Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu, Presiden Joko Widodo berpidato pada Rabu, 11 Januari lalu. “Saya sebagai kepala negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” kata Jokowi saat itu. Dia menyebutkan 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu, dari peristiwa 1965, penembakan misterius (petrus), kasus Talangsari di Lampung, kerusuhan Mei 1998, hingga kasus Wasior dan Wamena di Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial melalui Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 dengan Mahfud Md. menjadi Ketua Dewan Pengarah Tim dan Makarim Wibisono sebagai Ketua Tim. Makarim adalah mantan Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa yang pernah tergabung dalam Misi Tingkat Tinggi Dewan HAM PBB untuk Darfur dan menjadi Pelapor Khusus PBB mengenai Situasi HAM Palestina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makarim mengakui banyak tantangan yang dihadapi timnya, seperti keraguan korban dan sulitnya menghimpun data yang valid. Dia yakin pembentukan tim ini merupakan langkah penting dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Namun, “Kalau ini tidak ada tindak lanjut sama sekali, masyarakat akan bereaksi dan dianggap pemanis bibir, manipulasi politik,” katanya dalam wawancara dengan wartawan Tempo, Abdul Manan dan Egi Adyatama, pada Kamis, 19 Januari lalu.
Bagaimana awalnya Anda bergabung dengan tim ini?
Ada telepon dari Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Mahfud Md.). Beliau menceritakan masalah lama ini. “Masalah ini senantiasa menjadi pertanyaan berbagai pihak. Karena itu, kita perlu mengatasinya. Apakah Pak Makarim bersedia untuk itu dan juga memimpin tim ini?”
Langsung diminta menjadi ketua tim?
Ya. Terus, saya tanya siapa saja anggotanya. Saya bilang apakah tim ini diusahakan untuk menghasilkan produk yang bisa menggantikan mekanisme yudisial? “Oh, enggak. Kita kan sudah ada Undang-Undang Pengadilan HAM. Jadi kita ingin itu terus bisa jalan.” Dia cerita bahwa sebenarnya mereka berusaha serius menangani ini dengan mekanisme yudisial. Ada pengadilan HAM kasus Abepura, Timor Leste, Tanjung Priok, dan lewat semua. Dari 35 orang yang (disidang dalam) perkara itu, tidak ada satu pun yang dihukum. Kemudian (jalur) non-yudisial (pernah) juga dengan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Sudah jalan, tapi mentah gara-gara Mahkamah Konstitusi (membatalkan Undang-Undang KKR). Dalam keadaan mandek ini, korban terus menderita. Jadi fokus penyelesaian non-yudisial ini adalah mencoba menyelesaikan masalah penderitaan para korban. Kalau demikian, Pak, saya bersedia masuk.
Kapan bertemu dengan Presiden?
Kami ketemu Presiden saat 11 Januari ini saja. Sebelumnya melalui Pak Mahfud. Makanya pada waktu itu kan kami semua enggak tahu maksud Presiden ini apa. Teman-teman mengatakan bahwa ini akhir dari periode beliau. Ini tahun politik. Apakah ini masalah politik? Kami tanya Pak Mahfud. Beliau minta kami bertemu di Surabaya. Kami semua bertemu pertama kali dengan Pak Mahfud itu di Surabaya pada September.
Apa yang disampaikan Mahfud?
Menurut Pak Mahfud, Presiden sebenarnya berusaha menyelesaikan itu dengan berbagai hal. Antara lain dengan mekanisme itu. Kemudian Undang-Undang KKR. Tapi, dalam keadaan kayak gini, padahal periode (kepemimpinannya) hampir selesai, kalau tidak dilakukan apa-apa kan janji dia terhadap publik pada waktu kampanye tidak terlaksana. Ini masa penting pelaksanaan apa yang menjadi pemikiran beliau dulu. Kami katakan, “Apakah kami bisa menyatakan bahwa tugas kami sama sekali tidak ada hubungannya dengan persoalan untuk mengalihkan yang yudisial?” Pak Mahfud bilang, “Silakan. Itu memang posisi kita. Itu (jalur yudisial) akan terus.”
Kenapa tidak mendorong jalur yudisial?
Masalahnya, itu kan di tangan pengadilan, Jaksa Agung, Komnas HAM. Itu membutuhkan semacam practicality dan technicality yang betul-betul bergantung pada pelaksana-pelaksana tersebut. Karena itu, yang paling mungkin dari ketidakmungkinan itu adalah yang non-yudisial. Ini yang paling mungkin dilakukan di tengah keadaan bahwa korban-korban ini makin sepuh, tua.
Ada yang menanyakan motif politiknya?
Ada. Pak Mahfud bilang masalah ini tidak ada sama sekali motif politik. Sebelum ke Surabaya, saya agak merenung karena teman-teman saya mempertanyakan, “Anda sudah dikenal dulu memimpin Komisi HAM PBB, Presiden UN Ecosoc. Anda masuk ini apa tidak downgrade yourself? Nanti kalau tidak berhasil jadi pembicaraan. Jangan lupa, anggotanya ada Kiki Syahnakri yang meng-counter Simposium 65 yang dibuat Agus Widjojo. Juga ada Pak As'ad (As'ad Said Ali, mantan Kepala Badan Intelijen Negara). Kamu itu di dalam sendirian akan menjadi masalah.” Saya kemudian berpikir dan juga menelepon Pak Kiki dan Pak As'ad. Saya dengar jawaban Pak Kiki sangat menenteramkan. Beliau berpandangan bahwa apa yang ditawarkan Pak Mahfud itu adalah peluang kita menyelesaikan masalah ini.
Jadi apa yang membuat Anda bersedia?
Saya bersedia karena orang-orang yang diajak untuk tim ini berkarakter. Bukan orang, karena dapat fasilitas, kemudian berubah pikiran. Jadi kami mendalami permasalahan dengan agak sedikit dalam dan banyak perdebatan.
Tidak khawatir dicela kalau gagal?
Rekan-rekan dari luar yang terjun di bidang HAM kan selalu menanyakan, “Apa yang telah kamu lakukan untuk melakukan perbaikan?” Kita lihat bangsa-bangsa lain yang pernah mengalami masalah pelanggaran HAM banyak sekali. Ada Argentina, Cile, Afrika Selatan, banyak lainnya. Mereka selesai dan kemudian menjadi bangsa yang utuh. Mereka menganggap tanggung jawab ke depan makin rumit dan kalau dihadapi dengan perpecahan, bangsanya hancur. Kalau masalah yang akan dihadapi rumit tapi bangsanya utuh, itu akan menjadi bangsa yang selamat. Saya pikir, ya, mumpung kita masih diberi Tuhan hidup, berusahalah sebisa mungkin melaksanakan itu. Kalau tidak bisa, seperti yang saya lakukan saat menjadi Pelapor Khusus PBB untuk Palestina, saya mundur. Tak ada keraguan.
(Saat menjadi Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Palestina, Makarim Wibisono tidak mendapat izin masuk dari Israel. Setelah dua tahun tak kunjung memperoleh akses masuk, ia memutuskan mundur dan menyampaikan ketidakpuasannya dalam sidang Dewan Hak Asasi Manusia PBB.)
Mengapa memilih 12 kasus itu?
Pemerintah selalu berpatokan pada perundang-undangan. Dari perundang-undangan itu, yang punya hak mengatakan kasus ini adalah pelanggaran HAM berat atau biasa adalah Komnas HAM. Ini laporan Komnas HAM yang ditujukan kepada Jaksa Agung. Sebenarnya ada 13 kasus, termasuk Paniai. Begitu Paniai masuk pengadilan, dikeluarkan (dari daftar penanganan Tim Penyelesaian Non-Yudisial). Kami mulai dari apa yang ada dulu, yang sudah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat.
Anda berkunjung ke mana saja?
Saya ke Palu, Solo, Yogyakarta, dan Lampung. Kata korban (kasus Talangsari) di Lampung, “Sebelum delegasi Bapak datang, kami sudah berulang kali menerima delegasi pemerintah, yang terdiri atas Menkopolhukam dan Direktur Jenderal HAM. Sekarang ini apa bedanya?” Dia ceritakan juga banyak sekali kasus yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Ada anaknya yang kawin tapi tidak diberi surat nikah.
Mengapa?
Karena dianggap Islam radikal. Banyak orang Talangsari yang kemudian pindah ke daerah lain. Mereka lihat ada yang mendapatkan “bedah rumah”, mereka tidak, padahal rumahnya sangat di bawah rata-rata. Ternyata mereka dipersulit karena masih dianggap radikal.
Stigmanya kuat sekali?
Masih menempel. Di Lampung kami ketemu sekretaris daerah, kepala kejaksaan, komando distrik militer (kodim). Mereka bilang, “Ini sudah berhasil jalan semua, rekonsiliasi dan segala macam.” Terus kami tanya, “Menurut pemerintah daerah (pemda), berapa korban Talangsari?” Mereka bilang 10 orang, padahal kalau lihat (peristiwa) penembakan kan ratusan orang. Pendamping korban mengatakan korbannya 246 orang.
Ketua Tim Pelaksana Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (Tim PPHAM), Makarim Wibisono di kediamannya, Jakarta, 19 Januari 2023/TEMPO/M Taufan Rengganis
Apa hasil kunjungan ke Palu?
Di situ keberanian pemerintah daerah ada. Tidak ada kebijakan pemerintah pusat agar pemda membantu kasus pelanggaran HAM berat. Jadi gubernur, dulu wali kota, membahas itu di dewan perwakilan rakyat daerah. Kemudian di situ ada peraturan tentang rancangan HAM daerah mengenai itu. Itu yang dijadikan pegangan untuk mencairkan dana buat membantu mereka (para korban).
Ihwal data korban, apa yang jadi rujukan Tim?
Patokan dari Komnas HAM itu mengenai peristiwa, bukan jumlah korban. Kan, sebenarnya laporan Komnas HAM ke kejaksaan untuk mekanisme yudisial supaya pelaku kena hukuman. Nah, kalau ada penyebutan jumlah korban, itu hanya untuk membuktikan pelanggaran HAM. Misalnya kasus 1965. Yang ada di Komnas HAM cuma 5.000 (korban), padahal kita lihat di koran-koran 500 ribu-1 juta orang. Kami punya kesempatan cuma tiga bulan. Kami mencoba mencari nama-nama itu. Kami, misalnya, di Palu memperoleh informasi bahwa di kodim ada. Mereka punya divisi intelijen. Ternyata benar. Kodim punya. Kalau sakit, dikasih tahu sakit. Kalau dia meninggal, dikasih tahu. File-nya di-update. Itu sudah diserahkan ke pemda. Kami minta ke pemda. Di dalam rekomendasi kami mengusulkan supaya pendataan dilakukan lebih lanjut karena ini merupakan dasar kita untuk memulihkan. Kalau tidak punya nama dan alamatnya, bagaimana kita menyelesaikannya?
Data pasti jumlah korban belum ada?
Masih perlu dikumpulkan lebih lengkap. Yang sekarang sudah ada, tapi masih relatif tidak banyak.
Dari 12 kasus itu, mana yang lebih rumit pengungkapan datanya?
Korban pemerkosaan kasus Mei 1998. Keluarga tidak mau memberi tahu. “Sudahlah. Itu yang sudah, sudahlah. Jangan lagi dibuka lagi. Anak saya itu sudah menikah. Sudah punya anak. Suaminya happy semua. Jadi kalau misalnya hal ini dibuka, itu bisa menimbulkan keguncangan kalau suaminya cemburu, malah berbuat jelek kepada anaknya.” Akhirnya kami minta bantuan pendamping.
Kemudian kasus petrus. Di Semarang ada daerah yang dikenal sebagai daerah gali, preman. Ada seseorang yang bilang, “Saya mau buka nama dan alamatnya, tapi saya mau pemerintah mengakui dan minta maaf kepada saya. Terutama Soeharto dan keluarga Soeharto.”
Siapa yang direkomendasikan untuk melanjutkan pendataan?
Kami menyerahkannya kepada pemerintah. Di Komnas HAM ada bagian yang melaksanakan verifikasi korban. Kalau tidak diverifikasi, ada orang-orang yang tak pernah menjadi korban tapi mencoba mengaku sebagai korban untuk mendapat santunan. Saya pribadi ngomong bagaimana menambah personel atau mengaktifkan mekanisme di Komnas HAM untuk mencoba lebih memperbesar kerjanya supaya cakupannya lebih banyak. (Mereka bilang) anggarannya terbatas.
Tantangan pendataan kasus 1965 apa?
Jumlah korban kami ingin paling tidak mendekati akurat. Kalau Komnas HAM menyebut hanya 5.000, terlalu jauh.
Apa kesimpulan umum setelah Tim ke lapangan?
Kesimpulan umum yang kami rasakan, juga ekspresi dari korban di mana-mana, bahwa korban sangat menyesalkan kasus yang dialami itu tak pernah diakui pemerintah. Dengan tak ada pengakuan, pejabat daerah tak peduli. Dari kasus-kasus ini, yang ada perhatian cuma Palu. Kepada Presiden kami menyerahkan dua hal. Pertama, laporan mengenai kesaksian, analisis, dan ringkasan eksekutif. Selain itu, kami ada surat kepada Presiden. Pokoknya agar beliau mengatakan bahwa ini pernah terjadi, beliau bersimpati kepada korban, karena itu yang ditunggu-tunggu oleh korban.
Untuk apa pengakuan itu?
Pengakuan itu adalah basis untuk berbicara dengan pemda. Wong presidennya sudah mengakui. (Pengakuan) itu kami anggap perlu supaya para korban juga merasakan apa yang disampaikan kepada kami memang ditampung. Saya bertanggung jawab kepada orang-orang yang kami temui. Mereka menerima kami dengan harapan itu jadi kenyataan.
Mengapa tidak minta maaf saja?
Sebenarnya (yang utama adalah) bagaimana kelanjutannya atau faktanya dilaksanakan. Kalau misalnya cuma permintaan maaf dan mengakui tapi hanya itu, nanti tak punya dampak besar. Saya berkeyakinan, dengan adanya pernyataan pemerintah mengenai hal ini, akan ada semacam dampak positif bagi korban. Korban membutuhkan ini berpuluh-puluh tahun. Saya mendapat banyak sekali pesan gara-gara pernyataan Presiden itu. Mereka senang sekali dengan adanya pernyataan ini. Bagi mereka, itu seakan-akan hal besar. Enggak tahu kalau masyarakat lain.
Rekomendasi Tim hanya mengakui atau juga minta maaf?
Kalau kami lihat kalimatnya, ini sama dengan minta maaf. Itu sama saja. Tidak eksplisit, tapi implisit.
Pemulihan hak korban seperti apa? Misalnya soal perampasan properti?
Dalam kasus pelanggaran HAM, ada juga tindakan yang meneguhkan pelanggaran itu, antara lain perampasan properti, aset. Hal itu perlu diproses kembali dan korban yang memilikinya harus memperolehnya kembali. Rekomendasi kami mengarah ke situ. Hak korban ada dua dimensi. Pertama, hak korban sebagai warga negara. Sementara Anda sebagai warga negara bisa mendapat manfaat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, Kartu Indonesia Pintar, orang-orang itu tidak dapat. Jadi sekarang itu dipulihkan. Di samping itu, mereka mempunyai hak konstitusional. Apabila jadi korban pelanggaran HAM berat, secara konstitusi harus ada hak penggantian. Ada masalah mengenai santunan, jaminan kesehatan, jaminan pendidikan, jaminan hukum. Seperti properti itu, supaya dipulihkan kembali. Itu yang kami harapkan. Dalam rekomendasi kami, perlu resosialisasi. Korban diajak kembali lagi bermasyarakat. Ini saya lihat di Palu. Gubernurnya dalam acara peringatan 17 Agustus mengundang mereka.
Bagaimana menghitung ganti ruginya?
Ada resolusi Sidang Umum PBB mengenai bagaimana memberi ganti rugi korban seperti itu. Resolusi itu disetujui semua negara. Artinya ada rujukannya.
Apa masukan dari korban?
Mereka merasa agar tindak lanjutnya bisa kepada hal-hal yang prinsipil. Upaya kita memulihkan ini tergantung kondisinya. Buat orang-orang yang kondisinya lebih baik, pengakuan dan, misalnya, legalisasi itu perlu. Misalnya korban peristiwa 1965. Saya bertemu dengan insinyur dan doktor di bidang perkapalan. Dia sekolah di Rusia. Kemudian (selepas peristiwa 1965), paspornya ditarik dan dia enggak bisa pulang. Dia pindah ke Jerman, jadi warga sana. Saya ketemu di Solo. Dia kasih tahu banyak (eksil) di Eropa yang ingin pulang. Dalam rekomendasi kami, ada usulan ke Presiden agar masalah eksil itu diatasi.
Bagaimana solusi tentang eksil?
Saya dengar pemerintah akan memberikan kalau bukan paspor ya surat laksana paspor.
Kalau dia berkewarganegaraan lain?
Ini perlu dibahas ulang. Soalnya kita tak ada kebijakan mengenai dwi-kewarganegaraan. Ada juga yang statusnya masih abu-abu.
Secara pribadi bagaimana Anda melihat hasil kerja tim ini?
Kalau secara pribadi (saya) ingin hal yang lebih maksimal daripada ini. Tapi, kalau dilihat dari kondisi yang kami hadapi, ini sudah maksimum yang bisa dilakukan. Kami harap pemerintah bisa menindaklanjuti rekomendasinya agar masyarakat, terutama korban, bisa melihat apa yang disampaikan kepada kami ada hasilnya. Saya merasa lebih puas dibanding sewaktu saya menjadi Pelapor Khusus PBB tentang Palestina.
Makarim Wibisono
Tempat dan tanggal lahir:
Mataram, Nusa Tenggara Barat, 8 Mei 1947
Pendidikan:
- S-1 Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada, 1970
- S-2 The John Hopkins University, Amerika Serikat, 1984
- S-2 Ekonomi Politik di Ohio State University, Amerika Serikat, 1986
- S-3 Ohio State University, Amerika Serikat, 1987
Karier dan Pekerjaan:
- Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Situasi Hak Asasi Manusia Palestina, 2014-2016
- Direktur Eksekutif Yayasan ASEAN, 2011-2014
- Ketua Dewan HAM PBB, 2005
- Presiden Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, 2000
- Duta Besar Indonesia untuk PBB, 1997-2001
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo