Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Menyambung Kolaborasi yang Putus

Indonesia-Norwegia memulai kesepakatan baru untuk menurunkan emisi karbon dengan menekan deforestasi. Menyokong FOLU net sink.

2 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah Indonesia dan Norwegia menjalin kerja sama baru dalam upaya penurunan deforestasi dan emisi dari sektor kehutanan.

  • Secara prinsip, kesepakatan baru tak jauh berbeda dengan kerja sama sebelumnya yang dipayungi skema REDD+ dengan dukungan pendanaan berbasis hasil atau kontribusi penurunan emisi.

  • Dianggap sebagai peluang menggenjot FOLU Net Sink 2030 dengan berbagai catatan komitmen dari pemerintah Indonesia sendiri.

TEPAT setahun dua hari setelah putus kerja sama, Indonesia dan Norwegia sepakat membangun kolaborasi baru untuk menurunkan emisi karbon dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya serta Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia Espen Barth Eide menandatangani nota kesepahaman itu di Jakarta, Senin, 12 September lalu. “Kesepakatan ini menekankan manfaat yang dapat diberikan secara nyata dan langsung kepada masyarakat, serta kemajuan Indonesia dengan mengedepankan prinsip transparansi, akuntabel, inklusif, serta partisipatif,” kata Menteri Siti dalam jumpa pers.

Sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU), berdasarkan hasil inventarisasi dan penghitungan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2020, melepaskan total emisi gas rumah kaca sebesar 924.853 gigagram setara karbon dioksida (CO2e). Angka itu diperburuk oleh kebakaran gambut pada 2019 yang menyumbang emisi 456.427 gigagram CO2e yang dihasilkan dari hangusnya lahan gambut seluas 494.450 hektare.

KLHK memasang target sektor kehutanan dan penggunaan lahan mencapai penyerapan bersih pada 2030, yang dikenal dengan istilah FOLU Net Sink 2030. FOLU net sink adalah kondisi ketika jumlah karbon dioksida yang diserap sektor hutan dan penggunaan lahan dari atmosfer lebih besar dari emisi yang dihasilkannya. Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad, kesepakatan RI-Norwegia ini peluang positif bagi Indonesia untuk menunjukkan keseriusan komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca pada 2030 menjadi nol. "Kita bisa menunjukkan keseriusan dalam mengimplementasikan Perjanjian Paris," ucapnya.

Dalam kemitraan tersebut, Norwegia akan mendukung secara finansial melalui mekanisme kontribusi berbasis hasil. Nadia mengatakan kemitraan ini bisa membantu implementasi kebijakan Indonesia FOLU Net Sink 2030 yang diperkirakan membutuhkan dana senilai Rp 204,02 triliun. "Selain dapat berkontribusi terhadap kebutuhan dana untuk mencapai target FOLU Net Sink 2030, kemitraan ini diharapkan dapat memancing masuknya sumber-sumber pendanaan lain," tuturnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penandatangan kerjasama baru Indonesia yang diwakili Menteri KLHK Siti Nurbaya, dan Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia, Espen Barth di Jakarta, 12 September 2022/Dok KLHK

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kemitraan Indonesia-Norwegia ini tak jauh berbeda dengan kemitraan sebelumnya. Indonesia dan Norwegia pernah bekerja sama menurunkan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan plus konservasi (REDD+). Kerja sama itu dipayungi oleh pernyataan kehendak (LOI) yang ditandatangani pada 26 Mei 2010. Namun pada 10 September 2021 Indonesia memutuskan mengakhiri LOI itu karena Norwegia tak kunjung merealisasi pembayaran berbasis hasil (RBP) senilai US$ 56 juta atas pengurangan emisi 2016-2017 sebesar 11,2 juta ton CO2e.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman mengatakan kegagalan kerja sama REDD+ menjadi pengalaman untuk membangun kolaborasi yang konstruktif. "Ini awal baru bagi kerja sama kedua negara," ujarnya. Sementara itu, Menteri Espen Barth Eide mengatakan pemerintahnya berkomitmen mencairkan kontribusi RBP pada 2016-2020 di bawah protokol pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV) yang telah disepakati.

Menteri Barth Eide berkata, "Kontribusi untuk yang dihasilkan pada 2020-2021 dan seterusnya didasarkan pada protokol MRV yang diperbarui." Ia juga menyinggung ihwal pembayaran RBP yang terus ditagih pemerintah Indonesia. Menurut Barth Eide, pembayaran pertama sebesar US$ 56 juta atau sekitar Rp 831 miliar untuk pengurangan emisi pada 2016-2017 bisa dilakukan setelah perjanjian kontribusi dibuat.

Menurut Duta Besar Indonesia untuk Norwegia, Todung Mulya Lubis, perjalanan kesepakatan baru ini pun tidak mulus. "Semula REDD+ tidak menjadi pembahasan. Norwegia menginginkan adanya kesepakatan baru," kata Todung saat ditemui dalam acara “Diskusi Informal Bulanan Indonesia Ocean Justice Initiative” di Jakarta, Selasa, 20 September lalu. “Atas desakan Indonesia, agenda REDD+ berikut kewajiban pembayaran Norwegia dapat diakomodasi ke perjanjian yang baru,” tuturnya. Pembahasan kesepakatan baru ini, dia melanjutkan, diinisiasi pada 5 Agustus 2022.

Menanggapi kerja sama RI-Norwegia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan Yosi Amelia mengatakan optimalisasi pelindungan dan penyelamatan hutan alam yang tersisa seharusnya menjadi langkah kunci untuk mencapai FOLU Net Sink 2030. Menurut dia, pemerintah telah berupaya melindungi hutan alam primer dan gambut seluas 66,95 juta hektare melalui moratorium penerbitan izin baru. Namun Indonesia memiliki 88,97 juta hektare hutan alam primer dan sekunder yang juga harus dilindungi. "Menurut analisis kami, terdapat 9,6 juta hektare hutan alam yang belum terlindungi kebijakan moratorium."

Ia mengkritik rencana FOLU Net Sink yang hanya berfokus pada pelindungan hutan alam di wilayah dengan indeks prioritas lokasi (IPL) berskala 7-9 atau hutan alam berisiko tinggi hingga ekstrem tinggi. Dalam dokumen rencana nasional FOLU Net Sink 2030 sesuai dengan Keputusan Menteri LHK Nomor 168 Tahun 2022, hutan alam yang masuk kategori skala 7-9 seluas 2,78 juta hektare. "Hanya melindungi hutan alam di IPL 7-9, masih belum cukup untuk memenuhi target FOLU Net Sink. Seharusnya diluaskan untuk wilayah hutan berisiko sedang hingga rendah," ujarnya.

Yosi memberi catatan atas kerja sama dengan Norwegia pasca-REDD+ ini. "Memang menyinggung aspek transparansi, peningkatan law enforcement, peningkatan peran komunitas lokal dan masyarakat adat, serta penguatan kapasitas teknologi dan inovasi," ucapnya. Namun, dia menambahkan, belum ada kerangka kerja atau peta jalan yang lebih rinci mengenai pelaksanaan aspek-aspek tersebut, indikator capaian target, serta jaminan pelibatan masyarakat adat dan komunitas lokal. “Belum jelas pula insentif yang akan diberikan untuk setiap capaian atau pemenuhan target.”

Iqbal Damanik, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, menyatakan skeptisisme terhadap kesepakatan baru ini. Menurut dia, kesepakatan RI-Norwegia untuk menurunkan emisi karbon ini tak akan menyelesaikan apa pun, termasuk masalah pengakuan terhadap masyarakat adat. "Kesepakatannya untuk mengurangi deforestasi, bukan nol deforestasi. Artinya masih ada rencana deforestasi dari Indonesia ke depan.

DANIEL AHMAD
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus