Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Belajar 'Menulis' Bersama

Menulis itu bukan bakat, menulis itu perlu latihan.

5 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lima tahun belajar tentang sastra membuat Budiman Sukma tetap tak dapat menemukan apa yang dicari: bagaimana bisa menulis. Padahal, semakin sering dia membaca, ekspektasinya semakin tinggi untuk bisa menulis dengan baik.

Alfian D. mengalami hal serupa. Mahasiswa sastra di dua perguruan tinggi negeri di Makassar ini mengaku bingung harus belajar ke mana perihal tulis-menulis. Pencarian itu yang membuat mereka bertemu dalam Kelas Penulisan Kreatif yang digelar Penerbitan Kampus Identitas Universitas Hasanuddin, bekerja sama dengan Komunitas Literasi Makassar.

Kelas perdana digelar Sabtu lalu. "Kelas ini akan berlangsung selama enam bulan," kata Idham Malik, Kepala Sekolah Kelas Penulisan Kreatif.

Jika Budiman dan Alfian ingin lebih mendalami dunia tulis-menulis, Irnawati mengaku sudah sering menulis. Tapi, setiap kali membaca tulisannya sendiri, Irna mengaku tak tahu masalahnya di mana. "Saya bingung kekurangan tulisan saya itu apa," dia mengungkapkan.

Ayub Gazali, seorang mahasiswa dari Fakultas Pertanian, mengungkap alasan yang berbeda lagi. Dia memilih ikut Kelas Penulisan Kreatif karena mengatakan sulit berbahasa kreatif. Menurut dia, selama ini istilah-istilah sains yang terkesan monoton menjejali benaknya.

Dosen Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Alwy Rachman, mengatakan kurikulum pembelajaran dalam kebanyakan kelas tidak mendidik untuk menjadi penulis. "Kita akan dipenuhi oleh hafalan, dipuaskan oleh hafalan. Bukan imajinasi, bukan mengelaborasi suatu masalah," dia menilai.

Hal itu, kata dia, berbeda dengan semangat kurikulum di negara Barat, di mana pengalaman naratif sudah tertanam sejak kecil. "Menulis itu bukan bakat, tapi komitmen. Menulis itu melatih kepekaan," dia menguraikan.

Dosen bahasa dan sastra di Universitas Negeri Makassar, Aslan Abidin, juga mengatakan bahwa peradaban di negeri sendiri juga belum mempersiapkan individu untuk menjadi intelektual. Menurut Aslan, ada banyak hal yang membentuk manusia di Indonesia untuk tidak menjadi intelektual, di antaranya adalah kultur pendidikan. "Kultur pendidikan kita, misalnya, menciptakan suasana bahwa bertanya itu bagian dari risiko," kata dia.

Padahal, kata Aslan, inti dari ilmu pengetahuan adalah bertanya. "Bertanya, menjawab, dan menemukan sesuatu adalah proses menemukan ilmu pengetahuan," ucap dia.

Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Aslan mengatakan kultur pendidikan yang ada membuat siswanya sering tidak senang pada penemuan, di mana hal-hal baik kadang menjadi buruk. Kebudayaan yang ada, kata dia lagi, sudah membunuh inti pengetahuan itu, yakni tidak boleh bertanya. "Ada banyak hal di sekitar kita yang menguburkan sikap-sikap kritis," kata Aslan.

Dia mencontohkan saat seseorang dihadapkan pada kata tabah atau pasrah. Menurut dia, pasrah itu ada dua hal, yakni pasrah kepada Tuhan dan pasrah secara sosial. "Nah, sering kali orang menyamakannya. Padahal pasrah secara sosial itu tidak bisa. Anda harus protes dan melawan."

Diskusi dalam kelas dipandu oleh Nurhady Sirimorok. Pesertanya pada kelas perdana itu sekitar 30 orang, yang hampir separuhnya menyampaikan persoalan seputar kesulitan menulis. Masalah yang diungkap itu antara lain adalah banyak faktor pengalih dari membaca, pengalaman dramatis, hingga tidak mengetahui posisi seorang penulis.

Alwy mengingatkan, dalam menulis, ada hal yang tidak bisa dihilangkan, yakni subyektivitas. "Tapi jangan keburu membunuhnya," kata dia.

Ia juga mengingatkan yang perlu diwaspadai dalam menulis adalah pemilihan kata. "Saya paling takut dengan kata. Kata itu licin sekali dan susah ditaklukkan," dia mengutarakan pengalaman pribadinya. Alwy mengaku sering kali menemukan dirinya berbohong, karena apa yang ditulis belum tentu bisa diwakili oleh kata.

Aslan menambahkan, semua penulis memiliki latar belakang bacaan. Karakter akan muncul ketika banyak membaca. "Saya menemukan dunia yang luar biasa yang bernama buku. Membaca itu yang membuat saya bisa menulis," dia memberi kesaksian.

Aslan dan Alwy sepakat harus ada upaya menciptakan iklim yang diinginkan, seperti membuat kelompok sendiri dan menciptakan dunia sendiri. Hal itu dilakukan, antara lain, dengan membuat kelas bersama. "Menulis ini harus diupayakan, harus diusahakan, dan butuh kerja keras," kata keduanya.


Agenda Komunitas

-Pameran "Speaking, Potraits, Shifting Spaces"
Tempat : Rumata' ArtSpace
Waktu : 4-11 Januari 2015

-Nobar dan Diskusi Film Senyap "The Look of Silence"
Tempat : PK Identitas Universitas Hasanuddin
Waktu : 6 Januari 2015

-Kelas Penulisan Kreatif
Tempat : PK Identitas Universitas Hasanuddin
Waktu : 17 Januari 2015

-Komunitas Skholatanpabatas Relawan 2015 Skhola Conference/orientasi
Tempat : Makassar
Waktu : 1 Februari 2014

-Makassar Jazz Reunion "Poetra and Live Performing"
Tempat : Liquid di Hotel Grand Clarion Makassar
Waktu : 30 Januari 2015

***

Infokan agenda kampus, budaya, dan kegiatan komunitas Anda ke nomor ponsel 0813-5536-9005 atau alamat surel imhe_mks@yahoo.com.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus