Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Reformasi Kenaikan Jabatan Profesor

Proses kenaikan jabatan profesor di Indonesia tidak lagi relevan dengan tuntutan global. Perlu reformasi agar lebih inovatif.

11 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROSES kenaikan jabatan profesor di Indonesia diwarnai birokrasi ketat, terutama ihwal kelinieran pendidikan strata tiga atau S-3, publikasi ilmiah, dan bidang penugasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam Panduan Operasional Penilaian Angka Kredit 2019, misalnya, kenaikan jabatan profesor dinilai dari kelinieran pendidikan S-3 dengan riset dan penugasan yang dilakukan. Jika bidang ilmu S-3 tidak satu jalur dengan riset ilmiah yang dilakukan dan mata kuliah yang diajar, dosen yang bersangkutan tidak bisa naik ke jenjang profesor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski syarat administrasinya sangat ketat, praktik tidak etis dan pelanggaran akademis masih terjadi.

Selain justru menciptakan ruang untuk jalan pintas seperti program percepatan guru besar, kebijakan semacam ini sudah tidak lagi relevan. Sebab, kampus-kampus di luar negeri justru menunjukkan fleksibilitas yang tepat sasaran. Misalnya, memberikan jabatan profesor berdasarkan karya-karya yang dihasilkan dosen secara konsisten, bukan dari kelinieran pendidikan S-3 dan riset.

Sebut saja Michael Myers dari University of Auckland, Selandia Baru. Michael merupakan profesor sistem informasi berlatar belakang S-3 antropologi sosial. Ada juga Monica Whitty, profesor bidang keamanan siber di Monash University yang berpendidikan S-3 psikologi, atau Roman Beck, profesor blockchain (teknologi bank data digital yang terhubung dengan kriptografi) yang berlatar belakang S-3 administrasi bisnis.

Hal ini menunjukkan bahwa di luar negeri, variasi latar belakang tidak dianggap aneh, tapi justru menjadi nilai tambah yang memperkaya perspektif akademik dan inovasi. Artinya, konsistensi dalam berkarya dan dampak penelitian seharusnya menjadi faktor utama penilaian untuk kenaikan jabatan profesor.

Ilustrasi seorang profesor sedang mengajar mahasiswa. PEXELS

Konsistensi Jalur Karier Sejak Awal

Di beberapa universitas di Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan Singapura, dosen dapat memilih karier secara fleksibel melalui tiga jalur: pengajaran, penelitian, atau praktisi. Jalur ini memungkinkan dosen untuk berfokus pada area yang paling sesuai dengan keahlian dan minat mereka.

Profesor praktisi atau klinis dan profesor pengajaran tidak diharapkan untuk meriset atau menulis publikasi ilmiah di jurnal akademis. Sebagai gantinya, mereka bisa menulis di media massa atau majalah industri dan profesi, yang sering kali lebih relevan dengan keahlian serta kontribusi mereka.

Beberapa universitas menggabungkan peran profesor pengajaran dan praktisi menjadi satu. Misalnya, Harvard Law School memiliki profesor yang merupakan praktisi hukum dan berfokus mengajar. Profesor pengajaran harus mengajar lebih banyak daripada profesor riset. Mereka juga dituntut untuk berinovasi demi meningkatkan efektivitas pengajaran dan pembelajaran.

Di sisi lain, profesor praktisi harus memiliki pengalaman kerja yang luas dan dikenal di dunia profesi atau industri. Pengalaman praktis mereka membawa wawasan dunia nyata ke dalam kelas sehingga sangat berharga bagi mahasiswa.

Dengan memberikan opsi jalur karier yang lebih fleksibel, universitas dapat menghargai kontribusi dosen dalam berbagai bentuk. Fleksibilitas ini juga menghilangkan tekanan untuk memenuhi standar yang tidak selalu relevan dengan pekerjaan mereka. Model ini tidak hanya meningkatkan kualitas pengajaran dan pembelajaran, tapi juga memastikan bahwa universitas mendapat manfaat dari keahlian praktis dan inovatif para dosen.

Penyamarataan bahwa semua dosen harus melakukan riset dan publikasi untuk mencapai jenjang profesor penuh tanpa evaluasi yang memadai dapat berdampak negatif. Hal ini dapat menghasilkan “profesor publikasi instan” atau publikasi yang bermasalah yang hanya berfokus pada publikasi untuk mendapatkan angka kredit dan jabatan. Setelah mencapai posisi profesor penuh, ada yang berhenti melakukan riset dan publikasi.

Mengubah Cara dan Indikator Evaluasi

Untuk meningkatkan kualitas akademis, Indonesia memerlukan kebijakan yang lebih dinamis dengan tetap mempertimbangkan standar kualitas. Beberapa solusi yang bisa diadopsi adalah:

1. Evaluasi Berdasarkan Dampak dan Kontribusi

Sistem evaluasi kenaikan jabatan profesor di Indonesia perlu bergeser dari penekanan pada kesejaluran pendidikan dan riset ke berfokus pada dampak serta kontribusi karya ilmiah. Misalnya dari peraih Hadiah Nobel, seperti Herbert Simon (S-3 politik, Nobel Ekonomi), Marie Curie (S-3 fisika, dua Nobel di Fisika dan Kimia), serta Daniel Kahneman (S-3 psikologi, Nobel Ekonomi) menunjukkan bahwa prestasi dan kontribusi lebih penting daripada kelinieran pendidikan.

Dengan mengadopsi pendekatan ini, sistem evaluasi profesor di Indonesia bisa lebih menghargai inovasi dan dampak nyata dari penelitian, bukan hanya kesesuaian administratif. Dosen yang risetnya mungkin belum banyak tetap berpeluang menjadi profesor selama berkontribusi nyata dalam inovasi pengajaran dan dikenal luas di dunia praktis serta profesional.

Pengukuran kinerja dosen semacam ini dapat disesuaikan. Kampus perlu mengakui dampak konkret yang mereka hasilkan. Ini juga mencakup penghargaan terhadap inovasi dan keberhasilan praktis seorang dosen ke dalam lingkungan akademik, profesional, serta masyarakat.

Ilustrasi seorang dosen sedang mengajar. PEXELS

2. Pengakuan terhadap Interdisiplin

Sistem pendidikan tinggi di Indonesia harus mengakui dan mendorong pendekatan interdisipliner atau penggunaan berbagai sudut pandang ilmu serumpun yang relevan. Penelitian yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dapat menghasilkan solusi yang lebih komprehensif terhadap permasalahan kompleks. Contohnya, seorang profesor teknologi informasi dari Monash University, Australia, Sarah Pink, yang berlatar antropologi sosial dapat memberikan perspektif unik dalam mengatasi masalah teknologi dengan pendekatan humanistik.

Demikian pula Monica Whitty. Ia, dengan pendekatan psikologinya, berhasil memberikan kontribusi ihwal faktor psikologi manusia dalam isu keamanan siber.

Dengan membuka pintu bagi penelitian interdisipliner, universitas dapat mendorong inovasi yang lebih beragam dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.

3. Mendorong Kolaborasi dan Pertukaran Keahlian

Kolaborasi dan pertukaran keahlian antar-akademikus merupakan elemen penting dalam dunia penelitian. Akademikus sering kali bekerja dalam tim riset dan sebagai konsultan ahli yang terdiri atas berbagai pakar dengan latar belakang berbeda. Misalnya, tim yang terdiri atas ahli psikologi, teknologi informasi, dan manajemen dapat menghasilkan penelitian yang lebih komprehensif serta inovatif.

Sebagai contoh, proyek riset di Monash University mengenai kecerdasan artifisial (AI) untuk kesehatan mental melibatkan beberapa profesor di bidang teknologi informasi (AI serta interaksi manusia dan komputer), ilmu saraf, serta psikologi. Kolaborasi ini memungkinkan pertukaran pikiran yang kaya dan pengembangan keahlian baru.

Karena itu, latar belakang pendidikan yang berbeda seharusnya tidak menjadi penghalang, melainkan peluang untuk pengayaan ilmu dan inovasi.

Dengan mendorong kolaborasi dan pertukaran keahlian, sistem pendidikan tinggi di Indonesia dapat lebih adaptif dan responsif terhadap perubahan serta tantangan global. Kenaikan jabatan profesor di Indonesia memerlukan reformasi untuk mengakomodasi fleksibilitas dan interdisiplin dalam penelitian serta pengajaran.

Kebijakan yang terlalu kaku dalam menilai kesejajaran antara pendidikan S-3, riset ilmiah, dan penugasan untuk menjadi profesor, justru dapat menghambat inovasi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Kebijakan ini juga mengesampingkan kontribusi dosen di pengajaran dan dunia praktis serta profesional.

Dengan mengadopsi pendekatan yang lebih fleksibel dan menghargai karya dan kontribusi, Indonesia dapat menciptakan lingkungan akademis yang lebih inovatif dan responsif terhadap perubahan zaman.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus