Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Siapa Penulis Alkitab

Alkitab merupakan buku yang paling banyak dibaca di dunia. Pertanyaannya, siapa penulis Alkitab? Akademikus menjawabnya.

27 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Alkitab, teks suci bagi seperempat populasi bumi, merupakan buku yang paling banyak dibaca di dunia dengan 7 miliar jilid, terutama saat Natal.

  • Terdapat empat teori yang menjelaskan penulis Alkitab, termasuk ditulis oleh Roh Kudus dan oleh manusia tanpa campur tangan Tuhan.

  • Akademikus yakin penulis Injil bukan hanya satu orang, seperti juga kitab-kitab dalam Perjanjian Lama.

Alkitab berisi sejarah panjang dunia, dari penciptaan, kehancuran, penebusan, hingga Pengadilan Terakhir oleh Tuhan terhadap semua yang hidup dan telah mati. Kitab Perjanjian Lama, sejak 300 SM, dimulai dari penciptaan dunia serta Adam dan Hawa, pengingkaran mereka terhadap Tuhan, juga pengusiran mereka dari surga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kitab Perjanjian Baru mengenang penebusan bagi kemanusiaan yang hadir lewat kehidupan, kematian, serta kebangkitan kembali Yesus. Kitab ini ditutup dengan Kitab Wahyu, yang mengisahkan sejarah dan Pengadilan Terakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama 400 tahun pertama kehadiran agama Kristen, gereja butuh waktu untuk memutuskan Perjanjian Baru. Baru pada 367 Masehi otoritas menentukan 27 kitab yang menjadi Perjanjian Baru.

Pertanyaannya, siapa yang menulis Kitab Injil tersebut? Secara garis besar, terdapat empat teori yang menjawabnya. 

1. Alkitab Ditulis oleh Tuhan

Semua penganut Nasrani yakin bahwa Alkitab mengandung kekuasaan penuh. Banyak yang memandangnya sebagai kata-kata ilahiah. Namun ada ketidaksepahaman yang signifikan mengenai pemaknaannya.

Di titik yang paling ekstrem, ada yang meyakini bahwa Tuhan secara langsung mendikte kata per kata kepada penulis, yang berperan layaknya musikus yang memainkan komposisi. Pada abad II, filsuf Kristen, Justin Martyr, menyatakan Alkitab hanya dibutuhkan bagi orang-orang suci: “Untuk menyerahkan tubuh mereka yang telah disucikan kepada Roh Kudus, ... sehingga dapat mengungkapkan kepada kita kebenaran ilahi dan surgawi.”

Pandangan ini berlanjut hingga gereja Katolik abad pertengahan. Pada abad XIII, teolog Katolik, Thomas Aquinas, secara sederhana menyatakan bahwa “penulis kitab suci adalah Tuhan”. Dasar argumennya adalah setiap kata dalam Alkitab dapat memiliki lebih dari satu makna alias bisa diinterpretasikan secara berbeda-beda.

Gerakan reformasi agama yang dikenal dengan Protestan menyapu seluruh Eropa pada abad XVI. Gerakan itu memunculkan kelompok gereja baru, di samping Katolik dan Gereja Ortodoks Timur.

Umat Protestan mengusung “sola scriptura”, yang berarti kitab suci semata. Pendekatan ini menempatkan Alkitab sebagai otoritas tertinggi melebihi gereja. Dampaknya, terbentuk penekanan yang lebih besar pada kitab suci dan pandangan “dikte ilahi” kian besar.

Contohnya, pernyataan John Calvin, tokoh Protestan: “Para nabi tidak berbicara dari pemikiran sendiri, melainkan sebagai bagian dari Roh Kudus. Mereka hanya menyampaikan apa yang surga perintahkan.”

Dikte ilahiah berhubungan dengan pemikiran bahwa Alkitab tak tercela karena bersumber langsung dari Tuhan. Secara umum, selama 1.700 tahun pertama sejarah Kristen, hal tersebut merupakan asumsi, yang hanya sesekali dipertanyakan. Namun, mulai abad XVIII, baik sejarah maupun ilmuwan mulai meragukan asal-asul Alkitab. Hal-hal yang sebelumnya diyakini sebagai fakta mulai dianggap sebagai mitos dan legenda semata.

Kemustahilan kesalahan pada Kitab Suci menjadi hal terpenting dalam gerakan fundamentalisme yang berkembang pada abad XX. Pernyataan Chicago tentang Inerasi atau Ketidabersalahan Alkitab pada 1978 menyebutkan: “Karena semua ajaran diberikan oleh Allah secara lisan, Kitab Suci tidak memiliki kesalahan atau kekurangan dalam ajarannya. Semua yang dinyatakan tentang tindakan Allah dalam penciptaan, peristiwa-peristiwa dalam sejarah dunia, dan asal-usul literasinya sendiri di bawah kekuasaan Allah.”

Ilustrasi alkitab. Shutterstock

2. Alkitab Ditulis Manusia yang Terinspirasi oleh Tuhan: Pandangan Konservatif

Di samping teori dikte ilahiah, ada teori inspirasi ilahiah bagi penulis Alkitab. Dalam pandangan ini, Tuhan dan manusia bekerja sama menulis Alkitab. Jadi bukan kata per kata, melainkan para penulisnya terinspirasi oleh Tuhan.

Berdasarkan Reformasi Gereja, ada dua versi teori ini. Berdasarkan versi konservatif, yang banyak diyakini oleh penganut Protestan, Alkitab ditulis oleh manusia, dengan pengaruh besar dari Tuhan.

Penganut Protestan percaya bahwa kekuasaan Tuhan membatasi kebebasan manusia. Namun bahkan pengusung Reformasi Gereja, seperti Martin Luther dan John Calvin, mengakui bahwa variasi dalam cerita-cerita Alkitab merupakan hasil kerja manusia.

Umat Katolik cenderung lebih mengakui kebebasan manusia di atas kedaulatan ilahi. Sebagian dari mereka tergoda oleh gagasan bahwa penulisnya adalah manusia, sementara campur tangan Tuhan semata untuk mencegah terjadinya kesalahan.

Contohnya, pada 1625, Jacques Bonfrère mengatakan bahwa Roh Kudus bertindak: “Bukan mendikte, melainkan seperti mengawasi orang yang sedang menulis. Menjaga mereka agar tidak melakukan kesalahan.”

Pada awal 1620-an, Uskup Agung Split di Kroasia, Marcantonio de Dominis, bertindak lebih jauh. Dia membedakan mana bagian Alkitab yang diwahyukan Tuhan kepada para penulisnya dan mana yang tidak. Dia yakin kesalahan sangat mungkin terjadi.

Dua abad setelahnya, pandangan De Dominis didukung oleh John Henry Newman, yang mempelopori gerakan Oxford terhadap Gereja Inggris. Gereja Katolik Roma kemudian menjadikannya kardinal dan santo.

Newman berpendapat bahwa ada selingan penambahan tulisan manusia di antara kitab-kitab yang terilhami secara ilahiah. Dengan kata lain, persoalan iman dan moral dalam Alkitab memang terilhami, tapi bukan soal ilmu pengetahuan dan sejarah. Kadang, sulit membedakan pandangan konservatif ini dengan dikte ilahi.

3. Alkitab Ditulis Manusia yang Terinspirasi oleh Tuhan: Pandangan Liberal

Pada abad XIX, baik pada gereja Protestan maupun Katolik, teori konservatisme tergeser oleh pandangan yang lebih liberal. Pandangan ini menyatakan Alkitab memang ditulis oleh manusia yang terinspirasi oleh Tuhan, tapi juga ada pengaruh waktu dan lingkungan. Dengan demikian, tulisan mereka dipengaruhi oleh konteks budaya.

Meskti tetap menjunjung tinggi status Alkitab bagi umat Kristen, pandangan ini mengakui adanya kesalahan dalam kitab suci. Misalnya, pada 1860, teolog Anglican, Benjamin Jowett, menyatakan, “Doktrin inspirasi apa pun yang benar harus sesuai dengan fakta sejarah dan sains.”

Bagi Jowett, memegang teguh kebenaran Alkitab ketimbang penemuan-penemuan ilmiah dan sejarah sama artinya dengan merugikan agama. Meski kadang-kadang sulit untuk membedakan antara pandangan liberal tentang inspirasi dan ketiadaan makna inspirasi sama sekali.

Pada 1868, sebuah gereja Katolik konservatif menolak pandangan liberal dan menyatakan Alkitab ditulis langsung oleh Tuhan. Konsili Gereja—yang dikenal sebagai Vatikan 1—mendeklarasikan bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru “ditulis di bawah ilham Roh Kudus dan Allah adalah penulisnya.”

Ilustrasi alkitab. Shutterstock

4. Alkitab Ditulis Manusia tanpa Bantuan Ilahi

Pada akhir abad XIX, kalangan Kristen yang paling liberal tak lagi mengenal gagasan bahwa Alkitab diilhami secara ilahiah.

Penganut Kristen yang liberal mengikuti kaum sekuler yang mengabaikan pertanyaan soal keakuratan Alkitab secara historis ataupun ilmiah. Mereka menerima pandangan bahwa Alkitab merupakan karya manusia. Siapa penulisnya? Pertanyaan itu tak berbeda dari pertanyaan soal penulis manuskrip kuno lainnya.

Jadi siapa penulis Alkitab? Secara sederhana, kita bisa menjawab dengan menyebutkan nama pengarang pada kitab tersebut, yaitu Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes, yang dikenal sebagai empat penulis Injil. 

Namun gagasan soal siapa penulis Alkitab ini rumit dan problematik. Begitu juga studi sejarah tentang naskah-naskah kuno secara umum. Sebab, sulit mengidentifikasi penulis aslinya.

Isi 39 kitab dalam Perjanjian Lama sama dengan 24 kitab dalam Taurat-nya Yahudi. Dalam studi kontemporer Perjanjian Lama, disepakati bahwa kitab-kitab tersebut bukan tulisan satu orang, melainkan hasil dari rangkaian kisah sejarah panjang yang berubah-ubah.

Maka tidak ada lagi perdebatan soal siapa penulisnya. Sebab, kitab-kitab tersebut merupakan hasil dari banyak orang yang menulis dan mengedit, dengan versi tulisan yang berbeda-beda.

Hal yang kurang-lebih sama berlaku pada Perjanjian Baru. Meski 13 surat diatribusikan kepada Santo Paulus, ada keraguan soal penulis tujuh surat di antaranya, yaitu Efesus, Kolose, 2 Tesalonika, 1 Timotius, 2 Timotius Titus, dan Ibrani. Ada juga silang pendapat soal penulis awal sejumlah surat lain. Kitab Wahyu, misalnya. Dulu kitab itu diyakini ditulis oleh Yohanes, murid Yesus. Namun sekarang disepakati bahwa bukan dia penulisnya.

Secara tradisional, penulis empat Injil dianggap sebagai rasul Matius dan Yohanes, Markus (pendamping Petrus, murid Yesus), serta Lukas (pendamping Paulus, penyebar Kristen ke kalangan Yunani dan Romawi pada abad I). Namun Injil yang ditulis secara anonim baru dikaitkan dengan tokoh-tokoh tersebut pada abad II dan  III.

Tanggal pembuatan Injil juga menunjukkan kitab-kitab tersebut tidak ditulis oleh orang yang hidup satu masa dengan Yesus. Injil paling awal, Markus, ditulis sekitar 30 tahun setelah kematian Yesus, antara 29 sampai 34 Masehi. Injil terakhir, Yohanes, ditulis sekitar 60 sampai 90 tahun setelah kematian Yesus.

Jelas bahwa penulis Injil Markus mengambil tradisi gereja awal tentang kehidupan dan ajaran Yesus, lalu merangkumnya dalam bentuk biografi kuno. Kemudian Injil Markus menjadi referensi utama bagi penulis Injil Matius dan Lukas. Para penulis itu memiliki akses ke sumber yang sama, dikenal sebagai Q, dari ucapan-ucapan Yesus beserta materi unik untuk masing-masing penulis.

Singkat kata, ada banyak penulis Injil yang tidak diketahui namanya.

Hal menarik lain adalah adanya kumpulan naskah yang dikenal dengan Apokrifa, yang ditulis antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sekitar 400 SM dan abad I. Gereja Katolik dan Ortodoks Timur menganggapnya sebagai bagian dari Alkitab, tapi gereja Protestan tidak.

Ditulis Tuhan atau Manusia, Mengapa Itu Penting?

Pertanyaan soal penulis Alkitab menjadi penting karena penganut Kristen, yang jumlahnya seperempat populasi dunia, meyakini kitab suci ini bukan bikinan manusia. 

Diilhami secara ilahiah memiliki makna transenden. Hal itu memberi umat Kristiani pemahaman soal dunia, sejarah, dan cara menjalani kehidupan. 

Siapa penulis Alkitab menjadi penting karena pandangan Alkitab merupakan penyebab tersembunyi dalam praktik ekonomi, sosial, dan personal. Sejak dulu dan nanti, pandangan ini menjadi sumber utama perdamaian, juga konflik.

Siapa penulis Alkitab juga menjadi penting karena kitab suci ini masih menjadi kumpulan buku terpenting dalam peradaban Barat. Terlepas dari keyakinan dan agama kita, kitab ini telah membentuk, memberi informasi, dan menjadikan dunia seperti saat ini, entah itu dalam arti baik atau buruk.

---

Artikel ini ditulis oleh Philip C. Almond, profesor emeritus sejarah pemikiran agama The University of Queensland, Australia. Terbit pertama kali dalam bahasa Inggris di The Conversation dan diterjemahkan oleh Reza Maulana dari Tempo.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus