Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Hari Masyarakat Adat Sedunia Ingatkan Ancaman Triple Planetary Crisis dan Solusinya

Masyarakat adat sedunia dipercaya bisa membantu hadapi ancaman krisis itu. Sayang, di Tanah Air, belum dihitung serius.

9 Agustus 2024 | 23.57 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Bogor - Kelompok Kerja Areal Konservasi Kelola Masyarakat Indonesia mengajak publik dan para pengambil kebijakan mengambil aksi konkret dalam mengatasi ancaman Triple Planetary Crisis. Ajakan diserukan bertepatan dengan Hari Masyarakat Adat Sedunia yang jatuh pada hari ini, Jumat 9 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Triple Planetary Crisis yang dimaksud adalah perubahan iklim, polusi, dan hilangnya biodiversitas. Kelompok kerja itu menekankan aksi konkret kolektif yang termasuk melibatkan masyarakat adat untuk menghadapinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Masyarakat adat dan pengetahuan tradisionalnya telah terbukti efektif dan berhasil dalam mencegah hilangnya keanekaragaman hayati dan perubahan iklim," bunyi ajakan itu seperti yang dibagikan dalam siaran pers Working Group ICCAs (Indigenous and Community Conserved Areas) Indonesia hari ini.

Atas dasar itu pula, tema Hari Masyarakat Adat Sedunia tahun ini adalah 'Masyarakat Adat: Inovasi dan Pengetahuan Tradisional'. Tema dan ajakan ini juga dinilai sejalan dengan dorongan global lewat berbagai komitmen seperti KM-GBF (Kunming Montreal-Global Biodiversity Framework) dan Paris Agreement.  

Meskipun dorongan semakin kuat untuk mengakui hak-hak masyarakat adat, dan praktik konservasinya telah terbukti jauh lebih efektif dan berkelanjutan, Kelompok Kerja Areal Konservasi Kelola Masyarakat Indonesia menilai hak-hak masyarakat adat di Indonesia belum terlindungi dan mendapat kepastian hukum secara maksimal. Ini disebutkan tercermin dalam beberapa kebijakan UU-KSDAHE (Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya) yang baru saja direvisi.

"Misalnya terkait pasal yang mengatur Areal Preservasi yang belum begitu jelas, dan berpotensi menimbulkan konflik di lapangan dengan adanya pasal yang mengatur tentang pelepasan hak atas tanah yang bagi pemegang izin yang tidak melakukan kegiatan konservasi (ala negara)," tutur Ihsan Maulana, Policy Engagement Officer di Kelompok Kerja itu dalam keterangan tertulis yang sama.

UU KSDAHE juga disebutkannya tidak mengatur prinsip persetujuan (Free, Prior, Informed Consent) dan mekanisme resolusi konflik untuk penetapan kawasan konservasi yang dilakukan di wilayah adat. Bahkan secara keseluruhan UU KSDAHE dipandang tidak menunjukkan perubahan yang transformatif.

"Dengan kondisi berbagai kebijakan yang tidak berpihak pada Masyarakat Adat, maka RUU Masyarakat Adat harus menjadi prioritas agenda legislasi nasional," kata Ihsan sambil menambahkan, "Ketiadaan UU Masyarakat Adat, akan menempatkan Masyarakat Adat dan lingkungan hidup dalam kondisi yang semakin terancam."

Selain UU KSDAHE, kritik juga tertuju kepada dokumen Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) yang diluncurkan Kamis, 8 Agustus 2024. Dokumen ini ditujukan sebagai kebijakan dan panduan implementasi Kunming Montreal-Global Biodiversity Framework.

Saat peluncuran, Cindy Julianty selaku Program Manager di Kelompok Kerja Areal Konservasi Kelola Masyarakat Indonesia, telah menyampaikan bahwa ndonesia bukan hanya negara Mega-Biodiversity, tapi juga negara Bio-Cultural Mega-Diversity. "Leluhur sudah mengajarkan kita bagaimana hidup harmoni dengan alam, sehingga konservasi keanekaragaman hayati adalah bagian dari kebudayaan kita," katanya.

Ditegaskan Cindy, praktik yang dilakukan masyarakat adat telah berkontribusi terhadap konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati. Karenanya, dia menyatakan, dapat juga dihitung sebagai kontribusi pada capaian menurut IBSAP. 

"Kuncinya adalah pada pengakuan dan perlindungan pemerintah terhadap hak-hak masyarakat adat, karena pengetahuan tradisional dan kekayaan budaya kita adalah aset bangsa.” katanya lagi.

Foto aerial kawasan hutan Gunung Batu Benau, Desa Sajau Metun, Kabupeten Bulungan, Kalimantan Utara. Untuk melindungi keberlangsungan hidup Suku Punan Batu Benau Sajau, Pemerintah Kabupaten Bulungan memberikan Surat Keputusan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) sebagai legalitas untuk memperkuat eksistensi masyarakat adat. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Pada momentum Hari Keanekaragaman Hayati pada Mei lalu, Kelompok Kerja merilis data registrasi Areal Konservasi Kelola Masyarakat. Dicatat, ada 524.501 hektare wilayah yang dilindungi oleh masyarakat adat dan komunitas lokal melalui praktik kearifan lokal, dengan potensi seluruhnya mencapai 4,2 juta hektare. 

Praktik-praktik itu tersebar di berbagai tipe lanskap dan ekosistem, baik di wilayah daratan, maupun pesisir dan laut, seperti tana’ ulen, leweung titipan, lubuk larangan, awig-awig, sasi, dan lain-lain.

Kelompok Kerja Areal Konservasi Kelola Masyarakat Indonesia terbentuk pasca-Simposium Areal Konservasi Kelola Masyarakat di Bogor 13-14 Oktober 2011. Kelompok Kerja ini beranggotakan 20 organisasi masyarakat sipil di Indonesia diantaranya adalah JKPP, AMAN, Sawit Watch, Pusaka, HuMa, KIARA, BRWA, Sawit Watch, NTFP-EP Indonesia dan WWF Indonesia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus