Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menyepakati sejumlah nota kesepahaman (MOU) saat bertemu di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin, 9 Januari lalu. Salah satunya adalah MOU tentang penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia sektor domestik di Malaysia yang akan dijalankan melalui sistem satu kanal (OCS). Jokowi berharap OCS untuk perekrutan dan penempatan pekerja migran Indonesia benar-benar dijalankan bersama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anwar menyadari bahwa masalah pekerja migran Indonesia ini adalah duri dalam hubungan kedua negara. “Kami akan menghindari isu-isu yang dapat mengganggu hubungan antara Malaysia dan Indonesia karena saya ingin hubungan Malaysia-Indonesia tetap istimewa,” kata Anwar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nota itu sebenarnya sudah ditandatangani oleh Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia M. Saravanan dan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah di Jakarta pada 1 April 2022. Peristiwa tersebut disaksikan Presiden Jokowi dan Ismail Sabri Yaakob, Perdana Menteri Malaysia saat itu.
Nurul Jiana Mohd. Jamel, Atase Buruh Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, menyatakan Anwar Ibrahim punya harapan besar bahwa digitalisasi perekrutan melalui OCS ini antara lain akan memperlancar dan mempercepat proses administrasi serta mengurangi rasuah atau penyelewengan. “MOU ini membuka satu lembaran baru dan telah banyak ditambah baik,” ujarnya pada Selasa, 17 Januari lalu. “Dulu Indonesia menghentikan pengiriman pekerja. MOU ini suatu ajakan yang besar untuk memperbaiki urusan buruh.”
Menurut Jiana, MOU dan OCS di dalamnya adalah kelanjutan dari kesepakatan sebelumnya. “Dari segi pekerja migran Indonesia, sebenarnya sama dengan OCS dalam perjanjian di masa pemerintahan terdahulu. Cuma, ini akan dibuat lebih baik,” ucapnya. Dengan OCS, kata dia, aturan masuk pekerja migran lebih ketat untuk mencegah mereka masuk secara ilegal.
Salah satu penyempurnaan yang perlu dilakukan dalam OCS, Jiana menjelaskan, adalah integrasi antara sistem Indonesia dan Malaysia. “Misalnya sistemnya tidak get through (dilalui), juga jawatan teknisnya. Bagaimana jaringan sistem antara Malaysia dan Indonesia itu terintegrasi,” tuturnya.
Nota itu menyatakan perekrutan dan penempatan pekerja migran domestik Indonesia di Malaysia dilakukan hanya melalui OCS. Nyatanya, beberapa bulan berjalan, perekrutan masih melalui jalur lama, Sistem Maid Online (SMO), yang dikelola Departemen Imigrasi Malaysia. SMO sudah lama dikritik karena memungkinkan perekrutan pekerja migran tanpa melalui jalur resmi Indonesia dan membuat banyak pekerja rentan dieksploitasi.
Hal inilah yang membuat pemerintah Indonesia memutuskan menghentikan pengiriman pekerja migran sektor domestik ke Malaysia pada 1 Juli 2022. Sebab, Malaysia melanggar kesepakatan dalam MOU tersebut. Penghentian ini berdampak buruk bagi bisnis di sana yang mengandalkan pekerja migran, seperti di perkebunan. Akibatnya, jumlah produksi mereka turun karena hasil kebun tak dapat dipanen.
“Memang ada (laporan tentang penurunan jumlah produksi). Contohnya kelapa sawit. Iya, itu memang berlaku. Majikan-majikan itu mengadu bila tidak ada pekerja, hasilnya tidak dapat dipanen sehingga mereka rugi,” ujar Jiana seraya mengaku tak punya data valid mengenai penurunan ini.
SMO adalah gerbang administrasi daring bagi majikan untuk mempekerjakan orang asing sebagai pembantu rumah tangga. Gerbang ini bukan hanya untuk pekerja dari Indonesia, tapi juga dari Filipina, Sri Lanka, Thailand, India, Laos, Nepal, Vietnam, dan Kamboja.
Presiden Joko Widodo menggelar pertemuan dengan Perdana Menteri (PM) Malaysia, Dato’ Seri Anwar bin Ibrahim di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, 9 Januari 2023. BPMI Setpres/Muchlis Jr
Malaysia adalah salah satu negara dengan pekerja migran Indonesia terbanyak. Menurut data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia pada 2022, sebanyak 43.163 pekerja migran Indonesia ditempatkan di Malaysia, ketiga terbanyak setelah Hong Kong dengan 60.096 pekerja dan Taiwan dengan 53.459 pekerja. Jumlah pekerja Indonesia yang ditempatkan di Malaysia pada 2022 hanya separuh dari penempatan pada 2019 yang sebanyak 79.659 orang. Selama masa pandemi Covid-19 pada 2020 dan 2021, jumlahnya menurun drastis menjadi masing-masing 14.742 dan 563 orang. Separuh dari mereka bekerja di sektor informal, termasuk menjadi pembantu rumah tangga.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menyatakan SMO menjadi masalah karena pemerintah Indonesia tak bisa mengontrolnya lantaran majikan dapat merekrut pekerja secara langsung dan pemerintah Malaysia bisa memberikan izin kerja. Sistem ini mengabaikan Kedutaan Besar RI di Malaysia, yang punya kewenangan dalam menyetujui atau tidak pesanan pekerjaan (job order). KBRI juga memiliki daftar hitam majikan yang bermasalah. Dengan terdata di KBRI, pekerja pun akan terus dipantau dan dibantu bila menghadapi masalah. “Dengan SMO itu, kita sama sekali tak punya kuasa. Indonesia tak punya data mobilitas pekerja,” katanya pada Kamis, 19 Januari lalu.
“Jadi ada standar ganda dari pemerintah Malaysia, yang menyetujui OCS tapi tidak menghentikan perekrutan langsung seperti SMO. OCS itulah yang idealnya diterapkan antara Indonesia dan Malaysia sehingga kedua negara bisa saling kontrol,” tutur Wahyu.
Alex Ong, perwakilan Migrant Care untuk Malaysia, menyebutkan perekrutan langsung oleh agen Malaysia seperti melalui SMO itu rentan membuat pekerja migran tereksploitasi. Dia mencontohkan, baru-baru ini mereka menggagalkan pengiriman seorang gadis 15 tahun asal Bima, Nusa Tenggara Barat, yang datang ke Malaysia sebagai turis padahal hendak dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Padahal aturan menyebutkan pekerja migran wajib berusia di atas 21 tahun. Modus seperti ini kini jamak terjadi dan membuat pekerja rentan mengalami kekerasan karena tak punya visa kerja dan paspornya ditahan majikan.
Modus yang kini juga marak di Malaysia, Alex menambahkan, adalah menyelewengkan tujuan perekrutan pekerja migran sektor domestik. “Seharusnya mereka harus jelas bekerja di mana, misalnya di kondominium atau kantor tertentu. Tapi agen-agen di sini malah mempekerjakan mereka untuk jasa kebersihan dari rumah ke rumah,” ucapnya pada Jumat, 20 Januari lalu. “Eksploitasi terjadi, seperti jam kerja mereka melebihi ketentuan, dan rentan akan kekerasan bila mereka berada di tempat tertutup, seperti di rumah majikan.”
Bagi Alex, masalah utama dalam kebijakan perlindungan pekerja migran adalah politik birokrat Malaysia antara Kementerian Sumber Daya Manusia dan Kementerian Dalam Negeri yang berbeda kebijakan karena diduga mengandung korupsi dan kolusi. Perusahaan yang ingin merekrut pekerja migran, misalnya, harus mengurus izin ke kedua kementerian karena negeri jiran itu belum punya sistem layanan satu atap sehingga prosesnya rumit dan mahal. Akibatnya, banyak perusahaan menempuh jalan pintas dengan merekrut pekerja migran ilegal.
Alex melihat birokrasi Malaysia belum berubah meskipun sudah beberapa kali berganti perdana menteri. “Meski sudah ada pergantian pemerintahan, birokrasi tidak berubah,” ujarnya.
Berbagai masalah yang mendera pekerja migran sektor domestik ini, menurut Alex, membuat pelaksanaan MOU itu penting, terutama bila basis data OCS bisa diakses kedua negara. Namun dia juga mengkritik bahwa pejabat Malaysia, misalnya, tidak menjalankan MOU tersebut.
Menurut Wahyu, sistem OCS dan SMO masih banyak bolongnya. Namun negosiasi dalam MOU tidak lancar karena perubahan kepemimpinan di Malaysia yang sangat cepat sehingga membuat proses ini terkatung-katung. “Repotnya, kita negosiasi MOU, di Indonesia pemerintahnya tidak ganti-ganti, masih Jokowi, tapi mereka ganti empat kali. Jadinya mengulang lagi, mengulang lagi, seperti itu,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo