Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Beda Data Berbuah Cekal

KLHK mencekal lima peneliti asing dengan tuduhan memiliki tendensi buruk terhadap citra pemerintah. Berawal dari perbedaan data populasi orang utan. 

9 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Erik Meijaard dan empat peneliti lain diblokir dari akses pelayanan untuk riset di dalam kawasan taman nasional dan wilayah konservasi.

  • Menuai pro dan kontra.

  • Dianggap buruk bagi upaya konservasi.

SEPUCUK surat berkop Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) wira-wiri di media sosial. Surat bertanggal 14 September 2022 itu berisi perintah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya kepada semua kepala balai taman nasional dan balai konservasi sumber daya alam. Berisi lima poin, yang pertama adalah larangan memberikan layanan kepada lima peneliti asing dalam semua urusan perizinan atau persetujuan kegiatan konservasi. Mereka yang dicekal adalah Erik Meijaard, Julie Sherman, Marc Ancrenaz, Hjalmar Kuhl, dan Serge A. Wich.

Di dalam surat yang ditandatangani Sekretaris Jenderal KLHK, yang juga menjabat pelaksana tugas Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem, Bambang Hendroyono, itu dituliskan alasan pelarangan melayani adalah publikasi nasional dan internasional tentang orang utan dari kelima ilmuwan itu memiliki indikasi negatif dan dapat mendiskreditkan pemerintah, khususnya KLHK.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Erik Meijaard yang namanya disebut pertama kali di dalam surat yang beredar di media sosial tersebut mengaku terheran-heran. Ia berkali-kali mengecek surat elektronik dan semua saluran komunikasi yang biasa ia gunakan untuk menjalin hubungan dengan pejabat-pejabat KLHK, termasuk dengan Menteri Siti Nurbaya. Ia berusaha mendapatkan surat yang tersebar di media sosial itu. Hasilnya nihil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meijaard mengetahui surat itu pertama kali dari Twitter. Ia selama ini aktif menggunakan media sosial itu sebagai sarana kampanye untuk kegiatan konservasi yang ia kerjakan. “Saya sampai berkali-kali mengecek folder spam di e-mail, ternyata juga tidak ada,” ucapnya. Spekulasi bermunculan.

Peneliti yang sejak 1992 mengerjakan pelbagai kegiatan konservasi dan riset mengenai orang utan di Indonesia itu merasa kebingungan. Ia tak tahu publikasi mana yang dimaksud oleh KLHK. Terakhir kali ia dan Julie Sherman hanya menulis artikel opini yang diterbitkan di Jakarta Post untuk menanggapi pernyataan Menteri Siti pada Hari Orangutan Sedunia pada 19 Agustus lalu yang mengatakan populasi orang utan Sumatera, Tapanuli, dan Borneo akan terus bertambah dan jauh dari kepunahan.

Pernyataan Menteri Siti itu bertentangan dengan publikasi ilmiah Meijaard. Dua tahun terakhir, Meijaard mempublikasikan hasil riset secara internasional. Pada 2021, misalnya, ia mempublikasikan risetnya mengenai orang utan Tapanuli di jurnal PLOS ONE. Hasil riset itu dipublikasikan pada 4 Januari 2021 setelah melalui telaah sejawat selama hampir enam bulan. Meijaard bersama timnya, termasuk seorang peneliti Universitas Sumatera Utara, menemukan orang utan Tapanuli sangat sensitif terhadap efek gabungan dari fragmentasi habitat, perburuan, fragmentasi populasi, dan tingkat mortalitas yang melampaui tingkat reproduksi mereka.

Erik Meijaard di Kalimantan, Maret 2021/Dok Erik Meijaard

Ia bersama timnya mengkaji persebaran orang utan di masa lampau berdasarkan catatan-catatan dari para ilmuwan yang pernah menjejakkan kaki ke Sumatera dan melihat langsung keberadaan orang utan Tapanuli hingga medio 2001. Ia juga membandingkan tingkat deforestasi dari masa ke masa akibat alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan maraknya pemberian konsesi untuk memanen kayu dari alam.

Jurnal Meijaard lain yang terbit di PLOS ONE pada 29 Maret 2022 adalah mengenai penurunan populasi orang utan Kalimantan akibat deforestasi. Dalam jurnal pertama ia melakukan riset bersama Julie Sherman dan Serge A. Wich. Adapun untuk publikasi mengenai orang utan Kalimantan ini ia melakukan riset bersama David Gaveau, Marc Ancrenaz, dan Hjalmar S. Kühl. Nama-nama ini masuk daftar hitam KLHK. Ada tujuh nama lain yang ikut meneliti tapi tidak masuk daftar hitam KLHK.

Menurut Meijaard, penelitian-penelitian tersebutlah yang ia gunakan sebagai basis argumen dalam menyusun opini di surat kabar yang membantah pernyataan Menteri Siti. Namun, yang membuat Meijaard dan koleganya lebih heran lagi, jika publikasi yang dipermasalahkan adalah artikel opini itu, mengapa surat yang ditujukan kepada para kepala unit pelayanan teknis terbit sehari lebih dulu ketimbang artikel opini tersebut. Artikel opini terbit pada 15 September 2022.

Demi mencari titik terang atas publikasi yang dimaksud, Meijaard mengirim surat permohonan klarifikasi kepada KLHK yang ditujukan untuk beberapa pejabat KLHK, termasuk sekretaris jenderal dan Menteri KLHK. Surat pertama ia kirim pada 20 September 2022 dan surat kedua ia kirim pada 30 September 2022. “Tidak ada yang ditanggapi oleh KLHK,” ujarnya.

Tempo juga mengumpulkan keterangan dari sejumlah lembaga sipil yang bergerak di bidang konservasi mengenai upaya sensor ilmiah dan penyeragaman data yang dilakukan KLHK. Umumnya para pegiat di lembaga-lembaga tersebut mengakui adanya “surat cinta” dari KLHK kepada lembaga mereka hanya karena menggunakan kata seperti “deforestasi” dan “penurunan populasi” ketika mempublikasikan hasil riset.

Uniknya, “surat cinta” itu tak pernah diterima secara langsung. Ada yang baru diketahui setelah surat itu bocor ke media sosial, ada pula yang baru mengetahui setelah mendapat bocoran dari kolega di dalam kementerian itu sendiri. Namun tak ada satu pun yang bersedia memberikan keterangan secara terbuka kepada Tempo mengenai teguran tertulis yang tak kunjung sampai secara resmi ke lembaga yang ditegur tersebut.

Menurut peneliti zoologi Badan Riset dan Inovasi Nasional, Ibnu Maryanto, sikap KLHK itu merupakan respons yang amat buruk dan sangat mencoreng nama Indonesia. Ia mengatakan penelitian yang dilakukan oleh Erik Meijaard dan kawan-kawan dapat diunduh dan dibaca semua orang secara terbuka sehingga pembaca dapat menganalisis metodologi yang digunakan dan data yang dikumpulkan. “Jika KLHK merasa ada kekeliruan dalam riset itu, lakukan kajian ulang atau kajian bersama. Data seharusnya dibalas dengan data, riset dibalas dengan riset,” katanya.

Ibnu menambahkan, sikap tersebut menunjukkan arogansi KLHK sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan dalam mengatur kebijakan. Menurut dia, pemblokiran akses terhadap Erik Meijaard hanya dipicu perbedaan data. “Ini langkah mundur KLHK yang membuat semua iklim konservasi dan riset di bidang ikut mundur,” tuturnya. Ibnu mengatakan dampaknya bisa jadi sangat signifikan bagi Indonesia karena konservasi untuk pencegahan kepunahan spesies membutuhkan data yang jujur, bukan data yang terlihat baik-baik saja.

Ia menambahkan, “Apa yang disampaikan oleh Erik ada benarnya. Tidak mungkin populasi orang utan bertambah di alamnya dengan tekanan terhadap habitatnya yang makin luas,” katanya. Ibnu menunjuk soal alih fungsi hutan, meluasnya konsesi, perburuan liar, perdagangan gelap, hingga persebaran penyakit. Hanya, Ibnu menambahkan, yang dapat dikaji ulang adalah angkanya. Menurut Ibnu, perbedaan angka di dalam penelitian sepanjang masih dalam koridor ilmiah sangat dimungkinkan. Sebab, menurut dia, bisa saja peneliti mengambil tolok ukur paling ketat demi kepentingan konservasi atau penyelamatan di habitatnya.

Anggota Komisi Ilmu Pengetahuan Dasar Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jatna Supriatna, mempunyai pendapat berbeda. “Erik Meijaard itu individual, bukan peneliti asing,” ucap Jatna. “Dia menghina menteri, itu saja. Sehingga wajar dicekal,” tuturnya. Jatna menolak peristiwa akhir-akhir ini disebut sebagai pembatasan peneliti. Sebab, dia menjelaskan, Meijaard hanya satu dari ribuan peneliti yang ada di Indonesia sehingga tidak akan berdampak besar bagi Indonesia.

Ia mengatakan kesalahan Meijaard adalah mempublikasikan riset di Jakarta Post. “Bukan di tempat ilmiah atau di buku seperti saya. Kalau mempublikasikan di Jakarta Post itu bukan peneliti atau saintis, tapi aktivis atau wartawan,” ujarnya. Atau, Jatna mengimbuhkan, Meijaard dapat mendatangi Menteri KLHK langsung untuk menyampaikan hasil penelitiannya dan disampaikan ke negara. “Jangan cerita naik-turun (populasi), seolah-olah Indonesia tidak memiliki ahli,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus