Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INGOT Sitohang kini kembali menanam cabai dan mengurusi kebun kopi yang sebelumnya sempat terabaikan. Bendahara Kelompok Tani Karejo Siria-ria itu sebelumnya adalah petani penggarap food estate. Ia dulu menggarap kentang di lahan seluas dua hektare di Desa Siria-ria, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada waktu itu, Ingot hanya sanggup menghasilkan sembilan ton kentang dari lahan seluas dua hektare itu. Ini jauh dari klaim kesuksesan pemerintah yang menyatakan setiap petani rata-rata menghasilkan 15 ton kentang per hektare. Ia ragu mengatakan usahanya berhasil, meskipun secara pribadi dia menilai dirinya masuk golongan petani yang siap mengelola lahan untuk program lumbung pangan alias food estate dan rajin bekerja. "Saya petani tulen, dari pertanian saya menghasilkan uang untuk penghidupan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum menggarap area food estate, Ingot adalah petani yang terbiasa menanam tomat dan cabai. Ia juga memiliki sedikit kebun kopi Lintong. "Saya beruntung kebun kopi masih ada kemarin dan menyempatkan waktu untuk menggarap. Sehingga masih ada pemasukan dari kebun kopi," ujarnya. Dari kebun kopi itulah Ingot mendapat tambahan modal untuk putar kemudi kembali menekuni penanaman cabai.
Mayoritas petani lain, menurut Ingot , kehabisan amunisi untuk meneruskan menanam atau mengganti komoditas. Karena itu, Ingot menambahkan, banyak lahan yang akhirnya dijadikan agunan untuk memohon pinjaman modal ke bank. Tapi, Ingot menjelaskan, tak semua petani senekat itu. Sebagian lain membiarkan lahannya menganggur tak tergarap karena tak memiliki modal untuk kembali menggarap lahan.
Menurut catatan Ingot, dari luas lahan yang dicanangkan untuk food estate di Desa Siria-ria seluas 215 hektare, hanya 97 hektare yang masih dikelola petani dengan ditanami cabai, tomat, atau sayuran lain. "Sisanya dibiarkan saja menganggur sampai cuma jadi kering, tanamannya cuma semak belukar. Mau dibersihkan pun sudah kepalang tak sanggup," tuturnya.
Areal lumbung pangan nasional 'food estate' komoditas singkong di Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, 6 Maret 2021/ANTARA/Makna Zaezar
Menurut Ingot, hasil panen kentang dan bawang tak menjanjikan kesejahteraan dan keberlanjutan bagi petani. Di awal program, petani penggarap lahan food estate masih bersemangat mengelola lahan karena mendapatkan berbagai bantuan modal untuk memproduksi, dari benih hingga pupuk dan pestisida. Sekarang, dia mengimbuhkan, pelbagai bantuan dan subsidi tersebut telah dicabut dengan kondisi hasil panen sebelumnya tak mampu diputar menjadi modal yang cukup untuk mengelola lahan seluas 2-3 hektare.
Pada panen yang lalu, ujar Ingot, harga jual kentang di bawah Rp 6.000 per kilogram, di bawah harga pasar sekitar Rp 7.000 per kilogram. Selain itu, perusahaan yang digadang-gadang sebagai off-taker untuk menampung hasil panen terlalu selektif dalam membeli hasil panen petani. "Terlalu besar salah, terlalu kecil salah. Dari petani kebanyakan terlalu kecil menurut mereka," katanya. Petani yang gagal memasarkan kentang dan bawang ke pasar di luar off-taker yang paling besar menangguk kerugian.
Ingot mengatakan penanaman untuk food estate terlalu dipaksakan dan terburu-buru sehingga hasil panen tak maksimal. Menurut pengalamannya, tanah yang baru saja dibuka harus didiamkan dulu, kemudian dibersihkan, lalu diolah. Jika tanahnya kurang subur, harus diberi pupuk dari kotoran ayam dulu selama beberapa bulan sampai cukup subur untuk ditanami. "Dampaknya, sekarang tidak ada aktivitas, lahan kosong saja," ucapnya.
Memasuki musim tanam kedua, petani food estate di Kecamatan Pollung ditawari untuk memulai tanam lagi dengan usaha sendiri atau bekerja sama dengan perusahaan secara penuh. Menurut Leonara Sihotang, petani lain, jumlah petani yang berani ambil risiko kembali menanam bawang atau kentang hanya bisa dihitung dengan sebelah tangan. Sisanya kehabisan modal sehingga membiarkan saja lahan kosong tak tergarap, sisanya lagi bekerja sama dengan perusahaan.
Leonara menerangkan, lahan yang dikerjasamakan dengan perusahaan PT Parnaraya hanya seluas 5 hektare. Komoditas yang ditanam pun bukan kentang atau bawang, melainkan kol. Harganya pun tak terlalu menggembirakan, hanya Rp 200 per kilogram. Petani hanya mengandalkan upah harian sebesar Rp 80 ribu dari perusahaan. "Jadi, dalam kerja sama ini, petani pemilik lahan menjadi buruh di lahan mereka sendiri," katanya.
Sekitar Oktober lalu, menurut Ingot dan Leonara, organisasi pemerintah daerah (OPD) Humbang Hasundutan terkesan kompak menyewa lahan dari masyarakat untuk dikelola. "Terkesan supaya ada aktivitas menjelang kunjungan Presiden Joko Widodo di awal tahun sehingga food estate di Humbang ini tidak terlihat gagal," ujar Ingot. Namun anehnya, ia melanjutkan, komoditas yang ditanam bukan kentang atau bawang, melainkan jagung. "Itu pun bukan yang biasa dikonsumsi masyarakat sehari-hari, tapi untuk pabrik atau pakan ternak."
Luas lahan yang disewa oleh sebelas OPD itu tak banyak, rata-rata dua hektare per OPD. Praktik ini membawa persoalan baru bagi petani Siria-ria. Tak semua OPD melunasi pembayaran sewa di muka. Petani yang terikat perjanjian bagi hasil belum mendapat pembayaran apa-apa hingga saat ini. Menurut Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat Delima Silalahi, praktik penyewaan lahan oleh OPD ini perlu menjadi catatan karena dikelola menggunakan anggaran daerah.
Hal lain yang menjadi sorotan Delima adalah potensi hilangnya pengetahuan dan kemandirian petani dengan memaksakan praktik monokultur. "Padahal petani terbiasa dengan praktik heterokultur," tuturnya. Dampaknya kian terasa ketika petani dipaksa berfokus mengerjakan satu komoditas saja dan mengabaikan komoditas lain. Ketika harga jatuh, tak ada komoditas lain yang menjadi bantal penyangga perekonomian keluarga petani.
Selain itu, program food estate ini berisiko mencerabut tradisi tandok beras dalam budaya Batak. Leonara menjelaskan, tandok adalah tradisi yang mencerminkan kekeluargaan petani Batak ketika para perempuan dalam keluarga Batak bahu-membahu mengisi tandok (keranjang) dengan beras. "Food estate ini membuat petani jadi terlalu berfokus pada satu komoditas sehingga tanaman padi jadi terabaikan. Tadinya mereka tak perlu beli beras dan kebutuhan sayur atau cabai dan tomat, sekarang semua serba dibeli di tengah minimnya penghasilan," ucapnya.
Cerita serupa terjadi di Kabupaten Gunung Mas. Semenjak ada pembukaan lahan seluas 600 hektare untuk food estate, banjir sering dialami warga Desa Tewai Baru, Sepang Kota, dan Pematang Limau. Menurut Direktur Borneo Institute Yanedi Jagau, banjir bukan ancaman satu-satunya, lahan yang dibiarkan terbuka begitu saja menjadi rawan kering ketika musim kemarau datang. Selain berdebu, muncul kekhawatiran muncul titik-titik panas baru yang dapat menyebabkan kebakaran lahan dan hutan di Kabupaten Gunung Mas.
Menurut Yanedi, lahan food estate yang telah dibabat habis lalu diabaikan dulu adalah "supermarket" bagi kebutuhan sehari-hari masyarakat. "Ada tanaman paku-pakuan yang diolah menjadi sayur oleh masyarakat, ada kayu yang digunakan untuk memasak. Ini tidak pernah dikalkulasi oleh logika masyarakat perkotaan," katanya. Selain itu, risiko kekeringan ketika memasuki musim kemarau membuat masyarakat harus mengeluarkan biaya ekstra yang tak pernah diperhitungkan sebelumnya.
Tak cuma kekeringan, debu dan panas terik matahari yang terasa lebih menyengat akibat hilangnya tutupan di atas tanah membuat masyarakat rentan mengalami sakit. Ia mengatakan kondisi tersebut dapat mengubah iklim mikro yang dapat mempengaruhi hutan di sekitarnya dan mempengaruhi keanekaragaman hayati di area hutan sekitar lahan food estate. Sayangnya, ujar dia, pemerintah tak menyediakan rencana mitigasi atas dampak-dampak akibat pembukaan lahan ini.
Dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gunung Mas yang dihadiri Wakil Bupati Gunung Mas Efrensia L.P. Umbing pada November 2022, Fraksi Partai Demokrat meminta pemerintah daerah Gunung Mas menyurati pemerintah pusat untuk mengembalikan fungsi hutan di area yang telah dibabat habis untuk food estate. Pertimbangannya, program penanaman singkong di hutan lindung yang telah dikonversi seluas 600 hektare tak berjalan mulus dan telah mengganggu fungsi utama hutan sebagai daerah serapan air.
Pada November 2022 pula, sejumlah pegiat lingkungan dari Save Our Borneo, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Tengah, dan Greenpeace mengadakan aksi di tengah-tengah lahan yang seharusnya ditanami singkong. Mereka membentangkan spanduk bertulisan, "Food estate feeding climate crisis!". Secara bersamaan, Greenpeace merilis laporan yang mengkritik program food estate dengan judul "Food Estate: Menanam Kehancuran, Menuai Krisis Iklim".
Menurut laporan tersebut, program food estate ala pemerintah dapat memperburuk ketahanan pangan nasional. Dalam kajian itu disebutkan pengusulan kawasan lumbung pangan yang mencakup lahan-lahan milik masyarakat adat, lahan gambut kaya karbon, serta kawasan hutan lindung yang dikonversi akan menciptakan segudang masalah ke depan. Menurut Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace, Syahrul Fitra, konversi hutan dan lahan gambut ini berkebalikan dengan janji pemerintah Indonesia kepada dunia internasional dalam hal penjagaan biodiversitas dan mengurangi emisi untuk mencegah krisis iklim.
Syahrul menyebutkan konversi itu akan meningkatkan kebakaran lahan gambut dan melepaskan emosi karbon dalam jumlah besar dari lahan-lahan gambut. Untuk area seluas 600 hektare di Gunung Mas saja, diperkirakan kurang-lebih 60 ribu ton emisi karbon yang terlepas. Ia juga mengutip riset yang dipublikasikan oleh Bank Dunia pada Januari 2022 yang menyebutkan sekitar sepertiga dari emisi gas rumah kaca global yang dihasilkan dari pertanian global adalah hasil pencetakan lahan-lahan pertanian baru, seperti yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan food estate.
Selain itu, dia menjelaskan, food estate akan menyeragamkan pangan masyarakat dan mengurangi kedaulatan pangan masyarakat atas pangan yang beragam. Praktik pertanian industrial ini juga cenderung mengganggu keseimbangan ekologi. Ia mencontohkan suku Marind yang mendiami lahan di dataran rendah Sungai Bian, Merauke, Papua, yang terancam ekspansi food estate. Syahrul menceritakan anggota suku Marind secara rutin mencari sagu ke dalam hutan. Tapi, saat mengumpulkan sagu, mereka juga menyebarkan benih palem yang meningkatkan peluang bagi spesies lain untuk mendapatkan keuntungan.
Ketua Tim Kawasan Daulat Pangan Serikat Petani Indonesia (SPI) Kusnan mengatakan Badan Pangan Dunia (FAO) telah menyatakan bahwa petani dan pertanian kecil yang dikelola oleh keluarga petani sebetulnya menjadi jawaban atas kerawanan pangan dunia. Sebab, dia menambahkan, kelompok petani di tingkat komunitas itulah yang paling banyak berkontribusi terhadap suplai pangan masyarakat. Karena itu, ucap dia, FAO menyerukan untuk kembali memperkuat petani di tingkat basis, bukan lagi korporasi pertanian.
Kusnan mengatakan, sebagai tandingan food estate ala pemerintah, SPI telah mendeklarasikan kawasan-kawasan daulat pangan yang dikelola dengan prinsip agroekologi. "Inti kedaulatan ini adalah memberdayakan petani dan lahan yang sudah ada tanpa ada ketergantungan dari pihak luar, dengan kemandirian. Dimulai dari mandiri dalam pengelolaan lahan, produksi, pengelolaan pascaproduksi, hingga pelindungan dari alih fungsi lahan," ujarnya.
Saat ini SPI sudah memiliki sekurangnya lima kawasan daulat pangan yang menjadi tandingan food estate di Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, Aceh, dan Kalimantan Selatan. Lokasinya dibuat tak jauh dari lahan-lahan food estate. Menurut Kusnan, ada dua kunci dalam melaksanakan daulat pangan, yaitu pendidikan agroekologi dan koperasi petani yang memasarkan semua hasil panen. "Kami melibatkan anak muda yang masih enggan terlibat dalam produksi ke dalam wilayah pascaproduksi untuk memasarkan, sehingga ada keberlanjutan dari generasi muda," katanya.
Dengan kembali ke basis dan mengelola yang sudah ada serta menerapkan prinsip agroekologi, menurut Kusnan, terbukti wilayah daulat pangan tetap bisa melakukan panen raya. Hal ini berkebalikan dengan kawasan-kawasan food estate yang hasil panennya di bawah rata-rata. Kusnan menerangkan, dalam wilayah daulat pangan, PH tanah tetap terjaga di angka 7 dan kandungan organik dipertahankan di atas 3 persen. Karena itu, hama atau penyakit tak betah di lahan tersebut dan kesuburan tanah terjaga.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo