Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Toek Terganggu Pembalakan

Budi daya toek di Sungai Goisooinan dan Saurenuk di Sipora Utara terganggu penebangan hutan di hulu. Air yang keruh membuat toek tak bisa dipanen.

13 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sungai Goisooinan dan Sungai Saurenuk yang menjadi pusat budi daya dan penjualan toek, moluska yang hidup di dalam batang pohon.

  • Hutan di hulu kedua sungai yang berada di Desa Bukit Pamewa ditebang oleh pemiliknya.

  • Kalau air sungai meluap, toek tidak putih lagi, tapi berubah menjadi kotor dan merah, yang tidak bisa dijual.

PAGI hari, tampak lima perempuan dewasa tengah berendam di Sungai Goisooinan, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Mereka tidak sedang mandi, melainkan hendak memanen toek, hewan moluska yang hidup di dalam potongan batang pohon yang direndam di sungai yang berair payau.

Seorang perempuan terlihat mengangkat sepotong kayu yang terapung dan terikat tali itu. Ia lalu meletakkannya di atas batu dan membelahnya dengan kapak. Pada permukaan kayu yang terbelah itu tampak rongga-rongga yang menjadi sarang toek yang seperti cacing berwarna putih dan bening. Toek (Bactronophorus thoracites) memiliki panjang 10-30 sentimeter.

Para perempuan itu bekerja dengan cepat mengeluarkan toek dari sarang satu per satu dan menaruhnya di wadah plastik untuk dijual. Peminat toek kebanyakan langsung datang ke sungai, bahkan tak sedikit yang ikut berendam mengambil toek dari sarang dan langsung memakan toek segar. Satu potong kayu sarang toek itu dihargai Rp 150-200 ribu.

Dian Novita, 30 tahun, salah seorang perempuan yang membudidayakan toek, mengatakan setiap keluarga di Desa Goisooinan memiliki batang kayu sarang toek di sungai. “Selain untuk kebutuhan sendiri, ini untuk tambahan ekonomi. Yang mengurus ini perempuan,” kata Dian, yang dari sekali panen toek bisa mendapatkan Rp 1,5 juta.

Perempuan di Pulau Sipora, terutama di perkampungan yang dekat dengan laut, secara turun-temurun memiliki keterampilan membudidayakan toek. Caranya, batang pohon yang dipotong-potong sepanjang 50 sentimeter dijemur dulu selama dua minggu. Setelah setiap batang diikat dengan tali, semua direndam di dalam sungai yang tenang. Toek akan bersarang di dalam batang itu selama enam bulan direndam.

Pohon yang biasa digunakan untuk budi daya toek adalah tumung (Arthrophyllum diversifolium) dan bakbang (Campnosperma auriculata). “Tapi yang paling enak itu toek di dalam pohon bakbang karena lebih harum,” tutur Dian. Pengambilan pohon pun tak bisa sembarangan. Pada musim buah, pohon tumung di dalam hutan tidak boleh ditebang. “Karena pohon buah-buahan akan rontok,” Dian menjelaskan.

Di hutan, masyarakat adat biasanya mempunyai banyak pohon buah, seperti durian, tuk-tuk (jenis durian berduri lunak), rambutan, duku, kuweni, dan manggis. Musim buah datang setiap dua tahun. Agar pohon tumung tidak cepat habis, para perempuan mulai menanamnya di pinggir sungai. “Bibitnya dari biji. Tumung ini tumbuhnya cepat, lima tahun sudah bisa digunakan untuk sarang toek,” ujar Dian.

Di Pulau Sipora, toek adalah makanan yang sangat populer dan unik. Banyak orang berburu toek di Sungai Goisooinan dan Sungai Saurenuk, yang menjadi pusat budi daya dan penjualan toek. “Yang paling mencemaskan kami kalau sungai ini banjir, toek-nya tidak putih lagi, tapi berubah menjadi kotor dan merah. Itu tidak bisa dijual,” ucap Dian.

Dian bercerita, saat ini banjir lebih sering terjadi. Hujan satu hari saja menyebabkan air Sungai Goisooinan meluap karena kedatangan air dari hulu di SP-3 Tuapejat. “Ini yang kami takutkan. Apalagi toek ini menjadi sumber ekonomi perempuan di Goisooinan,” ujarnya. Saat ini hutan di hulu kedua sungai yang berada di Desa Bukit Pamewa ditebang oleh pemiliknya melalui izin hutan hak akses.

Kepala Desa Saurenuk, Tirjelius Taikatubutoinan, mengatakan hulu sungai di Saurenuk dan Goisooinan berada di daerah SP3 yang sudah banyak ditebang untuk jalan penebangan itu. “Dampaknya, sungai di Saurenuk dan Goisooinan menjadi keruh karena hulunya sudah rusak akibat penebangan hutan,” katanya. “Toek isinya tidak bagus. Padahal itu sumber pendapatan kaum perempuan di sini.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indra Junaidi, dosen biologi laut dari Universitas Andalas, menjelaskan bahwa toek hidup dari memakan kayu tempat hidupnya. Toek juga sangat bergantung pada perairan yang bersih untuk bisa tumbuh dengan baik. “Kalau ada penebangan di hulu sungai, itu sangat berpengaruh terhadap toek. Bibit toek yang berada di perairan juga tidak bisa tumbuh karena adanya sedimentasi,” tuturnya.

Jika tingkat sedimentasi atau pengendapan tanah tinggi, Indra menambahkan, cahaya matahari tidak bisa masuk ke perairan. Hal itu juga menyebabkan toek tidak bisa tumbuh dan mengganggu reproduksinya.

FEBRIANTI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus