Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Gelar Aksi Laku Melaku Bawa Obor, Petani Pundenrejo: Simbol Perjuangan Terus Menyala

Puluhan petani warga Desa Pundenrejo, Pati, menuntut pengembalian lahan garapan turun temurun yang kini dikuasai perusahaan pemilik pabrik gula.

1 Juni 2024 | 07.45 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Pati - Puluhan petani warga Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menggelar aksi Laku Melaku, menuntut pengembalian lahan garapan turun temurun yang kini dikuasai perusahaan pemilik pabrik gula. Mereka mengawali aksi dengan berziarah di Makam Ki Ageng Kiringan, tokoh penyebar agama Islam di Desa Pundenrejo pada Kamis malam, 30 Mei 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selanjutnya, mereka singgah di Makam Syekh Ahmad Mutamakkin di Desa Kajen Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati. Di kompleks pemakaman tersebut para petani berziarah dan menggelar istigasah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari lokasi itu, para petani memulai aksi berjalan kaki sambil mengenakan caping serta membawa obor menuju Kantor Pertanahan Kabupaten Pati sejauh sekitar 22 kilometer. "Sebagai simbol perjuangan yang terus menyala," ujar perwakilan petani, Zainudin.

Sepanjang perjalanan disertai lantunan selawat dan tembang-tembang perjuangan. Peserta aksi yang terdiri dari perempuan dan laki-laki itu membawa sejumlah poster bertulisan tuntutan reklaim lahan garapan. Antara lain bertuliskan Kembalikan Tanah Rakyat, Kami Ingin Menanam, dan Kami Butuh Makan.

Menurut para petani, konflik agraria di Pundenrejo bermula ketika peristiwa perampasan lahan nenek moyang mereka pada 1965 oleh sekelompok perintis dari Rumpun Sari Diponegoro. Ketika itu petani diancam akan dicap sebagai anggota salah satu partai politik terlarang sehingga menyebabkan petani takut menggarap lahan.

Pada kurun 1973 sampai 1994 lahan petani Pundenrejo berubah status menjadi Hak Guna Bangunan PT Bappipundip. Namun, disebutkan, sejak 1973 sampai 1999 perusahaan yang mengantongi HGB tersebut tak menggunakan lahan seperti tertulis dalam izinnya. 

Status HGB diperpanjang oleh negara sejak 1994 sampai 2024. Di antara rentang waktu ini, yakni pada 1999, PT Bappipundip bangkrut dan menjual tanah HGB kepada PT Pabrik Pakis.  "Pada 1999, karena petani Pundenrejo mempunyai latar belakang sejarah di lahan nenek moyang dan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, petani Pundenrejo kembali memanfaatkan lahan tersebut," kata Zainudin.

Di tengah pandemi Covid-19 pada 2020 lalu Pabrik Pakis mengambil alih lahan lagi dari warga Pundenrejo. "Didampingi aparat kepolisian, tentara, dan sekelompok orang tidak dikenal merusak tanaman dan mengusir petani Pundenrejo," kata Zainudin.

Kini, warga menuntut HGB PT Pabrik Pakis di lahan tersebut dicabut. Selain berkaitan dengan reklaim warga, Pabrik Pakis juga diaporkan menyalahgunakan HGB itu karena malah menanami lahan dengan tebu.

"Tolak segala bentuk izin baru Pabrik Gula Pakis di atas lahan nenek moyang kami," ucap Zainudin. "Stop segala bentuk aktivitas oleh PG Pakis di atas lahan nenek moyang."

Warga Pundenrejo, kata Zainudin menambahkan, meminta Badan Pertanahan Nasional mengembalikan lahan yang telah digarap turun temurun kepada petani. "Mendorong Kementerian ATR/BPN untuk segera mengembalikan tanah nenek moyang petani Pundenrejo," ujarnya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus