Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Masyarakat pemilik hak atas tanah di Sipora Utara, Kepulauan Mentawai, beramai-ramai menebang hutan alam karena mudah mendapatkan izin
Pemilik lahan cukup memegang hak akses Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan dari Balai Pengelolaan Hutan Produksi Wilayah III Pekanbaru.
Biasanya masyarakat yang mengajukan permintaan hak akses itu sudah digandeng oleh perusahaan pemodal.
HUTAN seluas 200 hektare dari 243 hektare milik Aser Sababalat dan sukunya dari Desa Sido Makmur, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, sudah habis ditebang. Lahan yang kini terbuka dan terlihat tanah merahnya itu berada di hutan Dusun Berkat, sekitar 500 meter dari pantai Dusun Pukarayat. Aktivitas penebangan hutan menggunakan alat berat itu berlangsung sejak Januari lalu.
Saat Tempo berkunjung pada akhir Juni lalu, tampak sebuah wheel loader tengah menumpuk batang-batang meranti dan keruing berdiameter di atas 50 sentimeter. Raungan gergaji mesin yang memotong pohon terus terdengar dari dalam hutan. “Kami bekerja tujuh hari seminggu. Kalau tak dikejar sekarang, nanti musim hujan alat berat tidak bisa masuk karena jalannya berlumpur,” kata seorang buruh kayu yang tak menyebutkan namanya.
Pohon yang menjadi sasaran utama pembalakan adalah kelompok meranti, seperti meranti putih, meranti merah, keruing, dan nyatoh. Pohon medang, terentang, dan terap juga ditebang. Pohon dengan batang berdiameter 30 sentimeter ke atas ditempeli kertas merah sebagai tanda bakal ditebang. “Pohon yang berdiameter 10 sentimeter juga akan ditebang untuk kebutuhan masyarakat di sini,” tutur buruh yang tengah mengawasi penumpukan kayu gelondong itu.
Dia mengatakan sebagian hasil pembalakan hutan di Berkat ini sudah dibawa ke tempat penampungan di pantai Pukarayat. Di sana sudah menunggu dua kapal ponton yang akan membawa kayu-kayu itu keluar dari Mentawai. Tampak satu kapal ponton sudah sarat dengan 5.000 meter kubik kayu yang akan dijual ke Surabaya. Yang lain masih kosong. Tak ada kertas berkode bar kuning pada kayu-kayu tersebut sebagai tanda legalitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Logpond tempat penumpukan kayu hak akses Aser Sababalat di Pantai Pukarayat, Sipora Utara, Sumatera Barat, Juni 2022/Tempo/Febrianti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penebangan hutan alam di kawasan area penggunaan lain (APL) itu dilakukan setelah pemilik lahan mendapat hak akses Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) dari Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) Wilayah III Pekanbaru, yang juga membawahkan hutan produksi di Sumatera Barat. Dengan hak akses itu, pemilik lahan mendapat legalitas menebang hutan dan menjual kayu gelondong ke luar Kepulauan Mentawai.
Aser Sababalat dan sukunya, contohnya, memiliki lahan seluas 243 hektare di hutan Berkat. Aser mendapat lima hak akses hutan dengan luas masing-masing di bawah 50 hektare. Pemberian hak akses dengan luas wilayah penebangan hutan dibatasi tiap 50 hektare itu membuat pembalakan bisa dilakukan tanpa harus ada dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) ataupun upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup.
Ihwal dokumen lingkungan, BPHP Wilayah III Pekanbaru hanya mewajibkan Aser memiliki surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL) dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Kepulauan Mentawai. SPPL yang hanya satu lembar kertas itu menyatakan kesanggupan pemilik hak atas tanah mengelola dampak penebangan terhadap lingkungan, seperti sampah penebangan, kemacetan, dan asap hasil pembakaran tebangan.
Aser mengaku penebangan hutan itu bermula dari kedatangan beberapa investor kayu ke tempatnya untuk mengajak bekerja sama. “Banyak orang di suku saya yang setuju, karena kebutuhan ekonomi,” kata Aser, 65 tahun, saat ditemui di rumahnya, 20 Juni lalu. “Harga kayunya cukup tinggi, Rp 70 ribu per meter kubik. Investor juga akan memberikan bibit pinang dan durian untuk ditanam setelah hutannya dibuka.”
Semua urusan hak akses hingga operasi penebangan dan penjualan kayu ditangani pemodal. Aser dan sukunya hanya perlu menyiapkan surat pernyataan kepemilikan tanah ulayat yang diketahui kepala desa dan camat. Aser dan sukunya akan menerima uang dari setiap kubik kayu yang ditebang. “Saya juga tidak tahu siapa investornya. Semuanya mereka yang urus. Kami hanya menerima harga kayu, tapi sampai sekarang kami belum menerima uangnya,” tuturnya.
Mudahnya pengurusan izin penebangan hutan di kawasan APL membuat masyarakat adat pemilik lahan hutan di Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan beramai-ramai mengajukan permintaan hak akses SIPUHH kepada BPHP Wilayah III Pekanbaru dalam setahun terakhir. Biasanya warga yang meminta hak akses itu sudah digandeng oleh perusahaan pemodal.
Robert Choi, 32 tahun, pemuda yang menetap di Desa Matobek, Kecamatan Sipora Selatan, ingat kehadiran investor kayu ke kampung halamannya sejak akhir tahun lalu. “Dalam satu desa ada masyarakat yang diberi roti kaleng saat Natal. Begitu cara mereka masuk. Setelah itu, banyak iming-iming yang ditawarkan,” katanya.
Ia menambahkan, investor itu berjanji membangun jalan di hutan agar warga mudah mengakses ladangnya. Janji lain adalah memberikan bibit pinang dan durian yang bisa ditanam setelah hutan ditebang. Masyarakat juga mendapat uang dari setiap kubik kayu yang ditebang. “Bagi kebanyakan masyarakat, tawaran itu masuk akal dan akan mudah tergoda karena bisa dapat uang cepat,” ujarnya.
Robert mengaku menolak tawaran investor atas hutan kaumnya di Mabakat, Desa Tuapejat, Sipora Utara. Hutan itu memiliki banyak pohon besar dan belum pernah ditebang. “Melihat kami tak tertarik dengan harga kayu per kubik, mereka menawari membelinya Rp 1 miliar, tapi tetap saya tolak,” ucapnya. “Tanah itu lebih penting untuk masa depan kami, untuk rumah, sampan, dan ladang,” kata Robert, yang berharap keluarga dan kaumnya tak goyah mempertahankan hutan adat.
Masyarakat di Desa Goisooinan di Sipora Utara yang awalnya setuju menyerahkan lahannya kepada investor kayu akhirnya menolak juga. Pasalnya, mereka menemukan banyak pohon yang berada jauh di dalam hutan adat mereka yang ditandai kertas merah untuk ditebang.
Menurut Ketua Lembaga Adat Goisooinan, Pilmar Sakerebau, awalnya masyarakat setuju dengan investor untuk menebang hutan di dekat pemukiman yang pernah dijadikan ladang dan kini menjadi hutan lagi. Tujuannya adalah investor membuka jalan sehingga mereka mudah menuju ladang. “Karena di hutan itu banyak kebutuhan kami, buat rumah, sampan, juga untuk air bersih. Akhirnya tidak jadi diserahkan,” ucapnya.
Kepala Seksi Perencanaan BPHP Wilayah III Pekanbaru Ruslan Hamid mengatakan saat ini institusinya telah memberikan lima hak akses SIPUHH di Pulau Sipora. Selain itu, ada delapan pemegang hak atas tanah yang sedang mengajukan permintaan hak akses SIPUHH di Pulau Sipora dan Pagai Selatan. Ia mengatakan status area hutan yang diminta masyarakat itu bukan kawasan hutan negara.
Ruslan menjelaskan, hutan hak adalah hutan yang dibebani hak atas tanah. “APL bukanlah kawasan hutan,” tuturnya. “Jadi status penguasaannya sesuai dengan peraturan yang terbaru, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 yang merupakan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 dan Undang-Undang Cipta Kerja.”
Menurut dia, izin di kawasan APL itu diberikan atas hak yang bersangkutan dan harus diketahui oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang yang diwakili Badan Pertanahan Nasional (BPN). “Kawasan APL itu bukan ranah kami. Tapi, karena di tanah itu ada tegakan hutan yang tumbuh alami, diperlukan hak akses SIPUHH bagi pemilik lahan yang akan mengelola kayunya agar hak-hak negara bisa dipungut,” kata Ruslan Hamid, Jumat, 22 Juli lalu.
Ihwal pemberian hak akses lahan yang rata-rata seluas 50 hektare, Ruslan mengatakan tujuannya adalah lebih mudah dipantau jika ada sengketa lahan. “Dalam mengeluarkan hak akses ini kami sangat rigid, harus ada surat dari BPN setempat, ada SPPL dari dinas lingkungan, dan ada rekomendasi dari bupati,” ujarnya. Namun, dia menambahkan, tanpa dokumen dari bupati pun hak akses itu tetap bisa diminta.
Banyaknya izin penebangan hutan melalui hutan hak ini juga mengejutkan mantan Bupati Kepulauan Mentawai, Yudas Sabaggalet. Saat masih menjabat pada Maret lalu, ia mengatakan mudahnya pengurusan izin menebang hutan adalah dampak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja. “Sekarang sedang marak-maraknya pengurusan izin untuk eksploitasi hutan. Jangankan rekomendasi, saya dikasih tahu saja tidak,” ucapnya.
Yudas mengatakan di Tuapejat, yang tak jauh dari kantor bupati, sudah dimulai penebangan hutan dengan izin yang diberikan BPHP Wilayah III Pekanbaru dan rekomendasi dari Sekretaris Daerah Kepulauan Mentawai saat itu, Martinus Dahlan. “Yang saya heran, dengan rekomendasi dari Sekda Mentawai saja itu sudah bisa jalan. Ya, saya diam saja, Sekda mungkin sudah tahu aturannya,” tuturnya.
Penjabat Bupati Kepulauan Mentawai, Martinus Dahlan, tidak merespons permohonan konfirmasi yang dikirim Tempo. Pesan WhatsApp yang menanyakan rekomendasi yang ia berikan untuk hutan hak atas nama Aser Sababalat dan Jasa Simangilailai saat menjabat Sekretaris Daerah Kepulauan Mentawai tidak dibalas.
Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai Rifai Lubis mengatakan pembukaan hutan besar-besaran di pulau kecil seperti Sipora banyak berdampak pada lingkungan, bisa mengganggu ekosistem, hidrologi, dan ketahanan pangan. “Kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan menjadi sulit,” katanya.
Menurut Rifai, yang paling bersalah adalah pemerintah karena masih menyodorkan pola eksploitasi hutan kepada masyarakat. “Itu pola lama yang terbukti tidak pernah berhasil. Pendapatan negara dari eksploitasi hutan di Mentawai juga tidak signifikan dibandingkan dengan kerusakan dan dampak-dampaknya yang mungkin tidak pernah dihitung secara materiil,” tuturnya.
FEBRIANTI (TUAPEJAT)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo