang diadakan di Bangkok, Thailand, 29 Agustus-1 September lalu.

Menurut Wendy, lobi-lobi menjadi kekuatan utama negara-negara untuk menyepakati kenaikan atau penurunan posisi spesies di dalam COP kelak. “Keputusan listing biasanya melalui mekanisme voting karena sulit mendapatkan kesepakatan bersama,” tuturnya. “Negara pengusul akan berusaha mendapatkan dukungan terhadap proposal yang diajukan sehingga lobi menjadi salah satu hal penting dalam penggalangan suara menuju voting.”

Sebelum sampai ke sana, Animal and Plant Committee sebagai salah satu perangkat CITES akan melakukan kajian secara ilmiah terkait dengan keterancaman suatu spesies di alam, selain mempertimbangkan volume perdagangan yang telah ada. “IUCN RedList juga menjadi salah satu rujukan untuk menilai perlunya uplisting atau downlisting spesies,” ucap Wendy. Ia menjelaskan, dengan masuknya spesies ke dalam Apendiks, pengambilan dan perdagangannya akan menjadi lebih terkontrol melalui mekanisme kuota.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus